“Bagaimana kami bisa membeli dan menjual langit serta hangatnya tanah?
Gagasan seperti itu asing bagi kami.
Jika kami tak punya segarnya udara dan gemericiknya air,
bagaimana kami bisa membelinya?
Setiap bagian dari bumi adalah sakral bagi kami.
Setiap kilau pucuk pohon pinus, setiap pantai berpasir,
setiap embun di pepohonan, setiap dengung serangga
adalah suci dalam ingatan dan pengalaman rakyat kami.
Cairan yang mengalir dalam setiap pohon
membawa ingatan bagi orang-orang kami.
Inilah yang kami tahu,
bumi bukan milik manusia, tapi manusia lah milik bumi.
Inilah yang kami pahami,
semua hal berhubungan, bagaikan darah yang menyatukan sebuah keluarga.
Semua hal berhubungan.”
(Chief Seattle-Kepala Suku Indian Duwamish)
Menurut sumber ricepedia, nasi adalah makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh separuh masyarakat dunia. Lebih dari 3,5 miliaar populasi manusia bergantung padanya. Ia adalah salah satu produk pertanian rawa. Padi akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan bulir-bulir beras di atas tanah berlumpur dalam genangan air.
Lahan basah seperti ini dipercaya paling produktif karena mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan bagi kelangsungan makhluk hidup. Di dalamnya terdapat aneka ragam hayati, suatu ekosistem yang memiliki peran besar dalam pembiakan berbagai macam tumbuhan dan binatang. Ribuan spesies burung, mamalia, reptile, binatang amfibi, ikan dan invertebrata sudah dipastikan mendiami lingkungan persawahan.
Tanah, air, flora serta fauna masing-masing memiliki fungsi vital bagi rawa. Termasuk sebagai penyimpanan air, perlindungan dari banjir dan reduksi banjir, stabilisasi garis pantai dan pengendalian erosi tanah, reinjeksi air ke bawah tanah, pengosongan air bawah tanah, pengolahan air, serta penyeimbang cuaca.
Rawa dapat ditemukan di berbagai lokasi dan iklim berbeda-beda termasuk hutan, sungai, danau, pesisir dan lain-lain. Selain itu, ada juga beberapa jenis rawa buatan manusia yang digunakan untuk kebutuhan dan keperluan, seperti pemeliharaan ikan, udang, pembudidayaan tanaman dan sebagainya.
Kawasan lahan basah menjadi sangat penting karena mendukung kelangsungan hidup manusia. Maka sejak penyelenggaraan Konvensi Ramsar di Iran pada 2 Februari 1971, sekitar 2.152.406 km² yang tersebar di 169 negara telah dimasukkan ke dalam daftar lahan basah penting dunia.
Konvensi tersebut merupakan perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Markas besarnya berada di Gland, Swiss bersama-sama dengan IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Sampai sekarang setiap 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day).
Lahan-lahan yang dilindungi tersebut dinamakan Ramsar Sites (Situs Ramsar), berada di 2.252 lokasi dengan luas total permukaan sekitar 214.990.672 hektar. Situs pertama yang disepakati pada 1974 berada di Semenanjung Cobourg Australia.
Menurut data terakhir, situs Ramsar terbanyak untuk sementara dimiliki oleh Britania Raya (Inggris) dengan jumlah 174 lokasi, dan peringkat kedua adalah Meksiko dengan 142 lokasi. Sedangkan Bolivia mempunyai area Ramsar terluas mencapai 14.842.405 hektar, disusul Kanada dengan 13.086.767 hektar. Sementara Chad, Kongo dan Federasi Rusia masing-masing memiliki luas situs sekitar 100.000 km² lebih.
Selain itu, dua dari total Ramsar Sites tercatat sebagai situs terbesar yang masing-masing memiliki luas 60.000 km² lebih, yaitu Ngiri-Tumba-Maindombe di Kongo dan Teluk Queen Maud di Kanada. (lihat www.ramsar.org/www.worldwetlands.org)
Adapun lahan basah yang dimaksud terdiri dari lima klasifikasi, yaitu kawasan laut (marine); kawasan muara (estuarin); kawasan rawa (palustrin); kawasan danau (lakustrin); dan kawasan sungai (riverin).
Indonesia termasuk salah satu negara yang mewakili semua klasifikasi tersebut. Indonesia memiliki lahan basah yang sangat luas (kurang lebih 40 juta hektar), yang menjadikannya sebagai negara pemilik lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar berupa alluvial (tanah endapan) yang terdapat di daratan rendah dan lembah-lembah sungai, muara sungai dan daerah pesisir di hampir seluruh kepulauan Indonesia.
