MEN COBLONG saat ini mulai agak malas membuka beberapa akun media sosialnya.
Bahkan sepuluh lebih grup WA di ponsel miliknya sering tidak dibaca, langsung dihapus. Beragam caci-maki dan permusuhan makin membuat Men Coblong merasa tidak nyaman, terlebih dengan munculnya kasus Meliana.
Hyang Jagat, hanya karena masalah toa? Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai kasus Meliana, yang divonis 18 bulan penjara karena kasus penistaan agama perlu dilihat saksama. Meliana divonis bersalah setelah meminta masjid di dekat rumahnya mengecilkan suara azan.
“Apa yang diprotes Ibu Meiliana saya tidak paham, apakah pengajiannya atau azannya, tapi tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu tidak seharusnya dipidana,” kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu, 23 Agustus 2018.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu akan melihat lebih rinci masalah tersebut. Ia menilai tak ada yang salah jika Meiliana hanya meminta pengeras suara yang digunakan masjid dikecilkan volumenya.
DMI pun telah berulang kali meminta masjid di seluruh Indonesia menyesuaikan volume pengeras suara. Suara dari pelantang yang digunakan di masjid tak boleh melampui masjid lain.
Apalagi, rata-rata jarak antar-masjid di daerah padat penduduk sekitar 500 meter. Masjid pun tak diperkenankan menggunakan rekaman suara pengajian.
“Harus mengaji langsung, karena kalau pakai tape (pemutar suara) yang mengaji nanti amalnya orang Jepang saja, yang bikin tape itu kan (orang Jepang), jadi harus langsung,” jelas Kalla.
Meiliana divonis penjara 18 bulan oleh Pengadilan Negeri Sumatera Utara pada Selasa, 21 Agustus 2018. Perempuan asal Tanjungbalai, Sumatera Utara, itu dinilai terbukti melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan suatu golongan di Indonesia terkait ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Men Coblong terperangah. Masa kanak-kanaknya berloncatan ketika dia masih seorang bocah lugu duduk di bangku SD. Guru di sekolah olahraga selalu menggunakan toa jika mengatur murid-muridnya lomba lari, atau beragam lomba di hari HUT Kemerdekaan RI.
Semua riang, semua bisa tersenyum girang.
Suara toa waktu itu seperti semangat yang membakar. Men Coblong pun sering diperkenankan guru untuk mencoba toa milik sekolah jika latihan upacara, tujuannya agar terbiasa bersuara lantang jika menjadi petugas upacara setiap hari Senin.
Tiba-tiba saja saat ini suara-suara dari toa saat ini justru menimbulkan masalah. Banyak yang memberi saran ini-itu. Kita baru saja merayakan “kemerdekaan” kita juga baru saja merasakan gemilangnya anak negeri bertarung di ajang Asian Games 2018. Lalu muncul si Toa yang melukai “kebersamaan”, “kemajemukan”, “keberagaman”, “toleransi”.
Yang ada di otak Men Coblong kenapa kasus-kasus seperti ini tidak dicarikan solusi oleh pemerintah. Padahal, kasus-kasus seperti inilah embrio retaknya tenun kebangsaan. Harus segera dicarikan obatnya. [b]