Meski banyak hal terasa berbeda, saya tetap bersyukur.
Sidang skripsi yang hambar, barangkali kalimat itulah yang ingin saya ucapkan ketika menyadari bahwa ujian skripsi tidak akan sama seperti ujian-ujian sebelumnya. Saya kira menyelesaikan skripsi di tengah-tengah pandemi memang tidak pernah terlintas di benak siapa pun.
Kira-kira pada pertengahan Maret 2020, Rektor Universitas Udayana mulai menerapkan kebijakan ujian berbasis online. Hal ini membuat grup Whatsapp kelas seketika dipenuhi notifikasi dari teman-teman yang pada saat itu masih bergulat dengan proposal skripsi dan beberapa teman yang tinggal menjejaki satu tahapan lagi, yaitu sidang skripsi.
Saya berada di kluster kedua. Ujian proposal telah saya lalui secara tatap muka dan butuh satu tahapan lagi untuk memperoleh gelar sarjana. Keterlambatan saat menyusun data-data di lapangan membuat saya terpaksa menjalani ujian secara daring.
Tentu kebijakan ini membuat saya keteteran. Sebagai mahasiswa, saya merasa ujian online adalah ritual asing yang tak pernah saya rasakan sebelumnya, bahkan mungkin tak akan pernah saya sukai.
Meski demikian, saya mencoba lebih bijaksana dan mulai mempelajari apa saja yang harus disiapkan ketika mengikuti ujian virtual ini. Namun, memang kekecewaan ini tidak dapat dibendung. Belum juga pikiran tenang akibat mendengar kebijakan yang dikeluarkan rektor itu, saya kembali dihadapkan dengan riweuhnya administrasi yang harus dikumpulkan ke bagian Tata Usaha (TU) fakultas. Saya menduga pegawai TU juga keteteran karena kebiasaan yang seratus persen berbeda dari masa-masa sebelum pandemi melumpuhkan semua lini, membuat pegawai menjadi customer service seharian.
Setelah berkutat dengan segala tetek bengek administrasi tersebut, saya kemudian memikirkan hal-hal teknis yang harus disiapkan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat ujian. Persiapan teknis ini penting dilakukan, mengingat pengalaman beberapa teman yang mengikuti ujian online terkendala pada laptop yang tiba-tiba mati dan kuota internet yang tiba-tiba habis. Meski tidak ada yang bisa disalahkan atas kejadian tersebut, karena toh laptop adalah benda mati.
Namun, tetap saja teman saya harus menerima ungkapan kekesalan dari salah seorang dosen yang mengujinya. Maka dari itu, saya berinisiatif untuk meminjam laptop teman yang spesifikasinya cocok dengan aplikasi webex. Ujian online memang tidak pernah berpihak pada saya dan laptop tua saya yang sering mati sendiri.
Perasaan ketika ujian online sangat berbeda dengan ujian tatap muka sebelumnya. Kali ini, ujian terasa lebih menegangkan, sebab saya benar-benar tidak mempercayai laptop dan kekuatan internet di rumah saya.
Benar saja. Kendala pada saat ujian terjadi, tetapi bukan dari kekuatan internet di rumah. Salah satu dosen penguji kesulitan untuk join. Hal ini karena ia sedang berada di Buleleng dan mengalami susah sinyal. Perasaan saya makin tak karuan. Ujian terasa begitu hambar. Suara-suara dosen terkadang tidak terdengar jelas. Wajah-wajah mereka juga sepersekian detik membeku.
Meski banyak hal terasa berbeda, saya tetap bersyukur. Dengan mengikuti ujian online saya tidak perlu mencetak naskah skripsi yang tebalnya bisa bikin kantong seketika terkuras. Bagi saya, teknologi memang membantu manusia dalam berbagai hal.
Namun dalam kasus ini, saya memilih untuk mengatakan bahwa teknologi tidak mampu menyampaikan pesan secara maksimal, seperti saat kita sedang bertatap muka. Ada sesuatu yang hilang dan tidak bisa digantikan oleh teknologi jika berbicara tentang hubungan antar manusia.
Ujian skripsi memang tidak pernah sama lagi. Ada kebiasaan-kebiasaan yang perlu saya (atau bahkan kita) sesuaikan. Sebagian dari kita mungkin dipaksa untuk melakukannya, sebagian dari kita terkendala akses internet, bahkan sebagian dari kita mungkin tidak pernah punya kesempatan untuk mengakses teknologi.
Di tengah keegoisan saya tentang ujian skripsi online, apa yang dapat saya refleksikan tentang begitu banyak orang di luar sana yang memiliki keterbatasan akses teknologi dan informasi? Entahlah, mungkin pandemi ini menjadi tamparan bagi saya, bahwa semuanya tak lagi sama. Bahwa ketimpangan struktural itu nyata. Bahwa keluhan saya belum sebanding dengan apa yang dirasakan orang lain tentang kesulitan akses pada berbagai hal. [b]
Ahhh pengalamann yang samaa jugaa aku rasain pas sidang proposal kmrinn, huhu