Namun, hingga saat ini, semenjak pemerintah Indonesia meratifikasinya melalui Keputusan Presiden RI No. 48/1991, Indonesia hanya mempunyai tujuh lokasi lahan basah yang telah terdaftar sebagai Situs Ramsar dengan luas total 1.372.976 hektar, yakni Taman Nasional Berbak (Jambi); Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat); Taman Nasional Wasur (Papua); Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan); Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara); Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah); dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Jakarta).
Pelajaran Berharga
Berdasarkan laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) separuh lahan basah di dunia -termasuk danau, telaga, rawa-rawa, payau dan lahan gambut- telah lenyap selama abad 20. Terutama di Asia Timur, tingkat kerusakan lahan basah di pesisir terus naik sebesar 1,6 persen setiap tahunnya. Sejak 1980, luas hutan mangrove dunia telah berkurang sebesar 20 persen.
Penyebabnya adalah dampak dari alih guna lahan, eksploitasi sumber air untuk keperluan rumah tangga dan industri, urbanisasi, pembangunan infrastruktur dan polusi. Saat ini lahan basah di daratan mencapai 9,5 juta km² (sekitar 6,5 persen dari luas permukaan bumi). Itu belum termasuk lahan basah di kawasan pesisir seperti rawa bakau dan hutan mangrove. Jika digabung, maka totalnya mencapai 12,8 juta km².
Bagaimana pengelolaan lahan basah bisa lepas dari pengawasan? Apakah hal itu juga imbas dari Revolusi Industri di Inggris beserta kolonialismenya?
Di Indonesia sendiri perubahan fungsi lahan basah didorong oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Sejak 1994 telah terjadi pengurangan sebanyak 10 juta hektar lahan basah dari luas sebelumnya. Diperkirakan Indonesia telah kehilangan lahan basah sekitar 100.000 hektar per tahun.
Menurut sumber Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah pada 2004, jumlah lahan basah semula di Indonesia mencapai 53.577.635 hektar, sisanya menjadi 27.303.704 hektar, dan yang dilindungi hanya 4.811.237 hektar. Sedangkan menurut data Wetlands Internasional dari 256 jumlah lahan basah di Indonesia, terdapat 127 yang telah dikonservasi tetapi belum memperoleh status dilindungi. Sementara yang memenuhi kriteria Ramsar dan mempunyai arti penting secara internasional baru ada 56.
Sungguh mengherankan jika kita bandingkan jumlah situs Ramsar di Indonesia dengan di Britania Raya (Inggris) yang sama-sama sebagai negara kepulauan (archipelago). Meskipun negara Kanada dan Kongo lebih luas, namun Indonesia juga mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup besar: 1.904.569 km² (4,85 persen perairan) yang mencakup 17.508 pulau. Sedangkan Inggris hanya mempunyai 1000 lebih pulau dengan luas total 242.495 km² (1,34% perairan).
Semestinya sejak pengesahan ratifikasi, pemerintah harus sudah mempersiapkan lebih banyak lagi kawasan-kawasan yang layak dijadikan situs Ramsar. Karena ini akan mencegah kasus-kasus lingkungan hidup lainnya seperti reklamasi, pencemaran sungai, eksploitasi sumber mata air dan sebagainya. Mengingat provinsi Bali memiliki beberapa situs warisan dunia UNESCO, tetapi hingga hari ini tiada satu kawasan pun yang terdaftar dalam situs Ramsar.
Mengapa peringatan hari lahan basah sedunia tidak dijadikan pelajaran serius bagi pengelolaan lingkungan hidup kita? Apa mungkin tidak perlu dipirkiran lagi karena beberapa kawasan di Indonesia dianggap potensial memiliki curah hujan tinggi dan lahan basah tahunan (banjir)?
Padahal, pengelolaan lahan basah di Indonesia mempunyai landasan hukum cukup kuat, seperti UU no. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem, UU no. 41/1999 tentang Kehutanan, UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU no. 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU no. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengeloalan Lingkungan Hidup.
Ada pula PP no. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, PP no. 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Keppres no. 48/1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat (Konvensi Ramsar), serta Kepmen no. SK.187/Menhut-II/2012 tentang Koite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah.
Selain itu, sebagai salah satu dari lima negara penghasil air tanah terbanyak, Indonesia menyimpan sekitar enam persen cadangan air bersih dunia. Kekayaan air inilah yang mungkin membuat negeri kita jadi incaran perusahaan multinasional.
Mengapa Danone Gencar Mendanai?
Salah satu sponsor utama bagi kegiatan Konvensi Ramsar dan Wetlands Day adalah perusahan multinasional asal Perancis, Danone, bersama Evian Fund for Water. Aneh rasanya, kalau kita ingat kasus rencana pengeboran air bawah tanah di dekat kawasan Tirta Gangga Karangasem oleh produsen terbesar air minum dalam kemasan (AMDK) pada 2012 lalu.
