
Mungkin belum lekang dalam ingatan bagaimana kasus operasi tangkap tangan seorang Bendesa Adat (ketua adat) di Bali karena dugaan pemerasaan dalam pengurusan izin investasi usaha di wewidangan (wilayah) desa adat tersebut. Peran dari Bendesa Adat menjadi sangat vital bersama dengan kepala desa/perbekel untuk memberikan rekomendasi sebelum izin diterbitkan.
Begitu sentralnya peran dari Bendesa Adat ini, akses kekuasaan yang dimilikinya sangat berpotensi untuk disalahgunakan, paling tidak di beberapa wilayah di mana investasi pariwisata dan “lahan-lahan basah” begitu menggiurkan. Tentu tidak semuanya. Masih banyak wilayah desa adat yang berjalan ringkih namun tetap suntuk menjalankan kewajiban ritual di wilayah adat mereka. Jauh dari ingar-bingar mengurus desa dari pengaruh pariwisata.
Kasus tangkap tangan ini menimpa seorang bendesa yang wilayahnya terkenal menjadi salah satu daerah yang berkembang masif akibat pariwisata. Sang bendesa tertangkap tangan menerima uang sebesar Rp 100 juta sebagai uang pelicin untuk memberikan rekomendasi pembangunan di wilayah adatnya. Sudah menjadi keharusan, para calon investor mesti mendapat rekomendasi dari Bendesa Adat setempat agar bisa menjalankan kegiatan investasi, seperti mendirikan villa, hotel, dan jenis usaha bisnis lainnya.
Bendesa Adat (biasanya bersama kepala desa) menjadi penentu lolosnya sebuah izin investasi di kawasan desa wisata dan adat. Rekomendasi inilah yang nantinya menjadi modal bagi investor untuk mengajukan perizinan ke pemerintah daerah, notaris, pengurusan Amdal, dan persyaratan lainnya sebelum investasi berjalan.1
Ihwal Kebangkitan Adat
Seturut dengan perkembangan pariwisata dan dampak yang mengikutinya, kemunculan kelas elit di masyarakat menjadi persoalan yang serius. Salah satunya adalah kebangkitan masyarakat adat, dalam hal ini di Bali disebut dengan desa pakraman/desa adat, memiliki perjalanan panjang. Pasang surut perjalanannya sangat ditentukan dengan relasi yang dijalankan dengan negara dan kekuasaan supra-desa adat lainnya, termasuk di dalamnya adalah bernegosiasi dan bersikap menghadapi hadirnya investasi. Sebelum mengalami periode kebangkitan pasca reformasi 1998 dan desentralisasi daerah menguat, masyarakat-masyarakat adat di seluruh negeri ini dicengkram sangat kuat dalam otoritas negara dan aparatusnya.
Jika kita menengok kembali ke belakang, istilah masyarakat adat dilahirkan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993 sebagai terjemahan dari Indigenous People, sebagaimana diakui dalam hukum internasional. Istilah ini masuk alam arena debat public pada tahun 1999 melalui sebuah kongres nasional yang akhirnya melahirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Masyarakat adat sebagai sebuah entitas dalam relasinya dengan negara dan investasi secara luas juga penuh dinamika dan pasang surut. AMAN adalah organisasi yang pertama menyuarakan pengakuan masyarakat adat. Pada Kongres AMAN Maret 1999 di Jakarta keluarlah kalimat heroik “Kami tidak akan mengakui negara, kalau negara tidak mengakui kami”.
AMAN mengkonstruksi pengetahuan sendiri tentang masyarakat adat, yang tampaknya disepakati oleh ribuan anggotanya, serta digunakan oleh beberapa kalangan, termasuk kalangan akademik. Masyarakat adat dikonstruksikan sebagai masyarakat berdaulat yang berhak memerintah diri mereka sendiri dan sumber-sumber daya yang menjadi andalan kehidupan mereka. Masyarakat adat dipandang sudah ada sebagai masyarakat yang organisasi sosialnya khas, memiliki kedaulatan atas kehidupan mereka sendiri dan wilayah dimana mereka hidup jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Bagi AMAN, masyarakat adat memiliki budaya yang khas, mengetahui batas sosial antara siapa yang menjadi anggota mereka dan siapa yang tidak, dan memiliki tata pemerintahannya sendiri, dan yang lebih terpenting merupakan bentuk masyarakat sosial asli di Indonesia.
AMAN secara meyakinkan menunjukkan bahwa adat bisa dengan pengetahuan dan caranya sendiri mengelola sumber daya secara lokal sebelum investasi luar negeri masuk dan industry kehutanan muncul pada tahun 1960-an. Sederhananya, masyarakat dirumuskan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayahnya sendiri.
Pada masa awal kebangkitan masyarakat adat ini, pandangan romantik sangat mendominasi. Para aktivis masyarakat adat ini mengungkapkan bahwa menemukan masih ada komunitas di Indonesia yang hidup dalam harmoni dengan lingkungannya, memiliki pengetahuan ekologis yang asli, memiliki tanah berdasarkan kepemilikan komunal dan melestarikan bentuk-bentuk pemerintahan sendiri yang otonom dan demokratis berbasis tradisi. Ia menyebutkan penemuan itu sebagai “oase di tengah gurun”.
Masyarakat adat dalam pandangan romantik ini direpresentasikan memiliki pola hidup yang unik dan autentik yang bisa diterapkan di seluruh Indonesia di masa depan. Jika masyarakat adat dipulihkan dan digalakkan untuk mempertahankan keaslian mereka sendiri, maka mereka akan mereformasi seluruh masyarakat, mulai dari bawah. Namun, kondisi yang terjadi adalah rezim otoritarian Orde Baru adalah sangat individualistic, tamak, perusak ekologi, menekan masyarakat adat melalui modernitas, kontrol oleh lembaga keuangan internasional, hilangnya otonomi ekonomi, politik, budaya. Keseluruhan itulah yang menjadi karakteristik dari globalisasi yang diangkut oleh rezim otoritarian Orde Baru (Tania Li, 2010: 375-376).
