Maka, kamera pun melumerkan suasana yang garing.
Siang Rabu lalu di Teluk Nara, Lombok Utara. Cuaca di pesisir pantai cukup terik ketika kapal berlabuh. Bukit-bukit gersang melingkupi. Mirip Nusa Gede; Nusa Penida, Lembongan dan Ceningan.
Saya bersama tiga teman dari Bali Blogger Community berangkat singgah memenuhi one day trip ke Lombok dari pemilik Bounty Cruise.
Sekitar pukul 11.30 Wita, satu persatu penumpang menuruni kapal Bounty Cruise. Di dermaga telah dipancangkan umbul-umbul. Penabuh yang berteduh di bawah pohon ketapang memainkan gamelan.
Kerumunan orang lalu menuju wantilan. Di sana, telah menunggu Bupati Lombok Utara beserta jajarannya dan undangan. Di hadapannya orang-orang sibuk bertransaksi, saling menukar brosur layanan jasa wisatanya. Mereka kebanyakan para penggiat bisnis jasa wisata dari Bali dan Lombok. Karena itulah barangkali, perjalanan ini dinamai 1 Day Tourism Marketing.
Jalur Perdagangan
Dalam perjalanan 2,5 jam menuju Teluk Nara, kapal melewati Selat Lombok. Selat Lombok pernah menjadi jalur perdagangan alternatif yang ramai. Bali dan Lombok pernah mengembangkan suatu model perdagangan internasional pada awal tahun 1830an.
Perdagangan pantai di Selat Lombok meningkat pesat. Dua pedagang asing, yakni Mads Lange dari Denmark dan GP King dari Inggris, ikut membawa dinamika pada pelayaran niaga di jalur ini. Perdagangan meluas. Bandar-bandarnya banyak dikunjungi kapal-kapal besar dari Inggris, Perancis, Italia, Cina, Arab, Mujarad, Bengali, Keling. Perahu-perahu pribumi dari Bugis Makasar, Jawa dan Bali juga turut meramaiakannya.
Di bandar-bandarnya, tukar menukar barang dagangan terjadi. Misalnya, pedagang dari Cina membawa uang kepeng, linen dan candu. Pedagang dari Singapura membawa senjata dan amunisi yang dilarang Belanda. Di bandar Ampenan Lombok, senjata dan mesin juga diperdagangkan. Beras Lombok ketika itu juga banyak dicari, karena harganya murah dan kualitasnya yang baik. Beras ini pun disukai di Manila, Cina dan Eropa.
Karena dianggap tidak semonopolitis Batavia, Selat Lombok menjadi jalur pedagangan alternatif.
Di Bali sendiri, kondisi seruoa mulai terjadi di bandar-bandar pantai di Bali Utara. Misalnya, Temukus, Pabean Buleleng, dan Sangsit. Dari desa-desa seperti Gitgit, Baturiti, Manggisari, Sepang, Tista, Munduk, Gobleg, Umajero, Gesing, Cempaga, Tigawasa, Sidatapa dan Pedawa, dikirim barang-barang ekspor seperti beras, kopi, kopra, kedelai, minyak kelapa, sapi dan babi.
Jalur pedagangan Bali – Lombok – Batavia yang semula ramai pun berubah menjadi Bali – Lombok – Singapura.
Mati Gaya
Sebagai bandar, ia adalah tempat kapal bersandar. Aktivitas perniagaan model dulu mungkin tak lagi terjadi. Kini ada sistem marketing yang jauh lebih modern dikemas amat cantik. Yang dijual tak saja kebutuhan pokok pangan dan sandang, tapi juga panorama.
Teluk Nara. Di salah satu dermaganya, kapal pesiar Bounty Cruise itu bersandar. Hanya ada seorang penjaja gelang dan kalung manik mutiara dekat dermaga.
Ketika berlabuh, penumpang beranjak turun. Kami dibedakan berdasar warna gelang yang kami kenakan, merah muda, biru, dan kuning. Merah muda untuk para peserta kompetisi lomba foto. Biru untuk undangan. Kuning untuk media dan lainnya.
Orang-orang sibuk bertukar selebaran paket wisata dan kartu nama. Sisanya bergegas menuju bus untuk city tour. Tur ini untuk yang bergelang biru. Adapun yang bergelang merah muda mengikuti sesi photo hunting. Menurut jadwal tur ini menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam.
Sisa rombongan lain agendanya berupa mendengar presentasi marketing, fashion show, body builder dan lainnya.
Sayangnya, hingga jam makan siang tak ada satupun agenda tersebut yang diadakan. Alhasil selama sekian jam itu, mati gaya menyerang kami.
Teluk Nara masuk dalam kabupaten Lombok Utara. Kota masih jauh ke tengah. Di pinggiran pantai terdapat tempat-tempat penyewaan menyelam. Tak ada hiburan. Kendaraan lewat pun tak banyak. Kamera menjadi penghibur kami. Dan bila perjalanan serasa membosankan, dengan kamera sulaplah menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Sekitar pukul 16.00 wita, kapal mulai beranjak meninggalkan Teluk Nara dan berlanjut menuju Pulau Giri Rengit. Pulau ini, berdasarkan penjelasan sang kapten Sri Wahyuni dimiliki juga oleh pemilik Bounty Cruise. Luas lahannya 42 hektar. Bangunan di sana tak begitu megah. Hanya ada satu bangunan utama, restoran.
Menjelang pergantian hari, kami menuju Tanjung Benoa, Bali. Selesailah sudah perjalanan sehari dari Bali ke Lombok ini.
Jika tertarik juga, silakan siapkan biaya Rp 1,6 juta. Rute ini terbuka setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu. [b]
beneran mati gaya….