
Saya dan beberapa kawan yang selalu mendasari perbicangan soal politik kebudayaan Bali bertitik tolak dari Tragedi 1965, yang merujuk pada pembantaian massal terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), selalu dianggap tidak bisa beranjak untuk Bali yang lebih harmonis, yang melupakan masa lalu untuk menatap masa depan. Tuduhan selalu melihat luka lama dan mengorek-ngoreknya, mengkait-kaitkan kembali dengan situasi kontemporer dianggap tidak bisa beranjak dari peristiwa masa lalu.
“Suwud kanggoang ngortang Gestok. Sube gas pidan totonan” (cukup kiranya membicarakan Gestok. Sudah masa lalu), begitu pernyataan yang beberapa kali saya dengar langsung untuk memperingati jangan semuanya dikaitkan dengan peristiwa 1965. Sampai ada yang menyebutkan kami “aktivis PKI” merujuk kepada persepsi mereka bahwa kami membela PKI jika membicarakan tragedi 1965. Jika jujur mengakui, beberapa di antara kami adalah cucu dari korban pembantaian ataupun yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para korban dan survivor. Bahkan ada di antara kami yang juga adalah cucu dari orang yang disebut tameng, barisan penjagal yang melakukan pembantaian pada tahun itu.
Bagi saya, pandangan ini adalah sesat pikir dan simplifikasi (penyederhanaan) bahwa Tragedi 1965 dianggap tidak berdampak besar dalam pembentukan politik kebudayaan Bali pasca tragedi tersebut. Sesat pikir karena pandangan yang ahistoris (alpa melihat sejarah). Cikal-bakal kelahiran rezim Orde Baru dan konsolidasi kapital bernama pariwisata dimulai dengan pembersihan secara sosial politik maupun budaya tentang Bali.
Menganggap kami sebagai aktivis PKI atau menyebarkan ajaran komunisme adalah pandangan stigmatisasi khas negara yang merasuk ke masyarakat sipil, bahwa berbeda dianggap musuh yang bisa merusak citra Bali yang harmonis. Komunis dan PKI adalah masa lalu, sisi kelam yang jika dibincangkan akan merusak citra Bali yang harmonis dan penurut. PKI dan komunis dianggap kritis dan melawan kekuasaan. Oleh karena demikian, sifat demikian tidaklah ciri khas orang Bali yang berbudaya atau yang me-dharma agama dan dharma negara (mengikuti ajaran agama dan perintah negara).
Salah satu yang hilang pasca tragedi 1965 adalah analisis kritis berkaitan dengan kelas sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu (imajinasi) pengetahuan yang hendak dimasukkan adalah masyarakat desa yang harmonis dan bergotong-royong bahu-membahu berlomba-lomba berperanserta dalam pembangunan. Homogenisasi dalam memandang masyarakat desa bukannya tanpa sebab atau berada dalam ruang yang hampa. Tentu saja tujuan politisnya adalah kontrol dan penjinakan perlawanan dan protes dari masyarakat. Analisis kelas melihat bahwa masyarakat sangatlah terdiferensiasi, terdiri dari berbagai kelas-kelas sosial dari pemilik tanah yang dominan hingga kelas pekerja yang menggantungkan hidupnya dari tenaga yang dimiliki.
Mengapa Bertitik-tolak dari 1965?
Sejarah panjang politik kebudayaan Bali tidak bisa dilepaskan dari Tragedi 1965, di mana kekerasan dan pelenyapan manusia menjadi sisi gelap dan tahun yang tak pernah berakhir (Robinson 1995: 2006; Santikarma 2000). Landasan kebudayaan Bali ke depannya dibangun di atas pondasi pelenyapan kisah-kisah Bali pada masa 1965. Kisah-kisah tentang Tragedi 1965 dihapus dari “representasi resmi” karena promosi otoritatif tentang Bali pasca 1965 adalah daerah yang aman dan damai, yang siap melayani semua keinginan wisatawan.
Citra-citra Bali yang dikonstruksi oleh rezim Orde Baru tidak hanya diproduksi untuk konsumsi orang luar. Citra-citra tersebut dijadikan sebagai “modal budaya” untuk kepentingan pariwisata. Konstruksi yang kolonialistik itu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sang kuasa membentuk yang sering disebut dengan “rezim kebenaran”.
Santikarma (2000) dengan satir mengungkapkan untuk menarik devisa, kesusahan hidup petani disulap menjadi foto sawah yang hijau dan indah. Pemandangan di tebing jurang, yang sayangnya telah dikuasai oleh investor asing bekerjasama dengan masyarakat setempat, menjadi lokasi selfie (swafoto). Beban kaum perempuan yang kerja keras untuk keluarga suami mereka dengan berdagang, bertani, dan membuat banten (sesajen) untuk ritual, menjadi lukisan gadis cantik yang mempesona. Ekspresi kekerasan dan keliaran menjadi tarian Keris Dance yang secara rutin sebelum pariwisata Bali dihantam pandemi Covid-19 berlangsung di kalangan pementasan.
Kisah-kisah 1965 di Bali juga didiamkan oleh gambaran-gambaran etnografis budaya Bali. Sejak zaman kolonial, Bali dipakai sebagai sehali kertas putih untuk orang Barat memproyeksikan fantasi dan ketakutan mereka tentang “yang lain”. Dalam satu sisi, Bali dianggap sebagai “pulau dewata,” di mana orang-orang hidup alamiah, bertani, penuh kelembutan, keluguan dan kepatuhan. Dari sisi lain, Bali dilihat sebagai daerah primitif dan liar, asalnya rangda, guna-guna dan leak, di mana orang kesurupan, mengamuk, menghunus keris, membakar janda dan haus darah. Citra mendua ini menciptakan kesan ganda di dunia Barat terhadap berita bahwa 80.000 orang, atau 5-7 persen penduduk Bali, lenyap dengan sia-sia. Ada yang tidak mau percaya apalagi mau tahu, karena bayangan romantis mereka tentang surga di bumi akan memudar.
