Saya masih ingat betul betapa panasnya Nusa Dua waktu itu. Saya berangkat dari wilayah Denpasar di siang bolong, tepat saat matahari di atas kepala. Saya takut terlambat karena sudah paham, di tengah perjalanan, Gunung Soputan, Imam Bonjol sampai Sunset Road menjelma neraka di jam makan siang. Sudah panas, macet pula. Saya tidak mau menambah kerjaan dengan kebut-kebutan dan lane filtering di jalanan itu.
Ketika sampai di tujuan pun belum ada booth minuman yang buka atau refill air minum untuk penonton (ya, harus diakui ini adalah nilai plus dari Joyland Fest kemarin), jadi saya untuk beberapa jam pertama hanya bertahan dengan stok air yang saya bawa dan ngadem di bawah pohon, dekat media centre. Lumayan, sambil menyalakan rokok hasil sharing dengan Mas Aby, seorang teman yang kebetulan menjadi Liaison Officer untuk Media saat itu.
Nama Mairakilla sebenarnya tidak asing bagi saya, karena seringkali namanya sliweran di beberapa poster gigs yang saya temui di linimasa sosial media saya. Hanya saja, saya belum pernah menontonnya secara langsung, setidaknya sebelum hari terakhir Joyland Fest. Riset saya lakukan untuk memahami sedikit musiknya lewat beberapa digital streaming platform.
Lagi-lagi, saya berkenalan dengan sesuatu yang benar-benar baru. Ibarat mencoba makanan dari tempat yang jauh, saya berusaha memahami rasanya dulu dan tidak punya pembanding perihal standar enak atau tidak enaknya.
Ibarat Liverpool di tangan Juergen Klopp, musik Mairakilla selalu dalam tempo yang cepat, intens, tidak ada ruang untuk lengah, bersedih atau malas-malasan sedikitpun.
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari proses saya mengikuti Joyland Fest 2023 di Nusa Dua, 17-19 Maret 2023. Terlambat, namun saya tidak ingin ini sia-sia. Sehari sebelum penampilan Mairakilla, saya membuat janji dengannya untuk membuat sesi wawancara. Kali ini, saya dibantu oleh Juni Antari dan Agus Noval Rivaldi, sementara saya fokus untuk mengambil potretnya. Kredit untuk mereka berdua yang bersedia ambil bagian dari proses ini.
Wawancara oleh Juni Antari (JA) dan Agus Noval Rivaldi (AGUK).
JA: Mungkin bisa kita mulai dari perkenalan diri dulu?
MK: Baik. Nama saya Maira, lebih dikenal dengan Mairakilla. Saya DJ dari Bali, lahir dan besar di Denpasar.
JA: Sejauh ini, apa saja karya-karya yang sudah dipublikasi?
MK: Untuk sekarang ada mixtape dan sedang memproduksi lagu juga. Semoga tahun ini rilis.
JA: Untuk pendengar pertama, seperti apa musikmu secara umum?
MK: Musikku kebanyakan bernuansa energetic, karena aku ingin menyemangati pendengar dengan musikku. Energi!
AGUK: Disco!
JA: Pesan yang ingin disampaikan lewat karyamu?
MK: Aku dari kecil suka game kan, jadi sangat terpengaruh dengan musik-musik dari game yang aku mainkan. Karya favorit dari komposer Nobuyoshi Sano (sanodg) dan Akitaka Tohyama. Mereka komposer musik untuk game Tekken. Aku dari kecil main Tekken dan mereka sangat mempengaruhiku dalam berkarya. Mereka favoritku.
AGUK: Kalo soundtrack game favorit?
MK: Yoshimitsu di Tekken Tag.
AGUK: Kamu suka banget sama Pikachu, ya?
MK: Aku kena marketingnya Pokemon, ha-ha, soalnya kan Pikachu lucu, gendut, pipinya merah. Terus makanan favoritnya kecap. Jadi kan lucu, terus standout.
JA: Ada ga nuansa Pikachu itu mempengaruhi karya Maira?
MK: Kalo Pikachu kan selalu energetic dengan listrik-listriknya. Jadi dari sana membuat orang-orang berenergi.
JA: Apa pengalaman lucu yang pernah dialami saat manggung?
MK: Boiler Room sih. Karena untuk di Boiler Room sendiri, musik yang dimainkan mostly house, jadi ga expect musikku (akan ditampilkan) karena beat-nya kenceng banget. Kaget ternyata respon dari pendengar bagus banget. Ternyata ada juga yang suka, karena kan jarang di acara yg gede.
AGUK: Apalagi gigs yang berkesan?
MK: Kismin Boys di Upaxara vol. 2 yang sama Prontaxan, energinya ngawur banget.
JA: Biasanya apa yg dipakai untuk menjadi satu buah sajian karya? Karena ada campuran kan.
MK: Aku menggunakan banyak genre di satu set. Mostly footwork, jersey club, drum&base, psytrance, trance. Semua 160 beats per minute (bpm), tergantung respon penonton.
