
Sembari menunggu pawai ogoh-ogoh, sehari menjelang nyepi di Titik nol ubud yang dipenuhi turis asing itu, nampak beberapa anak muda bali berpakaian adat lengkap dengan udengnya itu, sedang asyik memutar spin secara virtual, satu dari mereka kemudian berceloteh kepada yang lain, “ah sial, tiang (saya) kurang hoki, gimana khee (loo),“ kepada seorang kawannya yang tengah menunggu hasil yang ternyata berakhir jackpot itu, si temannya kemudian berkata kepada yang kurang hoki tadi “ah, tenang aja boleh coba lagi, siapa tahu rezeki,” ujarnya sembari tertawa dihadapan temannya yang mengaruk-garuk kepala karena gagal jackpot. Pada ketika itu, saya yang berdekatan dengan mereka hanya dapat mengelus dada, menyaksikan fenomena semakin masifnya praktik judi online di segala tingkatan umur.
Sama seperti persoalan narkoba, prospitusi, senjata, sampailah pada korupsi yang dipandang sebagai bagian dari “Shadow Economy” yang memberikan kerugian massif sekaligus keuntungan bagi segelintir orang itu begitupun pinjol dan judol yang belakangan ini semakin melekat pada kehidupan berbangsa kita.
Ironisnya, kedua bisnis yang menyebabkan penyakit sosial dan psikologis bagi masyarakat ini belum sepenuhnya diatasi oleh pemerintah bahkan disinyalir judi online yang menurut banyak kajian investigasi kendalikan dari kamboja itu malah didalangi oleh elite-elite lokal sendiri.
Kalau sudah begini rasa-rasanya semakin hambarlah julukan sebagai negara paling religi, jika dihadapkan pada realitas sosial dimana masyarakat semakin akrab dengan judi dan pinjaman online yang justru jauh dari yang sifat-sifat religi.
Tapi Kalau kita cermati eksistensi pinjol dan judol dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih mementingkan religiusitas itu tidak terlepas dari dampak dinamika sosial-budaya yang hari ini dan nanti berada dalam tarik-ulur antara identitas keagamaan yang mengakar dan gelombang budaya global yang justru mendorong dehumanisasi.
Masyarakat Indonesia, yang secara historis dibangun atas nilai-nilai kolektivisme (gotong royong), kesederhanaan (sederhana), dan spiritualitas (religiusitas), kini sedang terjebak dalam kontradiksi akibat infiltrasi budaya hedonistik dan matrealistik yang dipacu oleh teknologi dan kapitalisme global.
Oleh karena itu , memahami Pinjol dan judol bukan sekadar masalah praktik ekonomi yang illegal semata melainkan juga cermin dari pergeseran orientasi hidup masyarakat dari yang merasa berkecukupan menjadi ingin berkelimpahan, dari yang mempunya rasa untuk bersyukur menjadi semakin konsumtif.
Tapi jika semata-mata hanya menyalahkan masyarakat dengan segala problematika sehari-hari yang sudah mereka alami apalagi menuding segala yang terjadi itu akibat ulah asing bagi saya merupakan tindakan dan pikiran yang dangkal yang justru memperpanjang mentalitas mencari-cari kambing hitam tanpa menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Saya bersepakat dengan pendapat dari Sukidi, pemikir kebhinekaan dan tokoh Muhammadiyah itu dalam artikelnya yang termuat di kompas berjudul “ Mewaspadai berbagai kemungkinan “ tentang hal-hal buruk yang merusak bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri artinya kita harus mengoreksi internal kita dahulu yang sudah sistemik rusaknya ini.
Di artikelnya yang lain berjudul “Menyelamatkan Republik Kita”, Sukidi kembali mengingatkan sekaligus memberikan kita dasar untuk mengatasi permasalahan ini dengan cara menyerang akar dari kejahatan (the root of evil) itu sendiri, bukan semata-mata hanya menebas cabang-cabang kejahatan (the branches of evil).
Pinjol dan judol sebagai kekuatan bhuta kala zaman baru
Jika di hubungkan dengan teologi Hindu khususnya nusantara, kepercayaan yang saya yakini. eksistensi judol dan pinjol merupakan manifestasi bhuta kala baru era baru, adapun Bhuta Kala dipercaya sebagai kekuatan alam yang bersifat negatif.
Dalam setiap perayaan Nyepi, bhuta kala dimanifestasikan dalam bentuk ogoh-ogoh beragam rupa yang kemudian dibakar melalui proses pralina setelahnya agar unsur panca maha bhuta (api, air, tanah, udara dan cahaya) yang negatif tadi kembali ke asalnya sebagai simbolisme teologis untuk terus menjaga keseimbangan.
