Rekor penambahan kasus COVID-19 di Bali pecah kembali.
Hari ini, penambahan kasus positif mencapai 160 kasus baru. Kasus tertinggi sebelumnya adalah 129 yang terjadi sehari sebelumnya. Secara kumulatif, kasus postifif di Bali hingga 1 September 2020 mencapai 5.367 kasus positif dengan kematian 70 orang.
Meskipun demikian, tingkat kesembuhan di Bali relatif tinggi, 4.534 atau 84,48 persen. Adapun pasien yang dirawat sebanyak 763 orang yag dirawat di 31 rumah sakit tersebar di seluruh Bali.
Penambahan kasus tersebut menunjukkan bahwa situasi COVID-19 belum sepenuhnya terkendali. Penambahan kasus positif masih terus terjadi. Di sisi lain, tenaga kesehatan juga makin banyak jadi korban.
Untuk memberikan gambaran bagaimana situasi dan penanganan COVID-19 di Bali, kami mewawancarai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya pada akhir Juli lalu di kantornya. Lebih dari sebulan berlalu, poin-poin wawancara itu kami anggap masih relevan dan belum ada perubahan.
Jadi, kami masukkan di sini wawancara tersebut dalam bentuk tanya jawab.
Bagaimana kondisi kasus Covid-19 di Bali saat ini?
Memang secara umum terjadi penambahan kasus transmisi lokal khususnya. Tiap hari terjadi penambahan, terutama yang cukup banyak di Denpasar, Badung, Gianyar, Klungkung, dan Bangli. Tetapi dari kasus-kasus yang bertambah, umumnya orang tanpa gejala.
Itu kan didapat dari tracing contact. Jiks ada satu kasus positif, dilakukan rapid test. Yang reaktif, kemudian diswab. Hasilnya, 30% positif PCR-nya. Jadi ketemulah kasus-kasus positif. Sebagian besar tidak bergejala.
Nah, yang bergejala itu diisolasi dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan yang tanpa gejala dikarantina di tempat isolasi provinsi. Ada enam tempat isolasi, termasuk Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) di Biaung, hotel Ibis Kuta, hotel Grand Mega, dan hotel Ramada. Kapasitas 600 tempat tidur.
Untuk rumah sakit ada 13 RS dengan kapasitas mencapai 585 tempat tidur ruang isolasi. Jadi selama ini terisi 250-300. Sisanya ada di karantina provinsi rata-rata terisi 250 bahkan sempat 500 pada saat puncak di awal Juli.
Ada juga yang karantina mandiri. Bagi mereka yang terkonfirmasi positif, tanpa gejala, ingin karantina mandiri dan kita yakin mereka mampu melakukannya, kita izinkan untuk karantina mandiri. Tapi dengan pengawasan oleh rumah sakit, desa adat, dll.
Kedua, angka kesembuhan cukup tinggi. Sekitar 73,9 persen. Angka kematian tetap rendah meskipun sempat naik. Sekitar 1,7 persen.
Upaya pencegahan terus kami lakukan. Tidak hanya mengobati di hilir, tapi juga mencegah di hulu. Kita mencegah agar tidak banyak yang tertular. Ada pencegahan (prevent) lewat edukasi dan promosi sehingga mereka memahami bahwa COVID-19 ini bisa dicegah.
Kita jangan terlalu pesimis, paranoid dengan pandemi ini agar bisa menaikkan imun.
Upaya perlindungan individu dan masyarakat juga penting. Caranya melalui perilaku hidup sehat yaitu cuci tangan, masker, jaga jarak. Itu to prevent.
Selanjutnya to detect dengan mendeteksi tiap kasus kita telusuri kontaknya.
Apa penyebab naiknya kasus saat ini?
Apa penyebab naiknya kasus saat ini?Kalau saya lihat kasus per kasus, kematian dominan pada usia tua dan komorbid (dengan penyakit penyerta). Yang paling banyak ginjal, diabetes melitus, paru menahun, dan jantung. Juga karena imunnya rendah. Umurnya di atas 45 tahun.
Yang 40 tahun hanya 1. Sisanya semua di atas 45 dan punya komorbid.
Kenapa dia naik? Pertama karena disiplin yang kurang. Jadi orang-orang dengan risiko tinggi itu disiplinnya rendah. Sebenarnya banyak yang mungkin positif, tapi memang tanpa gejala. Tiap kita tracing, kita ketemu orang tanpa gejala (OTG). Jadi, makin banyak tracing ya makin banyak kita mendapatkan OTG.
