Oleh Anton Muhajir
Menjelang balik ke Bali setelah selesai jadi fasilitator di Bajawa, Ngada (23/4) lalu, saya mampir ke Ende, kabupaten lain di Flores, Nusa Tenggara Timur. Jarak antara Ende dan Bajawa sekitar empat jam perjalanan lewat darat naik mobil. Saya harus ke Ende dulu karena dari kota di tepi pantai selatan Flores ini ada penerbangan ke Denpasar. Kalau di Bajawa tidak ada.
Saya dan Ana, teman seperjalanan, sampai di Ende lebih awal sekitar dua jam sebelum check in untuk penerbangan. Pesawat Merpati dari Ende ke Kupang akan berangkat pukul 11.55 Wita, berarti kami harus check in 10.55 Wita. Kami sampai di Ende sekitar pukul 9 pagi.
Ketika ke sini Januari tahun lalu, saya tidak sempat jalan-jalan di Ende karena alasan waktu mepet dan kecapekan setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo ke Ende. Agak nyesel juga sih. Makanya sekarang saya harus bisa jalan-jalan meski cuma sebentar.
Berdasarkan informasi yang saya punya, rumah pengasingan Soekarno di Ende adalah salah satu tempat menarik untuk dikunjungi. Maka kami segera ke sana.
Rumah ini berada di jalan Perwira, Ende. Sepertinya sih di tengah-tengah kota. Kawasan ini berupa perkampungan biasa. Masih terlihat beberapa rumah tua ala Belanda. Ini bisa dilihat dari bentuk jendelanya yang luebar sekali.
Dua papan di depan rumah memudahkan pengunjung untuk tahu bahwa rumah ini pernah jadi tempat pengasingan Soekarno. Papan tersebut di sisi kanan dari pintu masuk adalah keterangan tentang rumah tersebut sebagai benda cagar budaya. Papan di kiri bertuliskan Situs Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Halaman ini terlihat tidak terlalu terawat dengan rumput-rumput yang panjang. Selain rumput ada juga bunga sepatu, bunga kamboja merah muda, dan lain-lain.
Rumah ini pernah jadi tempat pengasingan Soekarno di Ende selama empat tahun pada 1934-1938. Soekarno diasingkan Belanda di sini bersama istrinya, Inggit Gunarsih, juga anak angkat dan mertuanya. Pemilik rumah ini adalah Abdullah Ambuwaru, tokoh masyarakat setempat. Oleh Abdullah, rumah ini dihibahkan pada negara sebagai situs budaya.
Kini cucu pemilik rumah ini, Syafruddin Puaita, jadi juru kunci di rumah ini. Syafruddin, sudah bekerja delapan tahun di sini menggantikan bapaknya, pula yang menemani pengunjung di rumah ini.
Luas rumah ini 9×12 meter persegi. Ada lima kamar di rumah utama. Kamar ini antara lain untuk ruang tamu umum, ruang tamu khusus, kamar tidur Soekarno, kamar tidur mertuanya, dan ruang sholat di belakang. Di belakang rumah utama ada bangunan memanjang terdiri dari dapur, gudang, dan kamar mandi.
Ruang tamu utama adalah bagian pertama yang kami jumpai begitu masuk rumah. Ruang ini sekaligus jadi ruang pamer untuk benda-benda peninggalan Soekarno selain sebagai tempat buku pengunjung. Di dua rak coklat berkaca bening tersimpan benda seperti foto, piring untuk hiasan ataupun tempat makan, buku-buku, dan tongkat.
Di pojok ruang terdapat lukisan vertikal berukuran sekitar 1,5 meter x 0,5 meter persegi. Lukisan ini menarik perhatian khususku karena objeknya adalah orang Bali yang sedang bersembahyang. Ada empat laki-laki tanpa baju dan memakai udeng (ikat kepala), kamen (sarung), juga selendang di pinggang menghadap sanggah, tempat meletakkan sesajen.
Lukisan ini diberi keterangan di pojok bawah kanannya, “Pura Bali. Hasil Lukisan Bung Karno pada Tahun 1935.” Bagi saya lukisan ini bisa jadi jendela juga bagi pengunjung rumah ini. Sebab begitu melihat lukisan ini, tentu saja orang akan langsung ingat Bali.
Soekarno sepertinya memang benar-benar punya ikatan psikologis, selain biologis karena ibunya memang orang Buleleng, pada Bali. Buktinya jauh-jauh tinggal di Ende dia justru melukis Bali, bukan Ende.