Secara teologis, ritual Pengendalian bhuta kala dengan menggunakan ritual itu merupakan usaha yang bersifat niskala (ketuhanan) guna menanggulangi mala petaka yang ditimbulkan oleh makhluk domenik/makhluk halus.
Namun jika bergeser dari teologis ke sosial, manifestasi bhuta kala sebenarnya melampaui sebatas makhluk halus an sich dalam bentuk setan- setan itu namun juga laku dari manusia sendiri yang merusak tatanan Tri Hita Karana (keseimbangan harmonis antara Tuhan, alam, dan manusia).
Apalagi dalam konteks judol dan pinjol yang banyak unsur negatifnya itu, maka menetralisir dua manifestasi bhuta kala ini harus dilakukan secara serius karena dampak yang di timbulkan bisa sangat sistemik di level mikro, mezzo, dan makro.
Akibat dari pinjol dan judol di level mikro bahkan bisa berujung hilangnya nyawa, kasus bunuh diri (ulah pati) yang dilakukan oleh seorang remaja putri yang terjadi baru-baru ini di jembatan tungkad, badung ternyata diakibatkan oleh tekanan akibat tagihan pinjol, terlepas dari cara yang dilakukan pelaku secara teologi dan sosial itu salah. kejadian ini menambah panjang tragedi hilangnya nyawa akibat pinjol dan judol. sebagai masyarakat sudah sepantasnya kita wajib berempati dan bereaksi dengan kasus-kasus serupa yang terjadi di seantero Indonesia.
Tetapi kepedulian kita ini jangan juga dimaknai untuk membenarkan atau mentoleransi perilaku berpinjol dan berjudol, untuk judol misalnya si pelaku sebenarnya memiliki pilihan yang harusnya rasional untuk tidak berjudi yang menang dan kalahnya sudah dirancang oleh si bandar. Kepedulian kita harus diarahkan kepada hal etis dan moral yang menyangkut dampak dari yang penjudi itu lakukan bagi dirinya dan keluarganya. Apalagi kebanyakan dari pemain pinjol berasal dari kelas menengah bawah, judi bagi kelas berjouis merupakan hiburan namun bagi kelas proletar perilaku berjudi justru menjadi jeratan.
Begitupun dengan Pinjol yang seringkali bukan diakibatkan oleh kebutuhan tapi juga kepuasan untuk memiliki sesuatu dengan cara yang instan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan berhutang apalagi jika menyangkut kebutuhan yang penting dan genting hanya saja rasional dalam mempertimbang risiko perlu juga lakukan agar mental kita tidak dibunuh oleh tekanan penagihan yang ditimbulkan oleh pinjol di kemudian hari.
Di level makro, kita juga harus mendorong penyelesaian praktik pinjol dan judol lebih massif lagi, penegakan hukum yang adil perlu terus menerus kita lantangkan apalagi saat ini kita masih hidup dalam sistem hukum dua level. Level pertama, di mana orang miskin dilecehkan, ditangkap, dan dipenjara karena pelanggaran yang ‘tidak luar biasa’, sementara level dua, kejahatan yang sangat besar yang dilakukan oleh kaum oligarki dan korporasi, seperti kongkalikong dengan praktik judol dan pinjol justru, ditangani melalui kontrol administratif yang lemah, denda simbolis, dan penegakan hukum perdata yang memberikan kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan kaya ini dari tuntutan pidana.
Kepada mereka yang disinyalir mempromosikan praktik judol dan pinjol, menerapkan cancel culture rasa-rasanya perlu dilakukan agar menimbulkan efek jera di ruang publik agar mereka yang memiliki kekuatan dan akses untuk mempengaruhi orang banyak dapat menggunakan potensi mereka dengan sebijak mungkin bukan malah menjerumuskan orang lain kedalam lingkaran setan judol dan pinjol.
Masyarakat teknologi ala Indonesia: kemajuan di arus alienasi dan krisis makna
Transformasi teknologi digital memang telah mengaburkan batas moral. perliku Judi dan utang yang dahulu terlihat secara fisik, kini menjadi abstrak dan “tak kasat mata” di balik layar gawai yang sudah menjadi organ kita yang nonalamiah yang jika kita coba lepaskan atau kurangi pemakaian meskipun satu jam saja itu maka kecemasan akan melanda kita.
Akibat teknologi, masyarakat menjadi semakin teralienasi dari kontrol sosial tradisional, karena laku dari kedua hal tadi terjadi dalam ruang virtual yang impersonal. Dari sudut pandang Marxist yang ide-idenya masih relevan untuk menjelaskan fenomena zaman secara kritis, kemajuan pada akhirnya menciptakan bentuk baru dari alienasi ini pada akhirnya menjadi alat penindasan terselubung.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir pernah memperingatkan akan modernitas kita yang seperti topeng yang selalu dipakai tanpa dihayati. Fenomena judol dan pinjol adalah contoh konkret dari “topeng” ini, di balik kemudahan teknologi, ada kehancuran psikologis dan sosial akibat dari nihilisme yang tidak kita akui dan sadari .