Dengan alasan untuk memenuhi permintaan pasar di Bali yang sudah tidak lagi mencukupi, mengapa pihak Pemda setempat begitu mudah memberikan izin? Padahal kekurangan air mineral di Bali sementara ini bergantung pada sumber air Pandaan di Jawa Timur. Bukankah penentuan titik bahan baku air dalam itu harus dipetakan dengan melibatkan Team Badan Konservasi Daerah agar tidak menggangu ekosistem serta konservasi yang sudah dijalankan?
Berdasarkan data perusahaan yang bersangkutan, kebutuhan AMDK di Bali diprediksi mencapai 1,4 juta liter per hari yang untuk sementara hanya mampu memproduksi 1,2 Juta liter per hari. Hingga hari ini kebutuhan air mineral di Bali masih memanfaatkan sumber mata air di Desa, Mambal Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, yang dibangun pada 1984 dan mulai beroperasi pada 1987.
Lokasi tersebut sebelumnya merupakan tempat pemandian umum. Meskipun laporan menyatakan bahwa mereka masih memanfaatkan air permukaan dan tidak pernah menggunakan air bawah tanah (ABT), namun rencana pengeboran sumber air tersebut pun pernah terjadi. Akan tetapi gagal karena ditolak penduduk setempat.
Seperti kita ketahui bahwa PT. Tirta Investama adalah salah satu perusahaan yang berada dalam naungan Danone Group. Sebagai pelopor AMDK di Indonesia –sebelumnya bernama PT. Golden Mississippi- mulai mengeluarkan merk dagang ‘Aqua’ sejak 1974. Tambang air pertamanya berada di Bekasi (Jawa Barat), yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 m².
Setelah itu mereka menambah titik-titik ekspansinya di sejumlah kawasan lain Indonesia. Sampai saat ini mereka telah memiliki 14 pabrik dengan sumur-sumurnya yang telah terungkap di antaranya berada di Berastagi (Sumatera Utara), Jabung dan Umbul Cancau (Lampung), Mekarsari Kubang, Sukabumi (Jawa Barat), Cipondoh Subang (Jawa Barat), Mangli Wonosobo (Jawa Timur), Sigedang Klaten (Jawa Tengah), Pandaan (Jawa Timur), Kebon Candi (Jawa Timur), Mambal (Bali), dan Airmadidi Menado (Sulawesi Utara).
Pangsa pasarnya sekarang sudah meliputi Singapura, Malaysia, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Sedangkan untuk pemasaran di Indonesia, Aqua menguasai 45 persen dari pasar AMDK. Sejak 2001, Danone meningkatkan kepemilikan sahamnya dari 40 persen menjadi 74 persen, sehingga ia menjadi pemegang saham terbesar di Grup Aqua.
Menurut keterangan WALHI dalam situsnya, dari tahun 2001 hingga 2008 Aqua Danone telah menyedot air lebih dari 30 miliar liter dan menguasai 80 persen penjualan AMDK. Sementara data yang dimiliki Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) menunjukkan bahwa perusahaan AMDK di seluruh Indonesia setiap tahun membutuhkan sekitar 11,5 miliar liter air bersih, namun yang menjadi produk hanya sebanyak 7,5 miliar liter per tahun. Sisanya, 4 miliar liter, terbuang percuma untuk proses pencucian dan pemurnian air.
Yang paling tragis adalah pemboran mata air di kampung Kubang Jaya, desa Babakan Pari yang berada di kaki Gunung Salak, Sukabumi Jawa Barat. Kawasan tersebut sebelumnya merupakan lahan pertanian, kemudian oleh pihak Aqua diubah menjadi kawasan hutan yang tidak boleh digarap oleh warga setempat. Sekelilingnya dipagari tembok dan setiap hari dijaga ketat oleh petugas keamanan bayaran.
Sumber mata air Kubang mulai dieksploitasi sejak 1992. Awalnya yang diambil adalah air permukaan, namun pada 1994 pihak Aqua mulai menyedot ABT dengan cara menggali jalur air oleh mesin bor bertekanan tinggi. Sejak itu banyak perubahan yang dirasakan oleh warga sekitar dan berdampak buruk pada kehidupan mereka, seperti kualitas dan kuantitas sumber air bersih yang menurun terutama untuk konsumsi rumah tangga, dan ketersediaan irigasi untuk kebutuhan pertanian pun yang sulit didapatkan.
Tidak hanya itu, ekspansi perusahaan AMDK lainnya ke kawasan Gunung Salak tersebut semakin meningkat pada era 90-an. Ditambah industri lain yang memproduksi makanan, minuman, garmen, dan peternakan ikut-ikutan juga menjarah air tanah. Menurut hasil penelitian, volume air yang telah dieksploitasi di kawasan tersebut diperkirakan telah mencapai 10 milyar liter kubik.