Dari sisi teori virus, setelah delapan hari, itu tidak menularkan lagi. Jumlah virus dalam tubuh akan berkurang. Panduan yang sekarang, sepuluh hari setelah dirawat boleh dipulangkan karena virus sudah tidak menularkan. Kecuali orang-orang yang berisiko tinggi.
Ada beberapa kematian positif COVID-19, tapi tidak dicatat sebagai kasus COVID-19. Kenapa?
Semua kasus pasti kita catat. Sepengetahuan saya, apalagi ditemukan di jalan seperti pada warga asing, dia dites dan positif. Umumnya karena ada komorbid, artinya dia sudah terkonfirmasi tetapi tidak melaporkan ke rumah sakit sehingga tidak dirawat. Akhirnya begitu fase terminal, dia meninggal. Pas dicek ternyata positif. Pasti kita catat sebagai kasus terkonfirmasi positif COVID-19.
Saya tidak tahu berapa persis jumlahnya. Tetapi beberapa kasus seperti WNA (Perancis), wartawan (BaliPuspaNews). Pas meninggal baru dites, ternyata positif. Kami tidak ada menyembunyikan data.
Dari penelusuran kami, ada dua yang tidak masuk kasus COVID-19. Kenapa bisa terjadi?
Ya, ini barangkali ada pertimbangan-pertimbangan medis. Karena terus terang memang yang saya lakukan di gugus tugas itu berdasarkan input dari kabupaten. Jadi data di provinsi berdasarkan data dari kabupaten.
Saya yakin teman-teman di kabupaten sudah melakukan input dengan benar. Saya tidak pernah menyembunyikan kasus, apalagi biar kelihatan Bali ini baik-baik saja. Ndaklah. Kita tetap. Makanya, tracing Bali mungkin paling luas.
Setiap kali informasi bahkan ada yang meninggal pun sebelum swabnya positif, kita sudah tracing. Makanya surveillance kita ketat banget.
Perbandingan surveillance berapa?
Dari awal, perbandingannya sekitar 1:20. Satu kasus positif, ditelusuri 20 orang. Kami sudah luar biasa dengan teman-teman kabupaten. Tiap ada kasus, kita tracing duluan. Tanpa menunggu hasil swab. Tidak usah menunggu hasil tes swab positif.
Input di provinsi itu dari kabupaten. Proses pendataannya bagaimana?
Pertama dari pemeriksaan laboratorium. Setiap sampel yang masuk, dari admin lab sudah menginput dia sebagai new record sehingga pusat pasti tahu. Sinkronnya di sana. Data yg positif akan masuk ke kabupaten yang mengirim.
Dari sana Dinkes Kab/Kota akan mengecek sampel yang dia kirim. Tidak hanya yang tracing, tetapi juga PDP (pasien dalam perawatan) di rumah sakit. Ini kan diperiksa labnya. Nanti di-kroscek di kabupaten. Nanti mereka masukkan dalam data hari itu.
Kita di provinsi menunggu. Nanti mereka input ke nasional, kita di provinsi tahu. Makanya pusat tahu, kita tahu. Di provinsi juga kita konfirmasi ke pusat.
Siapa yang memasukkan data?
Pertama, all new record itu lab. Kita ada di RSUP Sanglah, RS Unud, RS Bali Mandara, Labkes, dan Unwar (Universitas Warmadewa). Ada aplikasi all new record. Ke pusat dan kita bisa akses. Matching. Harus sama.
Kita juga konfirmasi ke Kementerian Kesehatan. Makanya jam 12 kita baru kirim berapa PDP, meninggal, OTG, dst.
Data kasus negatif tidak terdata?
Tidak kita kirimkan, tetapi di kita tetap ada. Semua sampel dikirim ke provinsi dan kabupaten, jadi kita punya. Seharusnya itu bisa diakses di Diskominfos (Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistika). Saya tidak tahu persis. Jadi kita tahu berapa positive ratenya.
Memang benar secara epidemiolog kita tahu berapa positive rate-nya sehingga tracing ini sebenarnya makin banyak makin bagus. Artinya kita harus bisa mendeteksi setiap orang yang pernah kontak dengan kasus. Semakin detail semakin bagus.
Bukan berarti banyak, tetapi tidak kontak erat. Yang benar-benar kontak erat harus ketemu semua.
Kemudian seberapa besar yang positif, itu menentukan tingkat upaya pencegahan kita. Kalau dari satu orang bisa menularkan ke banyak orang, berarti upaya pencegahan kita belum benar. Dengan kata lain, upaya untuk prevention (pencegahan) itu belum berhasil. Di prevention inilah yang mesti kita lakukan.
