
Ayah bersama yang lainnya dituding komunis.
Sekilas puisi persembahan Taman 65
Maka layak digadang dan dicincang.
Ayah lenyap.
Ibu diperiksa tubuhnya untuk mencari tanda palu arit.
Dirampas profesinya.
Seberapa banyak yang kamu tahu tentang peristiwa 1965? Sejauh mana sejarah diajarkan di sekolah?
Saya masih ingat ketika duduk di bangku SMA, mata pelajaran sejarah tidak menjadi favorit. Meski begitu, saya masih mengingat jelas bagaimana peristiwa 1965 selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tertulis jelas bahwa dalang penculikan tujuh jenderal pada tahun 1965 adalah PKI. PKI itu ateis, tidak punya agama. Entah dari mana pemikiran itu muncul. Mungkin karena kami percaya bahwa PKI itu kejam dan suka membunuh.

Pemikiran ini semakin diperkuat ketika study tour. Saya dan puluhan teman diajak mengunjungi Lubang Buaya di Jakarta Barat. Suasana di sana begitu mencekam. Diorama penculikan tujuh jenderal di Museum Pengkhianatan PKI ditampilkan dengan latar suara teriakan dan tembakan. Mengintip ke sumur Lubang Buaya, keluar cahaya merah layaknya darah dengan suara berdengung.
Rasa benci terhadap PKI semakin memuncak saat memasuki area museum yang diisi patung-patung pengkhianatan PKI. Bulu kuduk berdiri, hawa terasa begitu dingin. Air mata ingin menetes ketika mendengar kisah dari pemandu.
Setahun setelah kunjungan itu, saya baru mengetahui betapa ditipunya kami oleh sejarah. “Sejarah ditulis oleh pemenang,” kalimat yang seakan menyadarkan bahwa tidak semua yang tertulis di buku sejarah adalah fakta. Tragisnya, saat itu pemenangnya adalah Soeharto.
Rasanya seperti ditampar kenyataan. Membaca buku Tan Malaka adalah awal dari kesadaran itu. Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang namanya tidak pernah tertulis di buku sejarah. Dari Tan Malaka saya mengetahui PKI adalah ideologi, tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Pengetahuan baru itu membawa rasa penasaran. Kecintaan pada novel membuka jalan baru untuk mengenal kembali sejarah sebenarnya. Ada novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan seri keduanya berjudul Namaku Alam. Novel lainnya ada Ronggeng Dukuh Paruk, Cantik itu Luka, Amba, Gadis Kretek, dan Entrok.
Novel-novel tersebut bercerita dari sudut pandang korban. Sebagian orang mungkin menganggapnya tidak nyata karena ‘novel itu fiksi’. Tokohnya mungkin fiksi, tapi tidak dengan latar waktu dan suasananya. Fakta ini tidak dapat terelakkan saat mendengar kisah dari para ‘pelaku’.
Film Jagal dengan judul Bahasa Inggris The Act of Killing, sebuah film karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Lain daripada yang lain, film ini mengangkat sudut pandang para pelaku pembunuhan orang-orang yang dicap PKI dalam peristiwa 1965. Sebagian besar latar Jagal berlokasi di Medan, Sumatera Utara.
Sepanjang menonton saya hanya bisa bergidik ngeri melihat Anwar Congo, pimpinan algojo begitu gembira menjelaskan cara-cara membunuh orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual. Organisasi Pemuda Pancasila (PP) yang masih hidup sampai sekarang disebut terlibat dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Naasnya, mereka mendapat dukungan besar dari pemerintah.
Pada menit pertama, Anwar menjelaskan bahwa dirinya melakukan pembunuhan sembari menari salsa dalam pengaruh alkohol. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan melakukannya sambil bersenandung bersama kawan-kawannya.
Pada tahun 2014 melalui Kompas.com, pemerintah Indonesia menyebut film dokumenter ini memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional. “Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan,” ungkap juru bicara Kepresidenan Indonesia saat itu, Teuku Faizasyah, dikutip dari Kompas.com.
Peristiwa pembantaian warga yang dituduh antek PKI pada 1965 terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali. Untuk mengenang dan merekam memori peristiwa tersebut, komunitas Taman 65 menghadirkan album buku Prison Songs: Nyanyian yang Dibungkam. Album ini kembali hadir dalam versi Bahasa Inggris, diluncurkan dalam diskusi publik dan penampilan seni bertajuk “Merawat Ingatan, Melawan Lupa”.
