Bali selalu terkenal dengan menjunjung nilai-nilai kearifan lokal.
Nilai itu bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat untuk dapat hidup rukun. Salah satunya memiliki konsep hidup bermasyarakat yang membentuk solidaritas kuat yaitu menyama braya (persaudaraan). Kearifan lokal menyama braya patut dilestarikan dan bahkan ditumbuhkembangkan.
Nilai kearifan lokal Menyama Braya mengandung makna persamaan dan persaudaraan serta adanya pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaran maka sikap dan perilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara, patut diajak bersama dalam suka maupun duka. Namun, pada kondisi saat ini respon masyarakat terhadap kepulangan PMI Bali membuat konsep menyama braya seakan terkikis.
Sejarawan Israel Yuval Noah Harari menyatakan bahwa adanya virus ini justru menguji hati nurani kita, kebencian, keserakahan dan ketidaktahuan kita sendiri. Dalam pandangan Agama Hindu salah satu konsep dari Tri Hita Karana yaitu pawongan (manusia dengan sesama). Konsep ini memiliki makna kita harus bisa menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga, teman dan masyarakat.
Dalam menjaga keharmonisan tentunya menjauhkan sikap saling membeda-bedakan berdasarkan derajat, agama ataupun suku serta adanya diskriminasi pada golongan tertentu. Karena kita semua sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Menganggap apa yang diyakini benar dan apa yang diyakini orang lain yang tidak sama adalah salah.
Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terkena dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dari Maret lalu. Perekonomian Bali yang tergantung pada sektor pariwisata mengalami penurunan sangat disignifikan. Warga Bali yang menjadi pelaku pariwisata sangat merasakan dampak pandemik ini. Banyak nyama Bali yang bekerja di luar negeri, lebih dikenal dengan sebutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga terkena.
Maraknya kasus Covid-19 menyebabkan banyak sektor perjalanan pariwisata terhenti. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Karena berhentinya sektor pariwisata, banyak PMI Bali pulang. Mereka sangat rentan terpapar virus corona dan dikhawatirkan memicu transmisi lokal di Bali, secara otomatis menambah kasus virus Corona di Indonesia.
Hal itu menyebabkan kepanikan masyarakat Bali. Muncul pro kontra yang menyebabkan PMI Bali merasakan diskriminasi karena dianggap sebagai pembawa virus. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali telah menyiapkan penjemputan di kedatangan internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai. PMI juga dikarantina untuk menjalani rapid-test pertama. Ketika hasil negatif PMI diperbolehkan pulang ke rumah masing-masng serta disarankan untuk isolasi mandiri.
Namun, apa daya, alih-alih diterima, mereka malah ditolak krama adat banjar yang takut par PMI akan mengakibatkan transmisi lokal. Alhasil, mereka harus menjalankan isolasi mandiri di tempat berbeda. Misalnya di kos, penginapan dll selama 14 hari. Padahal, mereka sudah membawa surat keterangan sehat dari Luar Negeri dan Dinas Kesehatan serta hasil rapid-test yang negatif.
Hal itu menyebabkan banyak PMI Bali kecewa karena mereka ditolak di tanah kelahiran sendiri.
Penolakan
Karena banyak terjadi penolakan Pemprov Bali berusaha menyediakan tempat karantina untuk PMI. Namun, lagi-lagi banyak masyarakat Bali yang merasa keberatan jika wilayah mereka dijadikan tempat karantina.
Seperti ditulis Kompas, penolakan itu misalnya terjadi di Banjar Subagan, Desa Sengkidu, Kecamatan Manggis, Karangasem sempat menolak Hotel Rama Candidasa di dekat wilayah itu dijadikan tempat karantina PMI pada Rabu (15/4/2020). Setelah bernegosiasi, akhirnya warga mengizinkan hotel itu dijadikan tempat lokasi karantina buat pekerja migran. Para pekerja migran itu masuk ke hotel dengan pengawalan aparat kepolisian pada Kamis (16/4/2020) sekitar pukul 01.00 WITA.
Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa mengaku kurang menyosialisasikan kebijakan itu kepada warga sekitar. Kurangnya sosialisasi membuat masyarakat khawatir dengan keberadaan para PMI di tengah pandemi Covid-19. Karena kurangnya edukasi dan munculnya kepanikan masyarakat serta ketakutan yang berlebihan, masyarakat bereaksi sebaliknya bukannya menguatkan solidaritas melainkan dengan kebencian, saling menyalahkan.
James Scoot, sosiolog asal Amerika dalam bukunya Weapon of The Weak, menyatakan bahwa perlawanan simbolik sangat dimungkinkan dilakukan ketika informasi, teknologi, pemikiran, modal, tren dan kemuakan (rasa kesal, geram, marah dan muak) bergerak pindah dengan cepat. Perlawanan simbolik juga dapat membuat ideologi atau apapun yang memiliki kekuatan merasa kelimpungan dan takut karena mereka tak bisa melawan sesuatu yang tidak jelas dan absurd.
Pendapat James Scoot itu sangat cocok dengan penggambaran tertutupnya konsep menyama braya yang menolakan PMI di wilayah mereka.
Karena itu, dalam situasi krisis dan ketidakpastian seperti ini, konsep menyama braya harus dilestarikan dan diterapkan. Hal ini agar tidak terjadi diskriminasi dan stigma bahwa PMI pembawa virus. Sebaliknya, nyama Bali harus bahu membahu menciptakan solidaritas yang kuat dalam menyikapi pandemik ini, demi tercapainya hidup rukun seperti yang selalu dijunjung oleh masyarakat Bali. [b]