“Dua nasi campur, Bu,” kata saya pada ibu yang melayani pembeli di warung Made Weti Sanut, Minggu (22/2) lalu.
“Ya, Pak. Tunggu ya,” kata ibu itu sambil sibuk melayani pembeli lain. Dia menyendok nasi, memasukkan berbagai macam lauk, lalu memberikannya pada perempuan lain yang berdiri membantunya mengantarkan nasi itu pada pembeli.
Seperti pembeli lain saya pun menunggu. Sebagian berdiri, sebagian lain duduk di kursi yang disediakan. Sekilas saya hitung ada sekitar 50 pembeli sedang antri. Maka warung sederhana dengan atap seng dan ukurannya tak lebih dari 4×3 meter persegi itu pun tak kelihatan dari jalan, apalagi penjualnya.
Hampir 30 menit ditunggu, nasi yang saya pesan itu tak kunjung datang. Padahal saya berdiri di depan penjual sekaligus pelayan itu sambil berkali-kali bilang, “Dua nasi campur, Bu. Makan di sini.” Saya berdiri di sana berdesakan dengan pembeli lain sambil sesekali menelan ludah melihat makanan yang disajikan.
Tapi begitulah. Seperti ditulis salah seorang teman di blognya, pembeli bukanlah raja kalau pesan nasi di Warung Made Weti. Di sini, penjuallah rajanya. Terserah dia suka-sukanya mau apa.
Pembeli? Silakan menunggu sambil berulang kali menelan ludah melihat menu yang memang dibiarkan terbuka itu: ayam goreng, ayam suwir, sup ayam, telur rebus, sambal goreng, sayur, dan sambal matah. Semua dibiarkan terbuka mengundang selera.
Kerumunan pembeli sampai menutupi warung dan penjual itu pemandangan yang selalu Saya lihat tiap kali main ke pantai Sindhu Sanur, biasanya akhir pekan. Saya dan keluarga biasa ke sana kalau mau mandi di pantai. Dari ketika saya baru sampai sekitar pukul 7.30 pagi sampai saya selesai mandi dan bilas, sekitar pukul 9, kerumunan itu masih saja sama.
Tapi inilah seninya menikmati makanan di Warung Made Weti. Menu warung ini sebenarnya tidak istimewa. Sama saja dengan nasi campur bali lain seperti warung Kedewatan di Ubud, warung Satria di jalan Blimbing Denpasar, dan seterusnya. Tapi yang membuat warung ini beda karena letaknya yang dekat pantai. Jadi bagi saya sangat pas ketika usai mandi di pantai lalu menyantap nasi campur di warung ini.
Meski, ya itu tadi, pembeli harus sabar menanti. Begitu pula saya kali ini. Setelah capek menunggu dan nasi tak kunjung datang, saya menyerah. Gantian istri yang menunggu di sana. Tak lama kemudian datang teman lama saya, Meydianawati, yang sekarang jadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Teman pada masa di Pers Mahasiswa Akademika ini datang bersama suaminya. Ya udah sekalian saja. Pesanan kami bertambah: jadi empat porsi.
Sekitar 10 menit kemudian, pesanan kami baru datang.
Karena tempat duduk sudah penuh, maka kami pilih bersantap sambil lesehan di depan salah satu toko di Pasar Seni Sanur. Tentu saja ini bukan tempat makan sebenarnya. Tapi bagaimana lagi. Tempat lain sudah penu oleh pembeli lain. Lagian kalau nikmat toh tidak peduli tempat.
Nasi campur Made Weti terasa nikmat, selain karena dimakan setelah berenang di pantai, bisa jadi karena mata yang sudah keburu lapar ketika menunggu. Jadi momennya sangat tepat ketika bersantap.
Di tiap porsi nasinya ada ayam suwir, ayam goreng, sayur pare dan sambal kelapa, sambal tomat –yang sepertinya sih diblender dan rasanya tidak pedas sama sekali-, kacang goreng, dan telur rebus. Sekali lagi tidak terlalu istimewa. Tapi karena lapar selesai mandi dan menunggu itu, jadinya terasa sekali nikmatnya.
Harganya? Saya lupa. Kalau tidak salah di bawah Rp 10 ribu per porsi. Minggu lalu saya tidak bayar soale. Meydi dan suaminya berbaik hati menraktir saya dan istri. Aaah, sudah nikmat dibayarin pula. Kurang apa lagi coba? [b]