Benarkah gugatan hukum bisa menjadi jalan keluar kemelut rencana reklamasi di Teluk Benoa?
Sejumlah pihak menyampaikan usulan agar gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa melakukan gugatan hukum (judicial review) terhadap Perpres No 51 Tahun 2014.
Usulan ini misalnya mengemuka dalam simakrama Polda Bali setelah aksi tolak reklamasi yang diwarnai pembakaran ban. Jalur hukum melalui judicial review dianggap lebih beradab daripada aksi demonstrasi.
Benarkah pendapat ini? Jangan-jangan usulan ini sesungguhnya hanya sebuah jebakan untuk menggugurkan total gerakan penolakan Reklamasi Teluk Benoa.
Judicial review dilakukan apabila patut diduga ada pertentangan dalam peraturan atau undang-undang dengan peraturan atau undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya. Misalnya judicial review terhadap Undang-undang dilakukan apabila diduga ada pasal dalam UU tersebut yang bertentangan dengan Konstitusi (Undang-Undang Dasar).
Demikian pula jika ada Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres), Keputusan Menteri (Kepmen), maupun Peraturan Menteri (Permen) yang bertentangan dengan Undang-undang, maka dapat dilakukan judicial review.
Jika Perpres 51 tahun 2014 hendak digugat secara hukum, apa dasar gugatan yang bisa dipakai? Tentunya harus dicari pasal-pasal dalam Perpres yang bertentangan dengan salah satu Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Jika sudah ditemukan, barulah mungkin diajukan sebagai Judicial Review Perpres No 51 tahun 2014.
Perjalanan Panjang
Terbitnya perpres 51 tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Perpres 45 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA memiliki perjalanan yang cukup panjang. Peran serta berbagai pihak terutama pemerintahan di Provinsi Bali atas terjadinya perubahan Perpres dari Perpres 45 tahun 2011 ke Perpres 51 Tahun 2014 sangatlah besar.
Mengacu pada penjelasan yang pernah disampaikan pihak Istana Kepresidenan, terbitnya Perpres 51 tahun 2014 jelas dilakukan atas dasar adanya usulan dari Gubernur Bali kepada Presiden.
Menyimak realitas ini, maka secara substansi hukum tidak ada aturan di dalam perpres 51 tahun 2014 yang bertentangan dengan UU di atasnya. Presiden melakukan perubahan, karena adanya rekomendasi dari Gubernur Bali.
Dalam tata urutan atau prosedur hukum perubahan Perpres, semua kaidahnya sudah terpenuhi. Maka jika saat ini dilakukan pembatalan melalui jalur hukum, sangat sulit untuk diterima oleh pengadilan karena pengadilan pastilah tidak mau mengadili peraturan berdasarkan desakan bukan atas dasar ketentuan hukum.
Jika ada pihak-pihak yang menganjurkan cara gugatan hukum untuk membatalkan Perpres 51 tahun 2014, patut diduga itu adalah ajakan jebakan. Jebakan untuk menggagalkan gerakan penolakan reklamasi teluk benoa. Untuk kondisi riil saat ini, kekuasaan akan menang telak jika gugatan hukum ditempuh sebagai cara.
Masuk Logika
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk membatalkan Perpres 51 tahun 2014 dalam kondisi riil saat ini? Cara yang paling masuk logika tentu saja adalah dengan menggugurkan terlebih dahulu penyebab lahirnya Perpres 51 tahun 2014.
Apa penyebabnya? Adanya rekomendasi Gubenur Bali kepada Presiden tentang perubahan status kawasan Teluk Benoa. Bagaimana menggugurkan rekomendasi yang sudah telanjur disampaikan Gubenur Bali kepada Presiden?
Dengan menarik kembali atau membatalkan rekomendasi tersebut. Siapa yang bisa melakukan itu? Siapa lagi kalau bukan Gubernur Bali?
Gubernur Bali masih bisa berdalih kalau rekomendasi yang dikeluarkannya berdasarkan usulan dari DPRD Bali. Untuk itu, DPRD Bali juga harus didesak untuk mengeluarkan pembatalan usulan perubahan perpres.
Namun jika Gubenur Bali pernah melontarkan pernyataan bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa dalam pembatalan Perpres 51 tahun 2014 dan menyatakan demonstrasi Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang ditujukan ke Gubenur dan DPRD Bali salah alamat, maka itu adalah pernyataan yang menyesatkan.
Justru Gubenur Balilah yang saat ini paling berperan penting dalam pembatalan Perpres 51 tahun 2014. Artinya bola pembatalan reklamasi sepenuhnya ada di tangan Gubernur Bali dan DPRD Bali. Jadi sasaran gerakan penolakan reklamasi yang ditujukan kepada Gubernur dan DPRD Bali sudah sangat tepat.
Tidak Dipakai
Masalahnya adalah, apa yang bisa dijadikan dasar Gubernur dalam membatalkan rekomendasi yang telah dikeluarkannya?
Pertama, adanya ketentuan dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bahwa kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan suci. Kedua, dan ini yang paling penting adalah adanya penolakan dari masyarakat terutama dari mereka yang terdampak jika Teluk Benoa dijadikan kawasan pemanfaatan dalam bentuk reklamasi.
Sesungguhnya dalil bahwa hanya puluhan desa adat yang menolak sementara di Bali ada ribuan desa adat yang tidak bersuara, tidak bisa dipakai dasar Gubernur untuk menyatakan penolakan tidak bulat. Hal ini mengingat desa adat yang menolak adalah mereka yang terdampak.
Justru apabila ada ribuan desa adat tak terdampak (dari aspek lingkungan dan sosial) yang menolak, tetapi desa adat yang terdampak menerima, maka akan menjadikan penolakan tidak memiliki kekuatan yang signifikan.
Sebenarnya ini masalah yang sangat sederhana dan jauh dari kata kompleks mengingat dampak dari pengembalian kawasan teluk benoa menjadi konservasi (baca: pembatalan rencana Reklamasi) tidaklah besar. Kalaupun menjadi rumit dan seakan-akan sulit karena adanya kepentingan pribadi dari sejumlah pihak dan dalam hal ini yang patut diduga adalah kepentingan investor dan kepentingan birokrat penguasa.
Artinya, jika Teluk Benoa dibiarkan saja seperti sekarang, maka tidak ada siapapun yang rugi kecuali investor. Apakah rakyat akan rugi karena kehilangan kesempatan mendapatkan benefit dari proyek reklamasi? Jawabanya, pastilah tidak.
Mereklamasi Teluk Benoa tidak akan memberi dampak signifikan bagi kemajuan ekonomi masyarakat Bali. Dampaknya sangatlah kecil, bahkan bisa diabaikan. Sementara jika direklamasi justru dampaknya akan sangat besar, kerusakan ekosistem dan kepadatan di kawasan Bali Selatan yang sudah over capacity. [b]