• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
Monday, September 25, 2023
  • Login
  • Register
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong.id
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Masak UWRF Kalah Sama Tukang Tajen?

Made Supriatma by Made Supriatma
30 October 2015
in Berita Utama, Kabar Baru, Sosial
0 0
0

UWRF 2015

Ubud Writers and Readers Festival adalah festival penuh glamour.

Setiap tahun selama 12 tahun dia mengundang penulis-penulis besar internasional dan dari tanah air. Tentu festival ini memakan biaya besar. Banyak perusahan menjadi sponsor.

Yang saya tahu, Freeport dan Citibank termasuk di antaranya. Publik Indonesia sayangnya tidak banyak mengetahuinya. Bahkan mungkin tidak peduli juga.

Tiga tahun lalu saya ke Ubud, tempat diselenggarakannya festival ini. Ternyata tidak banyak penduduk lokal yang tahu festival ini. Sambil makan di warung saya tanya ini itu. Termasuk soal festival yang gaungnya di dunia internasional sangat keras itu.

Tapi jawaban yang saya terima mengecewakan. “Banyak festival di sini, Pak” kata dagang nasi Be Guling.

“Oh tamu-tamu itu itu memang sering bikin party,” kata seorang pemandu wisata yang keliru menyamakan antara ‘festival’ dengan ‘party’.

Mungkin saya salah bertanya. Tidak seharusnya saya tanyakan festival para penulis, pemikir, dan penggerak kebudayaan ini kepada orang-orang biasa. Itu seperti bertanya jalan pulang kepada seekor sapi.

Di Ubud, sebagaimana di banyak tempat di Bali, memang ada berbagai jenis masyarakat: ‘nak Bali’ (orang Bali), tamu (turis atau bule), dan ‘pendatang.’

Seperti dalam masyarakat majemuk atau plural society-nya Furnivall, orang-orang ini punya kehidupannya sendiri. Hanya saja bedanya, kalau dalam masyarakat majemuk, mereka berbeda-beda namun toh mereka bertemu di pasar. Di Ubud, kadang mereka tidak bertemu sama sekali.

Tamu-tamu hidup dalam dunianya sendiri. Mereka hidup di bungalow, hotel, atau rumah-rumah pribadi yang umumnya berhalaman luas dan tertata rapi. Jelas, para tamu ini bukan orang sembarangan. Umumnya mereka kaya. Sangat kaya bahkan.

Sementara ‘nak Bali’ itu hidup seperti mereka menghidupi hidup yang sama dari sejak dulu kala: mereka ber-banjar; nyungsung pura, dan terikat dengan adat dan ritual. Kalau pun kedua segmen masyarakat ini bertemu, biasanya karena pertukaran ekonomi.

Tapi kalau ekonominya tidak ketemu, ya tidak akan pernah ada pertemuan.

Tentu para ‘tamu’ ini punya pembantu-pembantu (yang oleh kelas menengah Jakarta dengan malu-malu kucing disebut sebagai ‘asisten’ namun gajinya tidak meningkat sementereng istilahnya). Pembantu inilah yang berurusan ‘nak Bali’ atau ‘nak Bali’ itu sendiri yang jadi pembantu di rumah-rumah mewah itu.

Pendatang? Ya, ada yang seperti tamu juga. Para elite super kaya Jakarta banyak yang punya rumah di Ubud. Pendatang lain adalah semacam pedagang bakso atau dagang sate kambing yang banyak dijumpai di jalan-jalan Ubud.

Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun ini agak istimewa. Selain karena dia berusia sudah selusin, juga karena berbarengan dengan pembantaian PKI yang terjadi 50 tahun lalu.

Rencananya dalam UWRF tahun ini akan ada diskusi tentang pembantaian tahun 1965. Namun, rencana itu akhirnya dibatalkan karena aparat keamanan lokal tidak akan memberi izin untuk acara festival ini jika diskusi tentang pembantaian 1965 tetap dilakukan.

Direktur dan pendiri UWRF Janet DeNeefe menulis di koran Australia The Sydney Morning Herald bahwa akhirnya mereka mengambil keputusan untuk membatalkan diskusi itu. Dengan nada yang mengharu biru dia menulis, “We are […] sorry for those whose sessions have been cancelled, for all the work that has been done. But I believe these panels might find better platforms in safer homes right now.”

Pada intinya, dia tunduk pada pihak keamanan demi izin.

Banyak reaksi yang saya dapati dari keputusan ini. Seorang penulis Indonesia menulis dalam bahasa Inggris mengungkapkan ‘solidaritasnya’ untuk ‘Ubud.’ Namun ada juga kolega dari luar negeri yang sangat kecewa dengan keputusan ini dan akhirnya memutuskan untuk tidak datang sama sekali ke acara UWRF.

Ada yang bertanya-tanya, “That’s it?” atau “Cuman segitu aja?”

Reaksi paling menohok datang dari seorang kawan. Dia terbahak-bahak menceritakan peristiwa ini kepada saya. “Masak kalah sama petajen,” katanya menyebutkan para penggemar sabung ayam yang memang marak di Bali.

Petajen selalu jadi sasaran pemerasan polisi. Tapi paling tidak petajen selalu melawan. Kalau dirazia, mereka lari. Lalu buka gelanggang lagi. Paling sial kalau tertangkap tangan.

Kalau itu terjadi, ya mereka terpaksa bayar polisi-polisi itu. Toh bayar itu melawan juga, bukan? Dengan membayar biasanya mereka bisa melecehkan dan memandang rendah polisi.