JA: Jadi emang pengen menyalurkan energi ke penonton ya. Lalu, ada ga sih isu sosial di Bali yang pengen dicurahkan ke dalam karyamu?
MK: Saat ini belum ada. Emang pengen nyenengin orang, bersenang-senang dulu.
AGUK: Kebetulan kan Maira gabung Orbitware, ada Kak Manda dan lain-lain. Bisa dikenalkan sedikit tentang Orbitware? Dan fokusnya mau ke mana?
MK: Orbit ware ada Plaur, Raissa, Manda, Mairakilla, Tiara. Kami fokus untuk pertukaran performer dari Asia dan mengangkat musisi lokal.
AGUK: Berarti jejaringnya emang Asia?
MK: Iya.
AGUK: Biasanya gimana? Kok bisa dapet jaringan?
MK: Dari agent kirim email ke orbitware. Terus kalo untuk masalah komunikasi ke agent, si Plaur yang urus. Kemudian kami voting mau ambil atau tidak.
AGUK: Itu termasuk proses kurasinya ya?
MK: Iya.
AGUK: Sebenarnya aku dulu mengira, ketika Ravepasar ga ada, Orbitware akan mengisi ruang itu. Nah apakah Orbitware akan mengarah ke sana? Maksudnya bikin gigs sendiri gitu.
MK: Pengen, sih. Tapi semoga ga keteteran.
AGUK: Maira kan udah dua kali main di Joyland, ada ga perbedaan dari segi konsep dan penonton?
MK: Ada sih, kalo menurutku aku lebih suka di Bhagawan karena support Tanjung Benoa juga kan. Di sana sepi banget sekarang kek tahun lalu, jadi bagus untuk ngangkat pariwisata di sana. Kalau stage-nya aku suka yang tahun lalu karena lebih underground gitu kan jadi cocok sama musiknya.
AGUK: Kalo Joyland sendiri ketika diadain di Bali, sebenernya menurutmu, ada ga impact-nya untuk masyarakat lokal?
MK: Bagus sih, karena misal orang dari luar kota kesini biasanya akan nyari penginapan. Ketika ada Joyland, permintaan akan penginapan akan lebih banyak. Aku juga berharap Joyland bisa mengundang lebih banyak artis lokal.
AGUK: Satu lagi. Sebagai orang Bali, apa tanggapanmu melihat bule rese di Bali?
MK: (Sambil tertawa) Pulang aja dah, jangan naik motor kalo ga bisa naik motor, ha-ha. Mending naik travel dulu, kan lumayan juga bisa ngangkat bisnis lokal.
AGUK: Kak Maira juga deket banget dengan circle underground, dan sering main di gigs kecil. Seberapa penting interaksi di ruang underground? Gimana ngerawatnya dan penting ga untuk karirmu?
MK: Penting banget karena essence untuk musiknya sendiri emang bagus dan asli banget. Jadi itu juga yang membentuk diriku untuk berkarya.
JA: Apa yg bisa kamu bagi dari itu semua setelah berinteraksi dengan teman-teman underground?
MK: Aku punya harapan untuk pendengar. Kalau ke Bali, kalian harus semeptin ke gigs lokal. Karena untuk apa ke Bali tapi “liat” ke beach club? kan sayang. Kalo emang mau tau Bali, cari panggung-panggung lokal, atau bahkan underground. Karena ga kalah keren juga.
JA: Apa biasanya yang diangkat dari gigs lokal itu?
AGUK: Kalo menurutku, di festival karena ruangnya terlalu besar, abis manggung kita tidak punya kesempatan untuk ngobrol. Beda halnya dengan gigs underground, kita abis main bisa berbaur, ngobrol duduk, bicara apa yg lagi happening di Bali.
MK: Bisa bonding juga kan ya.
JA: Pengen ngerasain gitu juga kan ya.
JA: Aku juga pengen tahu prosesmu membuat satu karya. Apakah merenung, meditasi dulu? Haha.
MK: Contoh, ketika aku mau membuat satu track. Aku duduk, ngikutin mood-ku dulu. Mau bikin lagu yang sedih atau berenergi? Tergantung suasana hati di hari itu.
AGUK: Tentang proses kurasi, apa kamu mendengar lagu-lagu yang jarang dikenal dulu?
MK: Iya. Misal, aku cari lagu di Soundcloud. Aku cari track A, nanti ketemu similar sound di suggestion-nya. Atau Bandcamp.
AGUK: Ada salah satu soundtrack di Boiler Room yang aku temukan di Soundcloud. Itu judulnya apa sih?
MK: Itu dari Dark Beans, judulnya apa ya, lupa
AGUK: Itu di-remix?
MK: Iya, remix.
AGUK: Itu aku kan ngikutin kamu (di sosial media), sepertinya ada yang mau bayar asal kamu ngasih judul itu, ha-ha. Itu beneran ga sih atau bercanda?
MK: Kayaknya bercanda deh, ha-ha.
AGUK, JA: Oke sepertinya itu aja, terima kasih ya!