Kalau positive rate di atas 10 persen, berarti kurang baik.
Sekarang berapa persen?
Kota Denpasar masih 18 persen. Bali mungkin hampir seperti itu. Targetnya harus di bawah 10 persen. Saya terus berjuang, tetapi kembali ke disiplin masyarakat. Pemda kan sudah menggeluarkan Pergub Penanganan COVID-19. Sudah ada perarem di desa adat. Kami juga punya protokol untuk 14 sektor.
Kalau semua taat, saya yakin (bisa), tetapi tidak tahu kapan. Sebelum ada punishment. Kalau ada punishment mungkin bisa lebih cepat. Mudah-mudahan bisa secepatnya. Biar tidak sia-sia pencegahannya.
Menurut saya ada tiga hal yang perlu kita lakukan dalam tatanan era baru ini. Pertama kita harus mau susah. Ke mana-mana pake masker, jaga jarak. Itu susah. Kedua, kita harus mau berubah untuk keselamatan kita dan lingkungan. Ketiga, kunci pokoknya disiplin. Kalau tiga hal ini kita lakukan, semua akan selesai cepat COVID ini.
Kok pendekatan penanganan pemerintah cenderung administratif. Misalnya PKM harus menunjukkan surat-surat. Apakah itu tepat?
Ya, memang kebijakan tetap harus kita jalankan. Pemerintah kan mau warganya sehat dan selamat. Tentu kita tidak boleh melanggar itu. Tetapi, kita sebagai orang kesehatan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar penanganan COVID-19 sesuai protokol kesehatan yang benar.
Kita tetap berjalan sesuai koridor. Seperti tiga hal yang kita lakukan tadi: prevent, detect, dan respond. Apapun kebijakannya, kami di kesehatan merasa tiga hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengatasi pandemi ini.
Soal anggaran kesehatan apakah sudah mencukupi?
Selama ini pemerintah sudah melakukan refocusing. Semua kegiatan lain difokuskan untuk penanganan COVID-29. Ini sudah berjalan. Saya kira apa yang kita lakukan selama ini sudah di-support oleh anggaran yang cukup.
APBD Provinsi bahkan kalau saya lihat lebih dari Rp 200 miliar untuk COVID-19 ini, tetapi masih kurang juga. Kita memerlukan anggaran sekitar Rp 300 miliar untuk menangani COVID-19 ini sampai Desember dari provinsi saja.
Dari APBN juga ada termasuk untuk insentif tenaga kesehatan. Kami transparan. Alat kesehatan yang kita dapat itu APD, ventilator, alat tes. Semua terbuka, termasuk sumbangan dari luar negeri.
Bagaimana proses distribusi alat kesehatan?
Dari pusat lewat Gugus Tugas Provinsi lalu diserahkan ke Dinas Kesehatan sebagai pelaksana teknis. Nanti kami distribusikan ke layanan kesehatan sesuai kebutuhan. Sanglah, misalnya, mengsusulkan APD (alat pelindung diri) 1.000, kami distribusikan 1.000.
Kami catat itu semua setiap detail berapa pun. Kami diawasi oleh Inspektorat. Karena ini kan harus dipertanggungjawabkan. Daerah juga sama.
Pengelolaannya APBN dan APBD. Pencatatannya berbeda, tetapi distribusinya sesuai kebutuhan baik pemerintah maupun swasta yang menangani COVID.
Yang beli barang (alat kesehatan) siapa?
Kalau di daerah, Dinkes. Tergantung kebutuhannya apa nanti. Untuk lelang, Dinkes juga yang melakukan dengan melibatkan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan Inspektorat. Mereka melakukan pengawasan.
Di Bali adakah analisis epidemologi terkait penanganan COVID?
Kami punya tim epidemologi dari Pemprov terdiri dari para ahli. Termasuk Prof Dewa Nyoman Wirawan, dr Ady Wirawan, dr Anak Agung Sagung Sawitri, dr Pande Januraga. Termasuk tenaga epidemologi provinsi. Ada dalam satu tim. Mereka melakukan kajian.
Hasil kajiannya apa?
Ada sih. Mereka melaporkan hasil kajiannya. Pertemuannya tidak rutin. Sesuai kondisi saja. Misalnya terjadi peningkatan sangat signifikan. Pertemuannya virtual. Beberapa kali kajiannya sudah kita bahas. Termasuk apakah Bali sudah perlu melakukan PSBB. Selama ini kajian itu kami pakai dasar untuk membuat kebijakan.
Dalam kajian biasanya ada puncak pandemi. Kapan itu?
