Masalah tranportasi di Bali serupa benang yang sudah terlalu kusut.
Dalam sebuah diskusi yang saya pandu di Warung 63 Denpasar beberapa waktu lalu Prof. Rumawan Salain, akademisi Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud) menyinggung tentang jumlah kendaraan di Bali. Jumlahnya ternyata nyaris sama dengan jumlah penduduk Bali.
“Ini artinya secara statistik setiap penduduk dari yang balita sampai usia tua masing-masing memiliki satu kendaraan,” ujarnya dalam bertema “Menyongsong Bali Era Baru” itu.
Banyaknya jumlah kendaraan yang diungkap Rumawan Salain ini menjadi jawaban paling mudah atas pertanyaan, mengapa kawasan di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) lazim ditemui kemacetan yang makin hari makin parah. Ironisnya, kemacetan sepertinya menjadi persoalan yang dibiarkan tanpa solusi pasti sehingga makin parah. Kalaupun ada, solusinya tak punya arah.
Saya mencoba mencari data berapa sebenarnya jumlah kendaraan di Bali. Biro Pusat Statistik Bali tahun 2017 menyebutkan jumlah kendaraan di seluruh Bali mencapai 3.907.094 unit. Hampir sama dengan jumlah penduduk Bali.
Jumlah terbesar kendaraan di Bali numplek di bagian selatan. Di Denpasar tercatat ada 1,2 juta unit, di Badung 769,6 ribu unit, Tabanan dan Gianyar masing-masing 386,8 ribu unit dan 408,5 ribu unit. Artinya hampir 73 persen kendaraan di Bali berada di kawasan Sarbagita.
Dari jutaan kendaraan yang berseliweran di Bali, persentase angkutan umum tidak lebih dari 3 persen. Ini menurut data yang disodorkan oleh DPD Organda Bali.
Kondisi ini jauh bertolak belakang dengan era 1970 an hingga 1990-an, di mana perbandingan jumlah kendaraan di Bali 80 persen angkutan umum dan 20 persen kendaraan pribadi. Wajarlah jika jalanan terutama di kawasan Bali bagian selatan hampir selalu diwarnai kemacetan karena terlalu banyaknya kendaraan pribadi.
Pemerintah daerah bukannya tidak pernah mengupayakan kebijakan menangulangi kemacetan. Salah satu kebijakan adalah memperbaiki transportasi umum.
Pada tahun 2011, diluncurkanlah Bus Trans Sarbagita dengan menyediakan 25 bus yang melayani 3 trayek atau koridor. Ketika itu, pemerintah merencanakan akan menyediakan setidaknya 17 koridor untuk kawasan Sarbagita.
Ironisnya, dalam perkembangan tahun-tahun berikutnya, koridor bukannya bertambah melainkan justru menyusut. Dengan alasan terus merugi, anggaran dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali yang dipergunakan menghidupkan Bus Trans Sarbagita terus dipangkas.
Pada tahun 2018 pemotongan anggaran luar biasa drastis yakni dari Rp 13 miliar menjadi hanya Rp 4 miliar. Padahal dari Rp 3,39 triliun pendapatan asli daerah (PAD) Bali hampir 70 persen diraup dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Pemotongan anggaran Bus Trans Sarbagita menunjukkan ketidakpahaman pengambil kebijakan tentang prinsip penyediaan sarana transportasi umum sebagai kewajiban dari negara. Transportasi dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) termasuk salah satu sektor yang wajib diperhatikan di samping pendidikan dan kesehatan. Transportasi adalah urat nadi ekonomi yang memajukan atau menghancurkan ekonomi sebuah negara.
Dalam kajian teori-teori akademik, tidak ada cara efektif yang dapat digunakan mengatasi kemacetan di kawasan perkotaan selain memperbaiki sarana transportasi umum. Penambahan ruas-ruas jalan atau rekayasa-rekayasa lalu lintas hanyalah solusi tambal sulam. Sayangnya, solusi penyediaan transportasi umum layu sebelum berkembang, bahkan justru “dibunuh” pengambil kebijakan.
Namun demikian, penyebab utama makin kusutnya tranportasi di Bali yang berwujud kemacetan juga disumbang perilaku budaya masyarakat. Kenyamanan yang dirasakan menggunakan kendaraan pribadi enggan diusik. Mengendarai kendaraan pribadi apalagi dengan merek tertentu adalah kebanggaan yang enggan ditanggalkan. Menumpang angkutan umum seolah-olah aib.
Memang kondisi ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah menyediakan sarana transportasi umum yang aman, nyaman dan mendukung aksesibilitas masyarakat.
Membicarakan solusi masalah tranportasi di Bali seperti mencoba mengurai benang yang sudah terlalu kusut. Tidak mudah lagi menemukan mana ujung mana pangkal dan dimana kekusutan harus diurai.
Namun, solusi mau tidak mau harus dicarikan karena bagi Bali risikonya adalah terancamnya sektor pariwisata. Siapa yang mau berlibur ke Bali jika harus dihadapkan pada kondisi jalanan yang selalu macet bak neraka? Bahkan bisa saja, mengutip tulisan Michel Picard, predikat Bali sebagai The Last Paradise (Surga yang tersisa) akan berubah menjadi The Lost Paradise (Surga yang Hilang) gara-gara jalanan di Bali selalu macet. [b]