
Sepanjang tahun 2023-2024, LBH Bali mencatat tiga aduan kasus KBGO yang masuk, yaitu ancaman penyebaran konten, love scam, dan deep fake. Ketiga kasus KBGO ini dialami oleh usia dewasa.
Dalam kasus KBGO yang ditangani oleh LBH Bali, hal yang menjadi kekhawatiran korban adalah penyebaran konten secara luas di media massa. Fenny Sulistya, Pemberi Bantuan Hukum (PBH) ruang sipil dan minoritas kelompok rentan LBH Bali menceritakan salah satu kasus KBGO yang ditanganinya, sebut saja nama korban AB.
AB merupakan korban ancaman penyebaran konten. Saat itu, AB mendatangi LBH Bali dalam keadaan panik. AB mengaku bahwa ia diajak seseorang dari aplikasi kencan untuk melakukan Video Call Sex (VCS). VCS merupakan bentuk panggilan video lewat ponsel yang melibatkan aktivitas seksual. Ternyata pada saat melakukan VCS, pelaku merekam AB tanpa adanya konsen atau persetujuan dari AB.
“Waktu itu korban takut banget karena diancam bahwa videonya itu bakal disebar ke media gitu,” ujar Fenny. LBH Bali akhirnya mendampingi korban untuk melaporkan kasus tersebut ke Polda Bali.
Sayangnya, penyidikan kasus KBGO hingga saat ini sangat tidak memihak korban. Ketika melaporkan kasus AB, Fenny menceritakan bahwa ia melihat ekspresi petugas kepolisian yang terkesan menstigma korban. “Jadi ada stigma yang nggak ngenakin gitu loh dari penyidik bahwa ‘oh ini dari chat kayak gitu’ terus dia ketawa-ketawalah sama sesama penyidik,” terang Fenny dengan nada geram.
Pada saat itu, kasus AB dilaporkan ke unit cyber Polda Bali. Fenny mengungkapkan bahwa penyidik yang ia temui adalah laki-laki semua. Berbagai rintangan dihadapi ketika mendampingi AB. Tidak hanya stigma, proses penyidikan juga terkesan sangat lambat. “Saat kita berikan bukti-bukti berupa screenshot chat itu kan kami print. Nah, mereka nggak terima gitu, bahwa ini loh berbasis elektronik, kenapa buktinya dalam bentuk hardcopy. Sedangkan bukti elektroniknya waktu itu kan udah di end chat sama korban,” ungkap Fenny.
Ada pula ketidaksesuaian persepsi antara korban dan penyidik. Penyidik saat itu menyimpulkan bahwa ungkapan yang diberikan pelaku kepada AB bukan ancaman, melainkan obrolan biasa. Perilaku yang menghakimi tersebut membuat AB tidak melanjutkan laporannya.
Dalam satu kasus, Fenny juga menemukan perilaku victim blaming (menyalahkan korban) oleh penyidik di kepolisian. Penyidik malah melontarkan pertanyaan “ada yang punya masalah nggak sama kamu?” seolah-seolah korban yang salah.
“Pada saat itu aku menanyakan ke penyidik, kenapa kasus-kasus KBGO itu ditanganinya oleh unit cyber, bukan unit perlindungan perempuan dan anak, yang di mana PPA itu kan ada juga di Polda. Nah, penyidiknya bilang ke aku ‘oh kita nggak tahu’,” ungkap Fenny. Ia juga bertanya kepada penyidik tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tetapi ternyata penyidik tidak tahu-menahu tentang UU tersebut.
Peningkatan KBGO di Indonesia
Data SAFEnet menunjukkan terdapat peningkatan kasus KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) dari tahun 2023 ke 2024 di Indonesia. Pada tahun 2023, aduan kasus KBGO yang masuk ke SAFEnet sebanyak 1052 aduan, sedangkan pada tahun 2024 terdapat peningkatan kurang lebih 900 aduan dengan jumlah 1902 aduan.
Jumlah tersebut hanya aduan yang diterima oleh SAFEnet, belum lagi aduan yang masuk ke lembaga lain, seperti Komnas Perempuan dan LBH APIK. Hal ini disampaikan oleh Shinta Ressmy, yang menangani aduan KBGO di SAFEnet.
KBGO sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual, hanya saja tindak KBGO terjadi di ranah daring. Istilah KBGO hadir seiring luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial.
Modus KBGO di Indonesia
Seiring berkembangnya teknologi, jenis KBGO juga semakin beragam. “Kalau misalkan tadi kita cuma kenal ancaman penyebaran konten, terus ada pemerasan, sekarang kita juga kenal deep fake,” ungkap Shinta. Deep fake merupakan modus KBGO dengan menggunakan teknologi AI (artificial intelligence). Biasanya metode ini digunakan untuk memanipulasi media seperti gambar dan audio.

Modus KBGO yang paling banyak terjadi adalah ancaman penyebaran konten intim. Data terakhir SAFEnet pada triwulan pertama tahun 2024 menunjukkan terdapat 253 kasus ancaman penyebaran konten yang terlapor.
Selain ancaman, ada pula sextortion atau pemerasan yang meliputi ancaman jika korban tidak menuruti keinginan pelaku. “Jadi misalkan foto kamu udah disebar, tapi untuk menghapusnya kamu harus bayar sejumlah uang dan lain sebagainya. Dan itu nggak akan pernah berhenti ya karena si pelaku akan terus minta uang, minta uang terus,” ungkap Shinta.
