Semua hal menyenangkan di sekolah pun kini hilang karena virus corona.
Di tahun 2020, dunia sedang digemparkan oleh pandemi besar alias sampar. Begitu banyak kasus kematian yang hanya disebabkan oleh satu nama virus, corona. Nama Covid-19 merupakan pemberian resmi dari World Health Organization (WHO) untuk jenis virus corona.
Virus ini telah menjangkit 5,1 juta orang pada 22 Mei 2020 dan telah menghilangkan nyawa sejumlah 330.255 orang di dunia.
Virus yang menyerang sistem pernapasan ini pertama kali ditemukan di Cina pada akhir tahun 2019. Penyakit ganas ini menyebar dengan begitu mudah. Seseorang yang mulanya sehat bisa terjangkit jika terkena tetesan air liur dari orang terinfeksi, khususnya jika terkena wajah, tepatnya bagian mata dan mulut.
Karena itulah, WHO perintahkan warga untuk melaksanakan social distancing dan lockdown dengan cara karantina diri di rumah masing-masing.
Saat seluruh dunia sedang dihebohkan oleh virus corona, Indonesia malah berleha-leha. Beberapa orang malah merasa bangga karena menganggap virus tersebut tidak akan berani menyerang orang Indonesia yang sejak kecil sudah dibiasakan makan tanah. Karena hal tersebut, warga menjadi teledor dan tidak waspada.
Pada akhirnya, pada 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo, menyatakan bahwa ada dua orang WNI yang diserang virus corona. Kabar itu sontak saja menjadi bahan pemberitaan bagi media internasional. Pemerintah mengambil keputusan untuk memberlakukan saran dari WHO, social distancing.
Setelah pengumuman tersebut, sekolah-sekolah mulai diliburkan, tempat wisata ditutup, angkutan umum perlahan mulai tidak beroperasi.
Dampak Besar
Pandemi besar ini menciptakan dampak yang tidak bisa dibilang enteng. Masyarakat miskin akan semakin kekurangan. Mereka yang kaya perlahan akan masuk ke zona yang sama. Pegawai, tukang bangunan, dan mereka yang bermata pencaharian di laut dan sawah ikut merasakan dampaknya.
Karena imbauan untuk social distancing, mereka tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Seorang pengusaha yang menjalankan rumah makan besar pun sama. Tidak akan ada pembeli atau ditutup karena perintah.
Tidak hanya bagi pekerja, efek pandemi ini turut berimbas pada pelajar. Sekolah biasa kini sudah terganti oleh sistem daring, sekolah berbasis online.
Mereka yang mengeluh tentang sistem belajar fullday dan yang bahkan masih menerima tugas mungkin akan merasa bebas dari semua itu. Melalui kebijakan “di rumah aja”, mereka yang awalnya tidak punya waktu luang karena disibukkan oleh sekolah, kegiatan ekstrakulikuler dan mengerjakan tugas kini memperoleh waktu itu.
Durasi belajar online yang hanya berlangsung selama 3 sampai 4 jam itu memberikan para pelajar banyak sisa waktu untuk dimanfaatkan. Kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga akan semakin banyak. Mereka juga bisa menggunakan sisa waktunya dengan melakukan sesuatu yang digemari, seperti berolahraga, bermain musik, mencoba berbagai resep masakan terbaru, sampai bermain aplikasi kekinian.
Selain itu, istirahat yang mereka dapatkan terbilang cukup dibanding pada saat sekolah biasa dengan sistem fullday.
Saat ini, Indonesia telah menjalani dua bulan masa karantinanya. Dampak positif yang sebelumnya disyukuri para pelajar kini berbalik menyerang. Dua bulan “di rumah aja” bukan hal yang diinginkan semua orang, termasuk para pelajar pastinya. Kegiatan yang awalnya bisa bermain bersama teman-teman, bertatap muka secara langsung harus tertunda.
Semua hal yang menyenangkan di sekolah terbuang karena virus corona.
Semua kalimat “kami ingin libur!” berganti menjadi “sekolahkan kami!”. Keluhan itu terus terdengar, baik dari siswa SMA, SMP, bahkan SD. Perasaan rindu akan suasana sekolah sangat dirasa. Bahkan sudah sempat beredar video di media sosiall yang memperlihatkan seorang anak sekolah dasar yang menangis karena merindukan teman-teman dan gurunya di sekolah.
Namun, untuk memutus mata rantai virus ini, pemerintah seakan menutup telinga mengenai keluhan para pelajar dan tetap menerapkan social distancing.