Sartre dalam Existentialism is a Humanism juga menegaskan, “Manusia adalah makhluk yang tidak memiliki esensi sebelum eksistensinya; ia harus menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan-pilihannya.” Namun, dalam dunia yang didominasi logika teknologi, pilihan-pilihan ini sering kali direduksi menjadi preferensi konsumtif yang instan, bukan proyek eksistensial yang bermakna.
Pada akhirnya Judol dan Pinjol adalah manifestasi konkret dari nihilisme modern dimana saat modernitas yang kita rasakan itu kehilangan nilai transendennya, maka kita cenderung mencari “dopamin instan” sebagai pengganti makna yang absen kembali kepada nilai-nilai yang transenden dalam hal ini pemaknaan kembali pada yang religius yang melampuai sebatas ritus rasa-rasanya perlu kita lakukan
Memahami mekanisme psikologis pinjol dan judol
Judol dan pinjol dapat berkerja membentuk lingkaran setan tidak terlepas dari permainan mekanisme psikologis yang dimainkan oleh platform-plaform terhadap persepsi para korbannya. Setidaknya ada tiga mekanisme psikologis yang erat dengan persepsi yang saya cermati dibentuk secara laten oleh platform-platform pinjol dan judol di antaranya persepsi terkait kontrol yang sebenarnya ilusi.
Sudah menjadi hal wajar jika kita bertemu dengan mereka yang berkutat dengan judol dan pinjol ada perasaan seolah-olah mereka memiliki kontrol akan hasil, batasan, dan dampak yang ditimbulkan. Padahal sebenarnya tidak sama sekali, kemudahan pencairan pinjol dengan rayuan bunga yang kecil, misalnya membuat mereka ingin lagi dan lagi untuk menambah pinjaman tanpa berpikir panjang akan dampak dari tekanan penagihan yang dilancarkan oleh pinjol. Begitupun dengan judol hanya karena kemenangan sekali mereka terus menerus melakukan top up untuk permainan selanjutnya. Apalagi dengan bayaran yang menyesuaikan kantong mereka sehingga mereka merasa seolah-olah tidak rugi-rugi amat yang masih dalam tataran yang bisa mereka kontrol. Padahal dari yang sedikit ini jika dikalkukasi akan terus berlipat ganda yang efeknya merugikan finansial si pelaku.
Yang kedua, emosi akan kenikmatan , ketika kita mendapatkan cuan dari kemenangan judol dan hutang pinjol maka kita akan merasakan kenikmatan seolah-olah finansial kita menjadi sehat kembali dan proses yang kita tempuh itu setara dengan hasil hal ini ditambah dengan gambaran yang seolah-olah berkebalikan dengan citra negatif keduanya. kenikmatan yang sesaat muncul kemudian menimbulkan dorongan untuk melakukan tindakan lagi dan lagi.
Yang ketiga, bermain-main dengan persepsi nasib, dalam masyarakat Indonesia, ada pepatah “Manusia berencana, Tuhan menentukan”. Namun, judol dan pinjol mencerminkan upaya manusia untuk mengakali nasib dengan cara instan. Keduanya adalah cermin dari paradox, keinginan untuk mengontrol nasib, tapi justru terjatuh dalam ketidakpastian yang lebih dalam. Seperti lampu gemerlap kasino, janji judol dan pinjol menyilaukan, tetapi akhirnya memperlihatkan realitas keras, takdir tak selalu bisa dipaksa padahal di balik kepercayaan kita akan nasib ada nilai kesabaran (sabar), kerja keras (ikhtiar), dan kepercayaan pada proses.
Pada akhirnya, melawan pinjol dan judol tidak cukup dengan kampanye moral atau pemblokiran platform. Perlu gerakan kolektif untuk menata ulang sistem ekonomi-politik yang adil, memutus oligarki, dan mengembalikan makna hidup yang transenden sebagai upaya untuk melawan bhuta kala yang baru ini. Pada akhirnya kembali seperti yang diingatkan oleh Sukidi, menyelamatkan republik ini adalah tugas bersama,bukan hanya memberantas kejahatan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang memanusiakan. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa yang religius di atas kertas, tetapi terjajah oleh manifestasi bhuta kala digital buatan sendiri.
(Penulis adalah mahasiswa S2 di dua perguruan tinggi PNB BALI dengan konsentrasi bisnis dan onti internasional dengan konsentrasi IT, yang saat ini menjabat sebagai ketua sumber daya manusia bidang media televisi perhimpunan pelajar indonesia sedunia)