
“Ketika keindahan alam dijadikan latar belakang bisnis, kita lupa bahwa alam bukan panggung, melainkan jiwa dari tempat itu sendiri.”
Pemandangan Gunung Batur yang dulunya terbentang luas dan memesona, kini perlahan mulai tertutup oleh deretan bangunan komersial yang menjamur tanpa kendali. Kintamani, daerah yang dikenal karena keindahan alam dan kekayaan budayanya, kini berada di persimpangan antara pelestarian dan eksploitasi.
Pembangunan kafe, restoran, dan swalayan modern memang membawa geliat ekonomi baru bagi masyarakat lokal. Akan tetapi di balik itu semua, ada harga yang diam-diam harus dibayar dan hilangnya harmoni antara manusia dan alam. Kemacetan yang terjadi hampir setiap hari, terutama saat upacara keagamaan, menunjukkan betapa infrastruktur yang ada belum siap menghadapi ledakan jumlah pengunjung. Jalanan sempit dan padat kendaraan tak hanya mengganggu aktivitas warga, tapi juga menciptakan tekanan yang besar pada ruang hidup dan spiritualitas kawasan ini.
Lebih dari itu, deretan bangunan di sepanjang jalan dan lereng tebing tak hanya mengganggu estetika lanskap, tapi juga mengundang potensi bencana. Banyak dari bangunan tersebut berdiri di zona hijau dan didirikan tanpa izin yang jelas. Di kawasan Penelokan, yang semestinya menjadi titik pandang utama keindahan Gunung Batur, Danau Batur, dan kalderanya, kini mulai terhalang oleh coffee shop dan tempat usaha lain yang menyalahi tata ruang.
Pembangunan yang tak terkendali ini tidak hanya mengaburkan pemandangan, tetapi juga merusak lingkungan. Pertanyaan mendasarnya; apakah benar pembangunan semacam ini akan memajukan Kintamani? Ataukah ini hanya sebuah bentuk kapitalisme pariwisata yang mengorbankan kelestarian alam dan budaya lokal?
Keadilan ekologis juga patut dipertanyakan. Ketika pembangunan hanya berpihak pada para kapitasis dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, sementara alam menjadi korban, di mana letak keberlanjutannya? Apakah ini sepadan dengan pendapatan yang dihasilkan?
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap arah pembangunan di Kintamani. Kebijakan harus berpihak pada masa depan, bukan hanya pada keuntungan hari ini. Kawasan yang kaya akan keindahan alam dan nilai budaya ini seharusnya dijaga, bukan dikomersialisasikan tanpa batas.
Pariwisata seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat identitas lokal dan melestarikan lingkungan, bukan sebaliknya. Jika tidak ada perubahan arah, kita bukan hanya kehilangan panorama indah, tapi juga kehilangan makna dari pariwisata itu sendiri.
cerutu4d cerutu4d situs slot