Agak rancu memang. Ketika seseorang menjadi bagian dari suatu masyarakat, idealnya dia mendapatkan perlindungan dari masyarakat itu sendiri.
Tanpa terkecuali, baik itu yang kelihatan bekerja maupun tidak. Faktanya, dalam aturan jaminan sosial, tidak menunjukkan bahwa seseorang yang tidak bekerja berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, kematian, dan lain-lain. Jika demikian, betapa mengerikan menjadi WNI: “Sudah jatuh tertimpa tangga, tangganya pinjam dan rusak.”
Untuk mendapatkan jaminan sosial saja harus punya status “tek” (tenaga kerja). Sementara cari kerja tidaklah gampang.
Kita mungkin pernah menyaksikan berita seorang istri menguburkan suaminya, yang mati karena TBC, di dapur. Pertama, keluarga tersebut kurang informasi mengenai pengobatan. Kedua, ia tidak mampu membiayai penguburan, dan akhirnya merasa malu untuk memberitahukannya kepada orang sekitar. Perbuatan sang istri kepada suaminya ini patut dipuji, karena berusaha tidak mau menyusahkan orang lain.
Tetapi di sisi lain, masalah ini adalah cerminan dari nurani pemerintah kita. Sampai sejauh manakah tanggung jawab para pengelola negeri ini?
Meskipun pemerintah pusat dan DPR sudah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diharapkan dapat membantu penganggur, namun hal ini belum menjadi sebuah kabar menggembirakan. Hal tersebut sangatlah berarti bagi para pekerja, terutama menyangkut kesehatan, pensiun, dan PHK.
Kelaparan
Tetapi sejauh ini upaya untuk merumuskan kebijakan jaminan pengangguran masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi, pemerintah harus menanggulangi pengangguran, di sisi lain pemerintah harus segera menentukan solusi bagi penganggur. Biar bagaimana pun mereka punya hak hidup, tidak boleh kelaparan.
Padahal undang-undang mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional telah terbit sejak tahun 2004, yang jika dilaksanakan dengan baik, maka seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan perlindungan sosial berupa jaminan dari lahir sampai mati: kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian.
Berdasarkan data Juni 2012, pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta Jamsostek sebanyak 10,58 juta orang, dari 152.000 perusahaan di Indonesia. Sementara perkembangan di Bali saat ini, dari sekitar 2 juta orang tenaga kerja, hanya sekitar 180 orang atau sekitar 8 persen tenaga kerja yang sudah mengikuti program Jamsostek.
Hal ini berarti sekitar 92 persen tenaga kerja belum mendapat perlindungan keselamatan kerja. Itu baru di sektor formal, belum lagi yang di sektor informal. Apabila terjadi kecelakaan kerja, PHK dan lainnya, maka akan dibebankan sepenuhnya kepada tenaga kerja. Sungguh bertolak-belakang jika dibandingkan dengan kehidupan Pegawai Negeri Sipil.
Ingatkah kasus layang-layang maut di pantai Padanggalak? Keluarga si korban hanya mendapatkan santunan!
Mengenai sebab-sebab masalah di atas: Apakah memang perusahaannya yang nakal, ataukah kebijakan pemerintah (izin usaha, pajak) yang memberatkan pengusaha sehingga lebih menguntungkan pemerintah? Bolehlah jadi, mungkin jaminan pailit (bangkrut) dan jaminan profesi pun perlu dipertanyakan. Memang sejauh ini, sebagian masyarakat kurang informasi mengenai SJSN dan para pekerja sedikit tahu juga tentang hak-hak mereka.
Beberapa upaya sosialisasi telah dilakukan seperti pada acara Press Gathering PT. Jamsostek Persero di Ubud Gianyar yang bertemakan “Optimalisasi Peran Pers Dalam Memasyarakatkan Program Jaminan Sosial.” Sebuah gagasan yang bagus, jika diadakan di setiap banjar dinas yang ada di Bali.
Harus tunggu apalagi? Seandainya pemerintah tidak cepat-cepat memutuskan dan melaksanakan SJSN berarti mereka menyuruh rakyat mati cepat! Tiada kalimat lain untuk menilai pemerintah saat ini. Jaminan sosial selayaknya berlaku bagi setiap warga negara, bahkan anak bayi sekalipun. Tidak perlu pengkotakkan dalam status dan kategori. Wajarlah apabila setiap warga negara harus mempertanyakan kembali kewarganegaraannya, bahkan fungsi KTP sekalipun.
Bukankah selama ini, kita tidak melakukan perjanjian hitam di atas putih sebagai WNI? [b]
Foto dari Komite Aksi Jaminan Sosial.