Selain politik pembersihan 1965 yang kemudian diikuti dengan konsolidasi kapital dengan masuknya pariwisata, pengkerdilan cara berpikir kritis berjalan dengan stigma “komunis”, “musuh pembangunan”, atau “anti-pariwisata”. Berpikir kritis terhadap berjalannya pembangunan dianggap sebagai melawan negara dan anti terhadap kemajuan. Inilah yang disebut Santikarma (2000) sebagai trio sakti yaitu trauma kekerasan 1965, pariwisata, dan rezim pembangunan. Ketiga nilai-nilai itulah yang memastikan suksesnya program-program pemerintah dari program KB (Keluarga Berencana), kampanye sadar wisata, Adipura, kuningisasi sampai jambanisasi. Dengan menerima segala bentuk pemberian dan petunjuk dari penguasa, itu berarti rasa malu dan takut menjadi rasa bangga dan aman.
Hilangnya Analisis Kelas
Saya ingin menunjukkan bahwa titik tolak politik kebudayaan Bali pasca 1965 sangat dipengaruhi oleh pembersihan politik saat 1965 dan menggantinya dengan politik pembangunan (pariwisata). Implikasi pergantian ini sangat mendasar yaitu terbuka sekaligus berubahnya Bali secara massif akibat pariwisata, baik secara tata ruang maupun pembentukan subyek manusia Bali yang diinginkan. Kedua perubahan ini bisa dirasakan bagi orang-orang yang mengenal dan berinteraksi dengan Bali sejak awal hingga kini. Kini kita melihat pembangunan massif infrastruktur pariwisata di setiap jengkal tanah Bali, termasuk di wilayah-wilayah yang dianggap milik dari desa adat, lembaga yang dianggap sebagai benteng pertahanan terakhi adat dan budaya Bali.
Selain munculnya ideologi pariwisata pasca Tragedi 1965, satu hal yang sangat penting kita perhatikan adalah berhubungan dengan hilangnya analisis kelas dalam khazanah politik kebudayaan Bali pasca 1965. Jika kita melihat sejarah politik Indonesia, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial akan cepat dikaitkan dengan kemunculan Orde baru. Pembunuhan massal terhadap orang yang diduga komunis, kemudian diiringi dengan penghancuran gerakan kerakyatan. Hal ini dilakukan untuk “membersihkan lahan” bagi pembangunan (pariwisata). (Farid, 2000).
Represi dalam dunia keilmuan berwujud pada penghancuran konsep akademik berbasis kelas, antara lain bertujuan untuk “membersihkan pikiran”. Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu. Cara lainnya adalah dengan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan berbagai istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim kekuasaan ketika itu. Akibat represi ini sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan sosial sudah melakukan kompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka sesungguhnya (Farid, 2006:188).
Pasca 1965, perdebatan dan diskusi mengenai kelas tersebut hilang seiring dengan penumpasan terhadap PKI (Partai Komunias Indonesia) dan pengikutnya hingga ke akar-akarnya. Ideologi pariwisata menjadi penggantinya. Pengembangan pariwisata yang dilakukan negara pasca 1965 dengan merekayasa seluruh elemen kehidupan di Bali, termasuk kesenian, ritual, dan kebudayaan sebenarnya penuh dilema. Naungan dilema itulah yang selalu melandasi pelaksanaan konsep pariwisata budaya yang bisa sangat lentur dipergunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Tegangan dilema tersebut seperti ditujukkan dengan sangat tepat oleh Picard (2006: 67) menyasar kepada dua sisi yang saling bertentangan. Pertama, pandangan yang mengemukakan bahwa melindungi kebudayaan Bali yang ada dengan cara apa pun yaitu dengan dengan menjadikannya sejenis “museum hidup”. Kebudayaan tersebut nanti akan menjadi saksi atas keagungan masa lampau yang telah berlalu. Oleh karena itu perlu menyingkirkan semua pengaruh-pengaruh asing dan menjaga kebudayaan Bali semurni mungkin. Pengaruh tersebut pertama-tama justru datang dan disebarluaskan oleh wisatawan sendiri. Dilema dari pandangan ini adalah keinginan besar untuk mendatangkan wisatawan namun juga berkeinginan menjaga Bali sebagai “museum hidup”.
Pandangan kedua yang sudah pasti akan banyak ditentang adalah sebuah kesadaran untuk menjadikan budaya Bali sebagai barang konsumsi. Hal ini berarti: “memasukkan pariwisata ke suatu daerah dan menganggap pola hidup dan budaya masyarakat yang bersangkutan sebagai sumber alam yang dapat dikelola selama periode waktu tertentu, dengan menyadari bahwa pada akhir periode tersebut kebudayaan itu sudah dipastikan akan mati.”
Dilema dua pandangan ini sama sekali tidak memasukkan bagaimana peranan kelas menengah atau para elit adat, budaya, dan birokrat membangun pandangan tentang pariwisata budaya dan membentuk jejaring kekuasaannya. Hilangnya analisis kelas inilah yang perlu diisi dengan kajian atau perspektif tentang jejaring kekuasaannya dalam pembentukan Bali kontemporer.
Daftar Pustaka
Robinson, G. 1995. The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell: Cornell University Press.
Robinson, G. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: LKiS.
Santikarma, D. 2000. “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas, 1 September 2000.
Picard, M. 2006. Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: KPG.
Farid. H. 2006. “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Hadiz, VR dan Dhakidea, D. (Ed.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (187-218). Jakarta: Equinox Publishing