
Seorang perempuan bule berjoget dengan sumringah diiringi musik keras dengan beat kencang. Di pojokan, pasangan paruh baya tampak menikmati wine putih yang disajikan oleh pelayan beach club itu. Lainnya ada mengobrol atau sekedar berendam sambil menikmati matahari terbenam. Sama seperti sore yang lain, beach club ini selalu meriah.
Mundur ke tahun 1965, hanya langit sorenya saja yang sama, semarak dengan semburat oranye, memantul pada air lautnya, membuat setiap mata yang memandangnya tidak berhenti berdecak. Tiada yang menyangka jika di bulan Desember 1965 di bawah langit itu, di pulau yang sama. Suara yang terdengar bukan musik EDM, tetapi rentetan tembakan dari senapan otomatis. Bukan muka sumringah tetapi wajah-wajah pasrah dan ketakutan. Bukan kebahagiaan seperti pasangan yang menikmati wine, tetapi wajah was-was mendengar deru mesin truk yang mengangkut ratusan manusia.
Menurut Geoffrey Robinson di bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata, hanya dalam tempo tiga hari di Bali pada bulan Desember, diperkirakan 6000 orang terbunuh. Sebagian besar mayat mereka dibuang ke laut atau ke kuburan massal.
Sebuah artikel di koran lokal Denpasar pada pekan kedua Desember menuliskan bagaimana tragedi itu berlangsung. “Mereka bahkan tidak perlu melihat baret merah RPKAD, cukup mendengar deru truk saja. Jantung kaum G30S yang congkak itu mulai berdegup kencang ketakutan.”
Geoffrey menceritakan, seorang perempuan yang tinggal dekat salah satu kamp tahanan di bagian selatan kota yang masih ingat deru mesin truk militer tiada habis-habisnya, pembongkaran muatan manusia dari truk-truk itu yang diamatinya dari jendela dan rentetan bunyi senapan otomatis.
Kirk dalam bukunya Bali exercises an evil spirit menuliskan orang asing yang bercerita kepadanya, “satu orang akan menikam korban, sementara yang lainnya akan menghantam kepalanya dengan batu.” Orang asing itu juga mengatakan jika satu orang bali tak pernah membunuh sesamanya sendirian. Semuanya adalah kerja komunitas, seisi desa diperintahkan melakukannya.”
“Di Negara, Jembrana, misalnya, saksi mata melaporkan bahwa lusinan truk angkatan darat yang mengangkut para tersangka komunis yang diciduk dari desa-desa sekitar, membentuk iring-iringan rapi yang berjalan lambat di sepanjang jalanan utama selama beberapa hari,” tulis Geoffrey dalam karyanya. Di sebuah gudang besar para tahanan diturunkan satu per satu dengan tangan terikat dan dibawa masuk, di mana mereka ditembak dengan senapan otomatis.”
Melukiskan operasi ini, sejarawan lokal I Wayan reken, menulis: “sepanjang bulan desember angkatan darat dan orang orang front Pancasila yang murka menghancurkan kaum komunis dalam pembantaian yang paling mengerikan. Inilah sungai darah di mana ribuan orang dibunuh di Jembrana saja. Sebuah ringkasan tragis sejarah Jembrana.”
Kudeta militer Indonesia pada oktober 1965 di Pulau Bali meledak dalam kekerasan politik yang menyebabkan kira-kira 80.000 orang, atau sekitar 5 persen penduduknya tewas. Secara intensitas dan proporsi penduduk yang terbunuh, kekerasan di Bali itu boleh dikatakan melebihi yang disaksikan di Jawa pada masa yang sama.
Penduduk di seantero pedesaan dieksekusi; para korban ditembak dengan senapan otomatis atau dicincang sampai mati dengan belati dan parang. Konon sejumlah pembunuh meminum darah korbannya atau berjingkrak-jingkrak di atas sekian banyak orang yang mereka habisi (Geoffrey, 2005).
Orang mungkin mengira bahwa kejadian tersebut akan merangsang suatu perbincangan serius tentang masyarakat dan politik Bali. Bagaimanapun, pembantaian tidak cocok dengan pandangan yang diterima luas bahwa Bali adalah surga dunia, dengan warganya yang artistik dan sangat religius, hidup harmonis bersama alam dan sesama.
Namun, jauh dari memancing suatu pertimbangan kembali terhadap citra yang sangat lazim tentang Bali atau perdebatan mengenai politiknya, pembantaian itu telah diperlakukan. Entah sebagai bukti dari pra-anggapan tentang eksotisme Bali, atau sebagai anomali tak mengenakkan yang kiranya lebih baik dilupakan.
Jika di Jerman peristiwa genosida itu dibuat “Memorial Holocoust” sebagai pengingat agar kejadian serupa tak terulang lagi. Tetapi, Indonesia malah berupaya menguburnya dalam-dalam. Di Bali peristiwa tersebut coba dihilangkan dari ingatan dengan ingar bingar pariwisata.
Namun di Indonesia salah satunya di Bali, pemerintah senang memberikan izin resort mewah dan aneka hiburan lainnya, bukan monumen pengakuan dosa sebagai jalan pertaubatan. Beach club di Seminyak, Kuta menjadi saksi salah satu kuburan korban kudeta. Kini area pinggir pantai sudah penuh dengan beach club lain. Kawasan yang semula terisolasi ini juga membuat orang-orang tidak tahu jika di salah satu titik bawah pasir lautnya terkubur ratusan jasad manusia.
Di atas jasad-jasad yang terbunuh tanpa pengadilan, kapital yang besar berputar menambah pundi-pundi uang pemodal yang kebanyakan asing. Di atas sejarah pembantaian yang keji berdiri beragam tawaran hiburan bagi para turis. Sejarahnya terus dilupakan dan dosanya tak pernah ditebus oleh negara.