Saat ini mata kita dibuka lebar oleh salah satu menteri, Sudirman Said.
Dia melapor ke Komite Etik Dewan Kehormatan DPR terkait rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto bersama petinggi PT Freeport Indonesia dan Rizal Chalid.
Riza adalah pengusaha besar yang dikenal sebagai mafia minyak di tanah air.
Sebagai mahasiswa hukum yang sedang belajar menjadi agent of change bangsa ini, saya terus berusaha mengikuti kasus yang tidak mengejutkan namun mampu meledakkan. Mengapa begitu karena dalam obrolan warung kopi pun kita sudah bisa menduga bagaimana permainan para politikus negeri ini. Mungkin memang begitu adanya namun tak pernah terbukti atau terangkat ke permukaan.
Kali ini datang sosok yang saya anggap sedikit gila karena dengan amat berani mengekspose kasus yang akan berdampak sangat luas, Sudirman Said. Saya tidak peduli apa motif Sudirman Said melaporkan ini. Namun, jika kita mendengar percakapan hasil rekaman tersebut, kita sebagai rakyat yang masih “waras” kita bisa menilai sendiri siapa yang “bermain” dalam kasus ini.
Saya mengikuti betul persidangan-persidangan MKD terhadap para saksi dan terakhir terhadap Setya Novanto sebagai terlapor yang sidangnya dinyatakan tertutup. Saya sendiri berharap justru sidang ini dilaksanakan secara terbuka. Logikanya, jika Setya Novanto benar maka inilah kesempatan dia untuk mengklarifikasi ke publik bahwa dia tidak melanggar kode etik sebagai pimpinan DPR.
Saya mulai berpikir bahwa yang dihadapi sang menteri bukanlah orang sembarangan. Dari apa yang saya telusuri memang ada beberapa kasus korupsi yang menyeret sang pimpinan DPR ini namun selalu lolos dari jerat hukum. Hal yang paling membuat saya menggelengkan kepala tentu pada saat sidang pemanggilan Setya Novanto sebagai terlapor. Sidang ini diwarnai pergantian salah satu anggota MKD. Pimpinan sidang pun diketuai oleh rekan satu partainya.
Jujur sebagai anak muda yang tak tahu menahu dunia politik saya bertanya, “Ada apa?” Nalar saya seperti tak bisa menerima kenapa pada saat Setya Novanto disidang banyak terjadi keganjilan mulai dari mundurnya sidang, digantinya salah satu anggota MKD, sidang dipimpin oleh anggota dari Fraksi Golkar yang notabene satu partai dengan Setya Novanto sampai sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum.
Logika dan nalar saya sungguh tak bisa menerima apa yang saya saksikan melalui layar kaca maupun berita-berita dalam media elektronik. Jika ini sebuah konspirasi untuk menyelamatkan sang ketua DPR mengapa sangat terang benderang dan justru memperlihatkan kebobrokannya sendiri?
Saya heran melihat wakil-wakil kita di legislatif sampai rela mengorbankan kehormatan mereka hanya demi menyelamatkan satu orang rekannya. Dalam hal persidangan tertutup setahu saya dalam hukum beracara sidang dapat terututup jika terdapat unsur asusila dalam kasus tersebut namun entah dalam aturan-aturan beracara dalam sidang MKD.
Dari “permainan” dalam kasus “papa minta saham” ini banyak pertentangan dari para pembela Setya Novanto. Mereka mempertanyakan legal standing pelapor. Jika dilihat dari hukum beracara dalam MKD, mungkin saja eksekutif tidak dapat melaporkan anggota legislatif ke MKD. Dari sudut pandang formil mungkin ada kesalahan. Namun, saya sendiri berpegang pada aliran utilitarianisme dalam hukum yang berpandangan hukum yang baik adalah hukum yang dapat bermanfaat bagi masyarakatnya.
Dalam kaitan dengan kasus ini, tentu kita sebagai masyarakat lebih mementingkan substansi dari kasus ini tidak hanya menilik dari sisi formilnya.
Apapun hasil yang akan diputuskan nantinya, rakyatlah yang akan mampu menilai siapa sebenarnya yang merusak dan menggadaikan bangsa ini. Karena sejujurnya saya telah putus asa ketika melihat kecurangan yang terang benderang. Sehebat dan sepintar apapun mereka menutupi dan membela, pengadilan rakyatlah pengadilan yang sebenarnya! [b]