Pada 2002, kasus serupa juga terjadi di Polanharjo Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dikatakan bahwa sebelumnya Aqua memiliki izin untuk mengambil air sebanyak 18 liter/detik melalui sumur bor di dekat mata air Sigedang. Kemudian mereka mengajukan permintaan menaikkan debit hingga 60 liter/detik.
Eksploitasi dari tengah sumber mata air yang dilakukan Aqua telah mengakibatkan para petani terpaksa menyewa pompa agar kebutuhan irigasinya terpenuhi. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka harus membeli air bersih dari tangki-tangki dengan harga yang cukup mahal. Padahal Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang terkenal kaya akan sumber daya air dimana terdapat sekitar 150 mata air!
Tidak cukup sampai di situ. Terlepas dari isunya mengenai kandungan zat flourida (bahan campuran pasta gigi/odol) yang membahayakan bagi kesehatan otak, Aqua Danone terus berusaha mengincar sumber mata air berikutnya yang tersisa di Indonesia. Menyusul komitmen perusahaan tersebut yang akan terus mencari bahan baku AMDK di seluruh Bali.
Mengapa tindak kriminal tersebut terus terjadi?
Salah satu sumber mengkaji bahwa hal itu diduga berkenaan dengan privatisasi air yang dituntut oleh World Bank (Bank Dunia) terhadap pemerintah sebagai salah satu syarat agar dana pinjaman program pemulihan sanitasi air dan lingkungan dapat dicairkan. Akibat dari kesepakatan itu maka ruang gerak pemerintah menjadi terbatas dan mengharuskan Indonesia melakukan privatisasi air.
Adapun privatisasi air di Indonesia diatur dalam UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang didukung pula oleh Perda di masing-masing daerah. Aturan tersebut memberi peluang bagi keterlibatan pihak swasta/asing dalam penyediaan air bersih dan penguasaan sumber-sumber air oleh badan usaha dan individu. Di Jakarta misalnya, pemegang konsesi pengelolaan air bersih dipercayakan kepada PT. Pam Lyonnaise Jaya yang sahamnya dikuasai oleh dua perusahaan asal Perancis: 51 persen milik Suez International dan 49 persen milik PT. Astratel.
Pemberian kesempatan tersebut jelas akan menghilangkan kedaulatan negara atas sumber daya air. Di sisi lain, tata kelola dan pelayanan PDAM yang lebih mengutamakan kebutuhan industri-niaga kadangkala menjengkelkan masyarakat. Wajarlah jika pada akhirnya sebagian masyarakat memilih untuk memasang mesin pompa atau membuat sumur bor di rumah masing-masing. Bayangkan juga, seandainya hotel-hotel dan pabrik-pabrik besar terus menerus diberikan kebebasan menyedot air!
Ingatlah bahwa PDAM adalah singkatan dari Perusahaan Daerah Air Minum, yang berarti bahwa produknya harus benar-benar air yang layak untuk diminum bukan hanya untuk kebutuhan MCK (mandi, cuci, kakus) saja. Saat ini mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang meminum air PDAM, itu pun pasti dimasak dulu. Itu karena kecanduan menkonsumsi AMDK dan juga dicekoki propaganda mitos kesehatan. Padahal generasi masa lalu sejak dulu terbiasa meminum air timba dalam perigi, air pompa ungkit (dragon) atau air pancuran dari sumber mata air.
Masyarakat Lahan Basah
Tindakan warga Desa Adat Peladung Kabupaten Karangasem, khususnya yang tergabung dalam Krama Subak Bungbung, patut diacungi jempol dan ditauladani dalam upaya pencabutan ijin eksplorasi air bawah tanah oleh Aqua. Walaupun mungkin mereka tidak tahu tentang apa itu Ramsar Sites ataupun Wetlands Day tetapi kesadaran mereka tentang betapa pentingnya air bagi hajat hidup orang banyak sudah cukup membuktikan bahwa lahan basah harus tetap terjaga.
Subak Bali dan organisasi irigasi lainnya di Indonesia adalah pejuang sejati yang bisa dijuluki masyarakat lahan basah dunia (Wetlands Society) yang sedari dulu senantiasa memperhatikan lingkungan hidup. Lain halnya dengan investor, pengusaha atau calo tanah yang memahami ‘lahan basah’ dengan konotasi lain.
Kita pun bisa mengklaim bahwa peradaban Bali dibangun oleh masyarakat subak. Sudah selayaknya mereka diberikan kesejahteraan hidup atau setidaknya dilibatkan lebih jauh dalam pembangunan bahkan dalam hal tata kota sekalipun. Karena merekalah yang lebih tahu di mana, dari mana, dan ke mana air itu mengalir. [b]