Kita tidak bisa menentukan selama penularan lokal masih terjadi. Ini kan masih naik turun. Kemarin 78, sebelumnya sempat turun 33.
Ada kaitannya dengan status ketersediaan kamar?
Yang ditangani tidak hanya yang positif, tetapi juga PDP. Sehingga kesannya kamar penuh. Karena PDP memang tidak boleh dicampur dengan yang lain. Meski masih dalam pemeriksaan, dia harus terpisah. Kalau hasil tes positif, masuk klaster positif. Kalau negatif, langsung dikeluarkan dari sana.
Kalau sudah bergejala seperti demam, harus dicurigai sebagai PDP. Harus dirawat.
Revisi sekarang tidak ada istilah PDP. Yang ada suspect, dia harus dirawat. Dites PCR. Kalau hasilnya positif, harus diisolasi. Kalau negatif, harus dikeluarkan sebagai pasien biasa.
Klasternya bagaimana di Bali?
Klaster itu artinya penyebaran di satu tempat yang cukup banyak. Pernah ada klaster Pasar Kumbasari, Padangsambian, Pasar Galiran, Pasar Bangli. Itu umumnya di pasar. Itu dalam satu tempat, ada beberapa orang positif.
Dari 2.600an itu, berapa klaster?
Harus saya hitung dulu. Saya sarankan, data dan sebaran itu di Kominfo. Datanya dari kami, tapi pengolahannya di Kominfo. Bali ada datanya. Di Kominfo.
Saat ini rame tentang rapid. Apakah rapid test itu perlu?
Rapid ini sesuai dengan keperluan. Kalau untuk diagnostik memang tidak perlu. Kalau diagnostik itu gold standard-nya dengan PCR. Rapid diperluan untuk screening (penapisan). Misalnya ada meluas di satu daerah. Untuk mengambil tindakan tepat di situ, apakah menutup atau tidak, kita lakukan rapid test massal di sana. Begitu hasilnya banyak reaktif, berarti sudah terjadi penularan di sana.
Kita bisa menutup wilayah itu dengan cepat, termasuk melakukan tracing dan tes dengan PCR. Jadi rapid ini bukan standar untuk menentukan orang positif atau negatif, tetapi apakah di daerah itu sudah ada terinfeksi tetapi kebetulan kebal. Dia untuk melihat antibodi.
Kedua, itu juga untuk screening di pintu masuk. Untuk bisa mengetahui dengan cepat, seseorang sempat terinfeksi atau tidak. Tentu saja kalau reaktif, kita lanjutkan dengan PCR dan orang itu harus mau dikarantina sambil menunggu hasil PCR-nya.
Kalau di pintu masuk, siapa yang bertanggungjawab?
Di pintu masuk ada KKP. Tentu bekerja sama dengan pemerintah setempat.
Kok bisa kecolongan, misalnya pengalaman sendiri saat masuk Bali?
Tapi ‘kan sudah diperiksa ketat di pintu masuk. Sebelum masuk Bali harus diperiksa di Ketapang, apalagi dulu ada petugas dari Bali yang memeriksa di sana. Pos pemeriksaan memang di sana. Sebelum masuk kan sudah dicek persyaratannya sudah ada atau tidak. Kalau tidak menunjukkan hasil rapid test, mestinya tidak boleh masuk.
Semestinya di sini diricek lagi. Sebab, kadang-kadang ada yang lolos juga. Tapi kalau kita yakin di sana sudah dicek ya tidak perlu lagi. Di Gilimanuk sebenarnya melakukan.
Kebijakan rapid test sekarang sudah diperlonggar. Sekarang untuk screening saja. Kita bisa berubah-ubah karena pandemi.
Kami dari Kesehatan sudah melakukan sesuai SOP. Istilahnya kita sudah habis-habisan. Sekarang kembali ke masyarakat. Sekarang kan tidak ada sanksi. Kecuali ada sanksi, tetapi itu bukan wewenang kami. Barangkali desa adat yang punya wewenang.
Kok warga yang selalu disalahkan. Padahal waktu sembahyang di Besakih, tidak ada protokol?
(angkat tangan).. Itu kritik membangun.
Bagaimana jika pariwisata dibuka?
Kembali ke masing-masing sudah punya protokol. Ada 14 sektor yang sudah punya protokol. Sepanjang sudah menerapkan protokol dengan baik, saya kira tidak ada masalah pariwisata dibuka. Tidak bisa kita hanya terus fokus pada COVID saja, tetapi sektor lain tidak dibuka.
Yang penting mau susah, mau berubah, dan mau disiplin.