Namun yang lebih tragis lagi adalah kejadian semalam. Saya mendengar dari seorang kawan bahwa sesi panel untuk tolak reklamasi juga kabarnya dibatalkan. Saya tidak tahu, apa alasan pihak UWRF membatalkan sesi ini.

Ada dua hal yang saya pelajari dari kejadian ini. Pertama, kalau Anda benar-benar menginginkan kebebasan – seperti yang ditulis dalam kolom Sydney Morning Herald oleh direktur UWRF itu – maka kebebasan harus diperjuangkan, harus direbut, dan meminta pengorbanan.

Ketika Anda menyerah, dengan segera pihak yang merampas kebebasan Anda itu akan merasa bahwa kekuasaan mereka ternyata berjalan dengan baik. Ketika penguasa menyadari itu, mulailah mereka memeras.

Kedua, ada yang lebih esensial. Di Indonesia ini, berbicara tentang pembantaian 1965 adalah sebuah perlawanan. Anda harus tahu apa artinya melawan. Tidak ada artinya berbicara tentang pembantaian itu dengan meromantisasinya.

Ini bukan persoalan romantik! Ini adalah pertarungan.

Para pembantai di sini adalah pemenang. Mereka yang menulis buku-buku sejarah. Mereka yang memberikan narasinya. Mereka yang menciptakan imajinasinya. Anda harus bertarung bahkan hanya untuk membicarakan pembantaian ini.

Siapa lawan Anda sangat jelas. Dia hadir – dengan senjata, dengan surat izin, dengan massa bayaran atau massa yang sudah dicekoki secara ideologis, dengan modal, dan lebih-lebih lagi dengan kekuatan kata dan rekaan imajinatif seperti dalam karya sastra, teater, atau film.

Direktur UWRF di akhir eseinya menulis, “Censorship and writers festivals don’t mix, just like oil and water.” Yeah, right. But, please, don’t let censorship works! [b]

Tags: PolitikSosialUbudUWRF 2015
ShareTweetSendSend
Anugerah Jurnalisme Warga 2021
Made Supriatma

Made Supriatma

Made Supriatma, editor pada Joyo Indonesia News Service (JoyoNews) dan peneliti masalah-masalah konflik etnis dan kekerasan komunal. Tinggal di New Jersey, Amerika Serikat.

Related Posts

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

4 September 2023
Keragaman Topik Kemanusiaan di UWRF 2022

Keragaman Topik Kemanusiaan di UWRF 2022

27 October 2022
Menilik Hotel Ramah Lingkungan Mana Earthly Paradise

Menilik Hotel Ramah Lingkungan Mana Earthly Paradise

1 July 2021
Melali ke Ubud? Yuk Singgah di Tujuh Lokasi Ini

Melali ke Ubud? Yuk Singgah di Tujuh Lokasi Ini

22 June 2021
You and I, tentang Memori dan Dekatnya Kematian

You and I, tentang Memori dan Dekatnya Kematian

17 April 2021
Meceki, Kendaraan Strategis untuk Melalui Arus Balik

Meceki, Kendaraan Strategis untuk Melalui Arus Balik

4 April 2021
Next Post
Warga Bali Kembali Aksi Menolak Reklamasi

Reklamasi Teluk Benoa antara Jerinx dan Wiana

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Melali Melali Melali

Temukan Kami

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Cerita Pohon: Dadap, Super Tree yang Terlupakan

Cerita Pohon: Dadap, Super Tree yang Terlupakan

10 September 2023
Berhitung Angka dalam Bahasa Bali

Berhitung Angka dalam Bahasa Bali

5 June 2013
Rencana Pembangunan Hidden City Ubud dan Kerisauan Warga

Rencana Pembangunan Hidden City Ubud dan Kerisauan Warga

5 September 2023
Jangan Terlambat, Lindungi Anak Sekolah dari Kerentanan Bencana di Karangasem

Jangan Terlambat, Lindungi Anak Sekolah dari Kerentanan Bencana di Karangasem

26 July 2023
Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

4 June 2012
Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

2
Meneladani Hidup dari Buruh Gendong

Meneladani Hidup dari Buruh Gendong

1
Karut Marut di Jalan Terus Berlanjut

Karut Marut di Jalan Terus Berlanjut

2
Kisah Pohon di Bali: Lateng, Penjaga Hutan

Kisah Pohon di Bali: Lateng, Penjaga Hutan

1
Nyamannya Bus Trans Sarbagita ke Nusa Dua

Melihat Transportasi Umum di Bali Bekerja

25 September 2023
Pemprov Bali Harus Segera Penuhi Kebutuhan Warga

Mengapa Sengketa Adat di Bali Begitu Rumit?

25 September 2023
(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

24 September 2023
Menguji Akses Publik di KEK Kura Kura Bali Hasil Reklamasi Serangan

Menguji Akses Publik di KEK Kura Kura Bali Hasil Reklamasi Serangan

23 September 2023
Jalan Kaki Menikmati City Tour Semarapura

Produksi Air Minum dalam Kemasan Kian Menjamur

23 September 2023

Kabar Terbaru

Nyamannya Bus Trans Sarbagita ke Nusa Dua

Melihat Transportasi Umum di Bali Bekerja

25 September 2023
Pemprov Bali Harus Segera Penuhi Kebutuhan Warga

Mengapa Sengketa Adat di Bali Begitu Rumit?

25 September 2023
(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

24 September 2023
Menguji Akses Publik di KEK Kura Kura Bali Hasil Reklamasi Serangan

Menguji Akses Publik di KEK Kura Kura Bali Hasil Reklamasi Serangan

23 September 2023
BaleBengong.id

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In