Batubulan hanya salah satu desa yang bergantung kepada pariwisata.
Ketika pariwisata masih berjaya, sebelum pandemi COVID-19 menyerang dunia, warga menggantungkan hidupnya dari pariwisata. Warga banyak bekerja sebagai sopir paket wisata, buruh hotel, ataupun pengusaha oleh-oleh khas Bali yang berjejeran sepanjang jalan ataupun pasar.
Sebagian warga bekerja sebagai penari kecak dan barong. Saya sendiri termasuk salah satu yang ikut menari ketika itu.
Namun, kini tak ada lagi tepuk tangan turis di panggung pertunjukan. Tak ada lagi gelak tawa para penari ketika beraksi. Tak ada lagi pula dolar mengalir ke tangan warga yang dulu hidup dari pariwisata.
Gemuruh pertunjukan kini berganti kesepian. Deretan kursi bambu yang dulu penuh turis, kini menyisakan debu. Kusam. Sepi. Ekonomi di desa yang berbatasan dengan sisi timur Kota Denpasar itu terasa mati suri.
Begitu pula dengan toko oleh-oleh yang dulu ramai dengan transaksi. Kini tokonya sudah tutup. Terasa kontras dengan warung mie cepat saji yang kini berdiri di sebelahnya.
Semoga saja pandemi COVID-19 segera berlalu. Agar saya dan warga Batubulan lainnya bisa kembali tersenyum tidak hanya kepada turis, tetapi juga dolar yang mengalir lancar. [b]
Pemuda Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Pernah menjadi penari kecak di Singapadu. Masih belajar di SMKN 1 Sukawati dan sedang magang di BaleBengong.
Comments 1