Bukan Tanpa Masalah
Pemerintah telah memberikan terobosan yang terbaik menurut mereka. Sesuatu yang terbaik bukanlah suatu tanpa masalah. Ada beberapa faktor yang menghalangi pembelajaran berbasis teknologi ini. Jika dilihat, dengan sistem daring, pelajar atau setidaknya satu orang anggota keluarganya harus memiliki ponsel pintar.
Bagaimana dengan mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, yang kesehariannya mencari uang hanya untuk makan hari itu? Mereka tidak memiliki smartphone. Setiap sekolah memberi solusi mereka masing-masing untuk kasus ini. Salah satunya dengan mengisi jurnal kegiatan pembelajaran. Siswa harus mengisi dengan kegiatan apa saja yang sudah dilakukan dan apa yang sudah mereka pelajari hari itu.
Menurut saya, ini bukanlah solusi yang efektif. Mereka bisa saja melengkapi jurnal dengan tulisan yang bersifat bohong. Berkata sudah mempelajari sesuatu, tapi pada kenyataannya mereka hanya berbaring di atas kasur. Tidak menutup kemungkinan jika selama pandemi ini berlangsung mereka tidak pernah menyentuh buku pelajaran.
Masalah ini biasanya terjadi pada siswa SD dan SMP di daerah pedesaan. Kasus ini juga menghampiri wilayah tempat tinggal saya, sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan. “Di zaman yang serba canggih ini, semua orang bisa menggunakan smartphone.” Kalimat tersebut seharusnya terdapat pengecualian yang mengacu pada kasus di atas.
Selain perangkat, syarat lainnya untuk saling terhubung antara guru dan murid adalah koneksi internet. Di sini alasan mengapa pedagang pulsa lah yang diuntungkan dari pandemi ini. Kartu sim harus diisi dengan pulsa terlebih dahulu sebelum mengaktifkan paket untuk terhubung dengan jaringan internet. Jika sudah, siswa kini dapat terhubung dan belajar dengan baik.
Sayangnya, ini merupakan kelemahan lain dari sistem belajar daring. Di beberapa titik di suatu daerah memiliki kekuatan sinyal lemah. Hal ini akan mempengaruhi keberlangsungan pembelajaran. Jika harus mencari tempat yang memiliki jaringan internet baik sama saja akan melanggar imbauan pemerintah untuk tetap diam di rumah.
Sinyal yang datang dan pergi juga akan mengganggu kenyamanan belajar. Mereka akan memilih antara meninggalkan pelajaran atau melanggar aturan pemerintah dan pergi mencari jaringan internet yang lebih baik.
Pembelajaran yang monoton via teknologi akan menumbuhkan rasa bosan untuk belajar di benak para siswa secara perlahan. Guru memberikan materi, siswa membaca sendiri. Entah mereka paham atau tidak. Meskipun tidak paham dengan materi yang diberi, mereka masih bisa memperoleh nilai sempurna pada saat tes.
Ini adalah zaman yang canggih. Semua bisa dilakukan. Tidak ada yang tidak mugkin. Mereka bisa mencari jawaban dari soal yang diberikan melalui platform yang disediakan semua handphone Android, yaitu alat pencari, Google. Kalau sudah begini, bagaimana guru akan menilai mana siswa yang benar-benar berprestasi dan mana yang hanya mencontek.
Para siswa yang menjawab dengan jujur pasti akan kesal dengan situasi ini. Hal tersebut akan membuat pelajar berpersepsi bahwa tidak ada gunanya serius belajar kalau semua nilai yang diperoleh sama tanpa perhatikan dari mana asal nilai itu. Mereka akan kehilangan semangat belajarnya.
Pihak berwenang pasti sudah memikirkan sistem ini secara matang, dengan mempertimbangkan seluruh risiko yang ada. Pemerintah juga sudah melakukan kerja sama dengan berbagai media, dari televisi hingga ke aplikasi belajar untuk membantu pelajar di seluruh negeri ini.
Namun, jika masalah seperti di atas masih bertebaran, pemerintah harus melakukan sesuatu. Walaupun tidak dialami semua siswa, tetapi beberapa yang mengalami masalah tersebut tetaplah merupakan bagian dari penerus bangsa yang harus terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan. Mereka membuat sistem ini seharusnya dengan tujuan mempertahankan semangat belajar siswa walau hanya di rumah, bukan malah menyusutkannya. [b]
situs mahjong