Acara yang direncanakan di Taman Baca Kesiman (TBK) terpaksa dipindah ke Taman 65. Sore itu (15/03) terasa padat, pengunjung memenuhi sisi kanan, kiri, depan, dan belakang selasar. Penuh sesak, tapi senyap. Semua mata terfokus pada satu titik, hening mendengarkan dengan saksama.

Kami hadir di tengah-tengah diskusi Usman Hamis, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia. Usman saat itu berbicara tentang tantangan dalam gerakan keadilan di Indonesia. Ia melihat bahwa ekspresi marxisme dan leninisme di Indonesia masih tabu, bahkan setelah 20 tahun lebih mengalami demokratisasi.
Ekspresi komunis, wacana komunis, dan diskursus komunisme dalam tataran menyampaikan pandangan masih ditoleransi oleh negara. “Bahkan pada tingkat tertentu ketika sudah mulai ada exposing abuses, sudah mulai bicara bahwa di balik 65 tentara terlibat pembunuhan, itu negara masih mungkin mentoleransi,” ungkap Usman. Namun, ketika sudah mulai menggalang partisipasi turun ke jalan dan memobilisasi ribuan orang, itu akan dibubarkan.
Maka dalam situasi yang seperti itu, gerakan seperti revitalisasi Prison Songs perlu dilakukan dalam skala yang lebih luas. Melalui seni dan diskusi, orang-orang akan tergugah secara emosional dan rasional.
Album Prison Songs terdiri dari tujuh lagu yang dinyanyikan sejumlah musisi asal Bali. Sementara, album buku Prison Songs mengisahkan cerita di balik setiap lagu. Album buku diawali visualisasi Penjara Pekambingan, penjara yang menjadi ‘kuburan’ bagi ratusan orang yang dicap terlibat dalam peristiwa pemberontakan 1965 serta yang dinilai memiliki kedekatan dengan PKI.
Roro Sawita, anggota komunitas Taman 65 menceritakan situasi politik di Bali pada tahun 60-an. Ada dua partai yang paling unggul saat itu, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan PKI. PNI didukung oleh elit-elit lokal, seperti raja-raja dan feodal. Sementara, PKI didukung oleh kaum muda yang progresif. “Artinya mereka punya visi misi bagaimana membangun Indonesia baru. Ya, pasti lepas dari kasta dan lain-lain. Nah, ini banyak didukung oleh guru-guru,” terang Roro menjelaskan ideologi PKI masa itu.
Ketika perebutan kekuasaan antara PNI dan PKI terjadi, di saat yang bersamaan keluar Undang-undang Pokok Agraria. Katanya Undang-undang ini dikeluarkan oleh PKI, padahal undang-undang ini dikeluarkan oleh negara dengan persetujuan semua partai. Undang-undang landreform membatasi hak atas kepemilikan tanah. Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat.

Dalam album buku Prison Songs tertulis di tengah suasana panas konflik tanah yang terjadi hampir di seluruh Bali, terdengar isu PKI melakukan upaya kudeta dengan membunuh tujuh jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Pembersihan di tubuh polisi dan elit yang dicap mendukung Sukarno di Bali mulai dilakukan pada bulan Oktober – November tahun 1965.
Beberapa daftar nama dijebloskan ke Penjara Pekambingan. Tanggal 2 Desember terjadi peristiwa pembantaian pertama di Toko Wong, Kota Negara, Jembrana. Pembantaian lain mulai menyusul dan menyebar ke daerah lain. “Pembantaian yang sangat masif. Sisa-sisa orang yang kemudian tidak terbantai ada beberapa yang masuk penjara. Ada juga yang hilang,” ujar Roro.
Sebetulnya banyak saksi mata peristiwa 1965. Mereka tahu, hanya saja mereka tidak mau cerita karena takut. Pada tahun 2000-an, Roro menyusuri kuburan-kuburan massal di Bali yang menjadi tempat pembuangan korban peristiwa 1965. Ia mendapati banyak kuburan massal yang berlokasi pantai dan desa-desa.
Kisah yang disampaikan Roro dibenarkan oleh I Wayan Natar, penyintas peristiwa 1965. Pada saat itu, Natar berusia 23 tahun. Ia menceritakan saat itu beberapa organisasi massa yang bergabung dan berpihak pada PKI dikumpulkan di Pura oleh Tameng (milisi sipil yang didukung PNI). “Alasannya supaya kita-kita ini yang berpihak kepada komunis tidak lagi memilih komunis, tetapi berpihak kepada mereka (Tameng),” ungkap Natar.