Masyarakat adat dibayangkan (hanya sebatas) komunitas yang masih menetap di tanah leluhur mereka, tetapi tidak mengesampingkan penduduk kota yaitu para intelektual dan aristokrat yang mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai bagian masyarakat adat dan kadang menganggap diri mereka sebagai pemuka-pemuka penting (Li, 2002: 174). Konstruksi masyarakat adat seperti ini menimbulkan bahaya romantisasi, eksklusifitas adat, dan fluid (cairnya) adat untuk berbagai macam kepentingan ekonomi politik. Adat bisa diartikulasikan sekaligus “dimanfaatkan” untuk berbagai kepentingan dan sekaligus juga menyingkirkan komunitas yang tidak dikategorikan sebagai masyarakat adat itu sendiri.
Selain pengaruh besar kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perubahan relasi state dan society juga terjadi pada pasca rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Salah satu karakteristik penting dari perubahan interaksi antara state (negara) dan society (masyarakat) adalah bahwa masyarakat tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan keputusan, maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, peran masyarakat lebih banyak diwakili oleh elit masyarakat (societal actors). Dalam kondisi seperti ini, maka sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan, baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh kondisi dan tawar-menawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi, dan state actors (para elit penyelenggara negara), pada sisi yang lain.

Cengkraman Para Elit
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi momentum penting menguatnya kembali peranan para elit local dan juga para elit masyarakat adat dalam hal ini. Partisipasi masyarakat pada akhirnya hanya terhenti pada representasi para elit ini. Para elit masyarakat ini membuka ruang dan menemukan kesempatan untuk membangun dan mengembangkan jaringan informal (informal networks) dengan para elit penyelenggara pemerintahan di daerah.
Studi komprehensif yang dikumpulkan oleh Hanley, Davidson, dan Moniaga (2010) juga mencatat bahwa kebangkitan adat yang sedang terjadi sekarang ini di daerah-daerah sudah cenderung untuk memperkuat kekuasaan elit-elit local. Para elit ini dengan sangat lihat mengkaitkan dirinya dengan adat sebagai sebuah basis legitimasi politik dan organisasi. Para elit ini, sudah tentu didominasi oleh laki-laki, sangat diistimewakan dengan basis legitimasi politik dan organisasi dari adat tersebut.
Implikasi yang juga sangat serius dari kebangkitan adat dengan para elitnya adalah sebagai alat etnoteritorialisasi. Selain itu, kebangkitan adat juga beresiko sebagai lahan manipulasi elit terhadap adat untuk tujuan politik (Tania Li, 2010). Melihat begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap desa adat di Bali, kita perlu melihatnya sebagai dalih untuk memanipulasi adat demi tujuan politik.
Ben White (2014) mengungkapkan pandangannya berkaitan dengan cengkraman para elit adat di berbagai wilayah untuk mengakses keuntungan ekonomi politik bagi diri dan jaringannya. White menggunakan kasus agraria, saat tanah-tanah begitu mudahnya beralih kepemilikan kepada para investor dengan perantara para elit ini. Ia mengungkapkan bahwa ketika tokoh-tokoh adat (yang hampir selalu laki-laki tua) mengalokasikan hak untuk mengolah lahan, mereka tidak terlalu memperhatikan kebutuhan dan hak kaum perempuan atau kaum muda yang memerlukan lahan untuk penghidupan mereka.
Pada era menjangkitnya pengambilalihan lahan oleh korporasi saat ini, sudah ada juga kecenderungan di kalangan tokoh adat untuk memperkaya diri mereka sendiri dan kroni atau sanak famili mereka dengan jalan mempermudah pelepasan lahan kepada pihak luar yang boleh jadi menggerogoti atau meluluhlantakkan hak-hak adat petani penggarap skala kecil. White menyakini ada sebagian tokoh desa yang aktif mendorong kepentingan dan pemberdayaan anggota masyarakat yang bukan kelompok elite, dan menghargai hak kaum perempuan dan generasi muda, tetapi mereka tidak dapat diandalkan untuk melakukannya kecuali mekanisme pengawasan dan keberimbangan yang berfungsi dengan layak tertanam di dalam struktur pemerintahan masyarakat desa.
Hal ini secara gamblang menunjukkan fragmentasi (keterpecahan) dan begitu banyaknya lapisan sosial di tengah masyarakat mengerucut kepada dominasi elit yang seolah-olah menjadi representasi atau wali masyarakat. Oleh sebab itulah White (2017: 21) dengan mengutip salah satu pembicara asal Indonesia dalam konferensi internasional di Bali mengungkapkan “Apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adat di Indonesia sekarang adalah pembebasan dari elite mereka sendiri.”
Daftar Pustaka
Davidson, J. Hanley, D. Moniaga, S. (ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.
Li. T.M. 2010. “Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer” dalam Davidson, J. Hanley, D. Moniaga, S. (ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia (367-405). Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.
Li, T.M. 2002. “Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan” dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif XI/2002.
White, B. 2017. UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam Penelitian dan Kebijakan. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial, 36, 15-28.
1 Lihat: https://www.tempo.co/arsip/kejati-bali-periksa-tujuh-saksi-soal-dugaan-bendesa-adat-peras-investor-60917 (diakses 2 Maret 2025).
situs slot gacor toto slot toto slot link slot https://sipulan.depok.go.id/img/`