Setelah ruang utama, di mana terdapat juga foto Soekarno berpidato dalam ukuran jumbo, kami ke ruang tamu khusus. Menurut Syafruddin, tempat ini biasanya dipakai Soekarno untuk berbicara dengan tamu khusus secara personal. Misalnya dengan keluarga atau kepala daerah.
Ruangan ini ukurannya lebih kecil dibanding ruang tamu utama. Ada dua kursi dan satu meja yang biasa dipakai Soekarno menemui tamunya.
Ada poster besar dengan tulisan tangan Soekarno berjudul Amanat untuk Bangsa Indonesia. Poster ini digantung di sudut kamar dan posisinya agak tinggi. Tulisannya tidak terlalu jelas akibat plastik penutupnya yang kusam.
Dari ruang tamu khusus, kami ke ruang tidur pribadi Soekarno. Tempat tidur di ruangan ini, terbuat dari besi dan dibiarkan terbuka tanpa penutup kasur, langsung mengingatkan saya pada ranjang penyiksaan di Museum Tuol Sleng, Kamboja. Tempat tidur di sini lebih kecil. Tapi bentuk dan suasananya yang di kamar agak muram dan dingin bener-benar membuat saya tak terlalu nyaman. Saya ingat ketika di Kamboja saya bener-bener merinding takut melihat ruang-ruang penyiksaan milik Khmer Merah tersebut.
Karena itu saya segera keluar melihat bagian lain dari rumah pengasingan Soekarno ini. Kami lihat kamar pribadi mertua Soekarno dan ruang sholat Soekarno di belakang. Tidak ada yang menarik di ruangan ini. Begitu pula dengan dapur, gudang, dan kamar mandi bagian belakang rumah utama.
Rumah ini punya halaman belakang. Tapi tidak banyak yang bisa dinikmati sebagai bahan cerita. Hanya ada sumur. Itu saja. Karena sedikitnya bahan yang bisa diceritakan di rumah ini, maka kami tak sampai 30 menit di sini.
Rumah Pengasingan Soekarno di Ende ini mengingatkan saya lagi pada persoalan klasik situs-situs sejarah atau budaya di Indonesia, miskin informasi. Sebagai tempat sejarah, rumah ini harusnya punya cukup keterangan tertulis. Jadi misalnya ketika masuk orang akan langsung tahu tentang rumah ini lewat keterangan tersebut. Bisa saja keterangan ini ditempel atau dalam bentuk buku.
Selain keterangan tentang objek sejarah, akan lebih bagus pula kalau ada kurasi atau tulisan review tentang bangunan tersebut. Atau bahkan bagaimana peran rumah ini dalam konteks sejarah bangsa. Sebab, kata Syafruddin, di rumah ini pula Soekarno mencetuskan adanya Pancasila. Ketika itu Soekarno memikirkannya saat duduk di bawah pohon sukun tak jauh dari rumah ini. Ini kan sesuatu yang penting sekali.
Dan, seperti bangunan sejarah lain, bangunan yang pernah direnovasi pada 1981-1982, ini pun sepi pengunjung. Rata-rata hanya satu pengunjung per hari. Ketika liburan, museum ini baru banyak pengunjung. Di luar itu, museum itu sepi dalam kesendirian..
aku yakin tempat ini terawat rapi, karena penjaganya kelihatan rapi dan terawat he he he
yah,.. begitulah keadaan rumah pengasingan bng Karno dulu. saya juga salah satu warga kota Ende. mungkin kelihatannya tidak terawat tapi saya yakin tidak mencerminkan isi rumah yang tidak terawat. karena penjaganya akan selalu merawatnya:). oh ada lagi yang terlewatkan yaitu prasasti di bawah pohon sukun yang terletak di sebelah lapangan perse di tengah kota. itu adalah tempat bung Karno juga merenungkan Pancasila. katanya sih gitu….. karena itu kota Ende juga merupakan saksi sejarah lho….:)
Bung Karno banyak berjuang di jamannya. Pak Hato berjuang di pembangunan (dengan segala kekurangan dan kelebihannya), Pak Habibi berjuamh di teknologi, Gus Dur berjuang ciri khas humanisme, Bu Mega berjuang dengan demokrasinya, Pak Beye berjuang meluruskan reformasi.