Proses penanganan KBGO
Penanganan KBGO tentu berbeda dengan KBG pada umumnya. Aduan yang masuk ke SAFEnet akan ditindaklanjuti dengan memberikan bantuan sesuai dengan dampak dan permintaan korban. Jika korban mengalami dampak psikologis, bantuan yang ditawarkan adalah pendampingan psikologis dan konseling keamanan digital.
“Di email yang pertama kali aku kirimkan untuk langkah mitigasi yang sifatnya cepat. Aku juga ngirim panduan keamanan digital dasar,” terang Shinta. Melalui email tersebut korban akan mengetahui apa yang harus dilakukan, misalnya memasang 2FA atau menonaktifkan akun untuk sementara waktu.
Dalam kasus konten yang telah tersebar, biasanya korban akan meminta takedown konten. Untuk melakukan hal tersebut, korban perlu mengirimkan bukti-bukti, seperti video asli, link, atau akun yang menyebarkan video tersebut. Sejauh ini, SAFEnet telah menjadi partner Meta, Tiktok, Twitter, dan Google. Sayangnya, SAFEnet belum bermitra dengan Telegram, padahal Telegram merupakan platform yang paling banyak digunakan oleh pelaku KBGO.
“Kalau misalkan udah komunikasi dengan platform itu biasanya kurang dari 72 jam kontennya akan terhapus,” jelas Shinta. Meski konten di platform sudah terhapus, ada kemungkinan konten tersebut telah diunduh oleh pengguna lain. Dalam hal ini tidak ada yang dapat dilakukan karena tidak ada akses ke perangkat digital pribadi.
Apabila korban meminta kasusnya diproses ke ranah hukum, SAFEnet akan mengarahkan korban ke situs carilayanan.com. Situs tersebut memuat puluhan informasi lembaga bantuan yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika daerah asal korban tidak memiliki akses LBH, korban akan diberitahu tahapan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
Anak juga menjadi korban KBGO

Dalam wawancaranya dengan BaleBengong, Shinta mengungkapkan anak (0-17 tahun) menjadi korban terbanyak kedua setelah usia dewasa. “Biasanya usia produktif itu kan terkenal dengan akses terhadap internetnya yang penetrasinya lebih oke lah dibanding boomers atau anak-anak, tapi justru anak-anak itu jadi kelompok yang sebagai korban KBGO terbesar kedua,” terang Shinta.
Pada laporan SAFEnet Triwulan I, kasus KBGO terhadap anak-anak terjadi sebanyak 123 kasus. Korban terbanyak adalah usia produktif (18-25 tahun) sebanyak 272 kasus. Shinta mengungkapkan bahwa kondisi anak-anak menjadi korban KBGO terbanyak kedua telah terjadi selama tiga tahun terakhir, yaitu dari tahun 2022 – 2024.
Sementara itu, modus yang paling banyak terjadi pada kasus KBGO anak adalah deep fake. “Deep fake itu sasaran terbesarnya adalah anak-anak korbannya. Jadi SAFEnet tahun ini tuh nerima 30 aduan dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak,” ungkap Shinta.
Penanganan kasus KBGO pada anak berbeda dengan korban dewasa. Korban usia anak akan diberikan psikolog khusus anak. Anak akan lebih merasa nyaman dengan pendekatan menggambar atau mewarnai. “Tapi yang berbeda dari kasus anak itu kan sebenarnya anak tuh biasanya nggak mau diketahui oleh orang tuanya. Nah, itu yang harus kita tekankan ke anak kamu tuh belum 18 tahun, jadi harus butuh wali, cari orang yang bisa kamu percaya,” ungkap Shinta.
Aparat Penegak Hukum (APH) tidak memihak korban
UU Pornografi dan UU Nomor 12 Tahun 222 tentang TPKS memiliki pendekatan yang berbeda kepada korban, terutama terkait pembuktian. Dalam UU Pornografi disebutkan setidaknya ada dua saksi. Sementara itu, dalam UU TPKS, keterangan korban yang didukung salah satu alat bukti seharusnya cukup. Praktiknya, penyidik kerap meminta saksi, sehingga korban sering kali kebingungan dan akhirnya tidak melanjutkan laporan.
Shinta mengungkapkan bahwa adanya UU TPKS sebenarnya merupakan salah satu langkah progresif dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Namun, penerapannya yang justru belum bisa dibilang progresif. “Aparat penegak hukum belum bisa mengadaptasi regulasi terbaru. Alasan mereka pasti ya karena belum ada peraturan turunan dan lain sebagainya. Padahal, nggak harus nunggu peraturan turunan itu sudah bisa diterapkan,” imbuhnya.
Sejauh yang Shinta amati selama menangani kasus KBGO, APH di Indonesia masih sangat minim perspektif tentang keberpihakan kepada korban. “Lagi-lagi patokannya benar-benar teknis gitu,” ungkap Shinta.
Pasal 22 UU TPKS menyebutkan bahwa “Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Sayangnya, regulasi tersebut hanya tertulis di atas kertas, tanpa dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kapasitas APH dalam TPKS sangat dibutuhkan, sehingga laporan korban tidak lagi berhenti di tengah jalan dan setidaknya korban mendapatkan uluran tangan yang tidak menghakimi.
SAFEnet menyediakan laman aduan pelanggaran hak-hak digital dalam berbagai bentuk dan mode yang dapat diakses pada laman https://aduan.safenet.or.id/. LBH Bali juga menerima permohonan bantuan hukum yang dapat diakses pada laman bit.ly/BantuanHukumBali atau dapat berkonsultasi langsung ke kantor LBH Bali di Jl. Intan LC II/VIII No.1.