Ternyata orang-orang yang saat itu dikumpulkan di Pura dicari namanya untuk mengetahui posisinya di partai tersebut. “Ternyata itu yang dicari dan itu selanjutnya yang dibunuh,” terang Natar. Beruntungnya Natar saat itu tidak ikut berkumpul di Pura karena instingnya mengatakan ada sesuatu yang aneh. Mendengar peristiwa pembunuhan yang dialami oleh rekan-rekannya, Natar melarikan diri dan hidup dengan penyamaran.
Joko, penyintas lainnya yang pernah dipenjara di Penjara Pekambingan juga menceritakan kisahnya selama menjadi tapol. Keseharian Joko dan rekan-rekan tapol lainnya tidak jauh dari pemeriksaan dan penyiksaan oleh tentara. Komunikasi mereka dengan dunia luar sangat dibatasi.
Hingga akhirnya, perubahan terjadi pada tahun 1974. Amnesty Internasional mengunjungi Penjara Pekambingan. Tempat tidur dan makanan yang layak diberikan menjelang hari kunjungan. Para tentara mewanti-wanti tapol untuk tidak menceritakan kejelekan pemerintah. Para tapol yang saat itu bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris lantas menceritakan yang sejujurnya.
Amnesty Internasional pun menekan negara untuk memberikan kebebasan kepada para tapol. Akhirnya, kebebasan bisa sedikit dirasakan. “Kita masak sendiri, dikasih kasur, dikasih TV, dikasih nonton sama-sama dengan teman-teman lain, dikasih bebas lah kita bergerak,” ungkap Joko.
Melangkah jauh setelah peristiwa 1965, Ufiya Amirah, anggota LBH Bali menyayangkan dinamika perubahan gerakan di Bali. Sebelum Orde Baru, pergerakan di Bali sangat kuat. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa Puputan, baik itu Puputan Klungkung, Puputan Badung, atau Puputan Denpasar. “Itu menunjukkan bagaimana revolusioner, progresif, militan, beraninya masyarakat Bali melawan kolonialisme Belanda,” ungkap Amirah. Bahkan, pada tahun 1963 pun rakyat Bali dengan getol menolak masuknya modal Inggris.
Lantas, terjadi perubahan cara berpikir dari progresif militan menjadi ‘koh ngomong’. Amirah meyakini perubahan ini terjadi karena peristiwa 1965. “Peristiwa 65 adalah puncak reorganisasi kapital yang menjadi peristiwa pencengkraman kuat kapitalis di Indonesia,” ujar Amirah.
Kemudian, pariwisata menghegemoni dan menciptakan Bali yang damai, indah, dan stabil. Bali menjadi etalase ke dunia bahwa peristiwa pembantaian besar-besaran tidak pernah terjadi. “Jadi ada proses penipuan di dalam sejarah yang kemudian itu tidak dibongkar. Kalaupun dibongkar, pengetahuan-pengetahuan itu hanya bisa diakses oleh segelintir orang,” terang Amirah.
Tantangan masyarakat dalam mengakses sejarah yang sebenarnya ini membuat Ita Fatia Nadia menginisiasi museum bergerak. Museum bergerak pertama kali dipelajari oleh Ita di Chili. Di Chili, museum bergerak mengumpulkan artefak, arsip, dan dokumentasi dari para penyintas yang dulu ditahan dan dibunuh. Artefak itu dibawa keliling dari kampung ke kampung melalui gereja.
Dari sinilah Ita terinspirasi menciptakan museum bergerak untuk peristiwa 1965. “Museum bergerak adalah arsip hidup. Kenapa arsip hidup? Untuk menjawab tantangan dan memikirkan kembali museum sebagai ruang dialog,” ungkap Ita.
Museum bergerak tidak membutuhkan ruang. Ita sendiri menggunakan flashdisk yang bisa dibawa ke mana-mana. Di dalamnya terdapat arsip-arsip sejarah dari para korban, salah satunya adalah catatan harian tapol dan foto-foto artefak. Museum bergerak adalah alternatif gerakan memanggil kembali dan mengembalikan sejarah yang sebenarnya.
Rekonstruksi sejarah Indonesia perlu dilakukan. Pengetahuan sejarah bukan hanya miliki akademisi, tetapi milik kolektif. Sejarah bukan sekadar masa lalu, tetapi peristiwa penting yang menentukan karakter suatu bangsa di masa depan.