Benih industri pariwisata Bali dilahirkan dari rahim kolonial, dipupuk oleh kompos terbaik dari ribuan nyawa yang dibantai, dirawat oleh peradaban agraris dan keyakinan masyarakatnya. Jadi, seperti seorang anak pada umumnya, ketika tiba di masa dia mengalami keberhasilan atau keputusasaan nan mendalam, industri ini pun akan kembali kepangkuan ibunya, “kolonial”.
Setelah invasi-invasi militer ke tanah Bali, kolonial penguasa Bali kala itu mulai getol menjual Bali untuk menutupi darah yang tumpah dan kebengisannya. Bali yang dulunya dari luar dikenal sebagai pulau pemakan darah, penjual budak dan masyarakatnya dianggap memiliki penyakit jiwa karena gandrung dengan tradisi kerasukan.
Pada tahun 1920-1030an wajah dan citra Bali mulai diubah oleh kolonial menjadi negeri para dewa, tanah mimpi, nirwana dari timur. Lengkap dengan simbol-simbol, seperti imaji perempuan-perempuan Bali berdada telanjang, menyamarkan skrup-skrup dan mesin kolonialisme yang menggerakannya. Usaha-usaha menjual Bali melalui jalur pariwisata turut membentuk citra manusia Bali yang eksotis, artistik, autentik dan damai, sekaligus menutupi masalah dan pengisapan-pengisapan yang sebenarnya masih terjadi.
Setelah beberapa abad berlalu, hari ini siapa yang bisa disebut manusia Bali tentu akan melalui perdebatan panjang. Mungkin akan sampai pada sejarah Majapahit atau bahkan lebih jauh dari itu.
Pergulatan tentang identitas manusia Bali mengingatkan saya pada dua pernyataan. Pertama di sebuah diskusi di media space Twitter BaleBengong. Seorang peserta diskusi, perempuan yang berdomisili di Jawa dengan nada kesal mengatakan, ”Hanya karena saya lahir dan tumbuh di Jawa, saya ketika di Bali pernah dibilang orang Jawa. Padahal, kedua orang tua saya lahir di Bali dan kami masih memiliki rumah pokok dan pura keluarga di Bali.”
Kedua, di sebuah acara diskusi di Taman Baca Kesiman Denpasar, seorang teman bernama Gilang memperkenalkan dirinya, “Saya masih sering dibilang nak Jawa (orang Jawa) padahal saya lahir dan tumbuh di Bali dan memiliki rumah di Bali.”
Dari dua pernyataan itu kita bisa melihat tendensi bagaimana identitas sebagai manusia Bali seakan lebih menarik daripada sebagai identitas orang Jawa. Kecenderungan itu terjadi tentu bukan tanpa alasan. Identitas manusia Bali lebih spesial tidak terlepas dari akumulasi narasi dan pencitraan industri pariwisata tentang Bali dan narasi politik identitas yang sering dipakai beberapa politisi untuk meraup suara.
Pasca-masa kemerdekaan dan revolusi, ditandai dengan meletusnya Gunung Agung pada Maret 1963, masyarakat di Bali adalah bagian dari Republik, tetapi belum sepenuhnya lepas dari praktik-praktik feodal. Kala itu mereka merasakan kesusahan begitu nyata. Pembagian persentase hasil panen dari kesepakatan sebelumnya antara rakyat bersama keturunan kesatria/raja di Bali dirasa sangat tidak cukup oleh rakyat karena terjadi banyak gagal panen. Di waktu yang sama Partai Komunis Indonesia melalui program turun ke bawah (turba) sedang getolnya turun ke daerah untuk mengorganisasi massa dan memperjuangkan pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria, undang-undang yang juga mengatur batas hak kekuasaan tanah warga negara di Republik.
Itu yang saya rasa menjadi salah satu alasan partisipan PKI dan sayap-sayap organisasi dibawahnya tumbuh pesat di kalangan masyarakat Bali. Sederhananya, salah satu yang menggerakan ialah masyarakat merapat ke barisan PKI karena ingin mendapatkan hasil pembagian hasil panen yang lebih banyak dan merebut dominasi kekuasaan keluarga raja atas tanah yang tidak sejalan dengan UU Pokok Agraria.
Di penghujung tahun 1965 dan memasuki tahun 1966 setelah prahara politik yang terjadi di tanah Jawa, Gubernur Bali pertama pascakemerdekaan dijemput dan sampai hari ini hilang tanpa jejak. Lalu menyusul pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat Bali yang memiliki indikasi terkait dengan PKI. Kuburan massal tersebar di berbagai daerah.
Kejadian tragis tersebut menjadi kenyataan yang tidak banyak disuarakan setelah itu. Hampir sama dengan apa yang dilakukan kolonial pascainvansi militer berdarah. Usaha-usaha menjual Bali seperti kembali direkontruksi oleh pemerintah yang berkuasa di kala itu untuk menutupi sejarah kelam. Ida Bagus Mantra, Gubernur Bali ketiga dianggap oleh banyak kalangan sukses sebagai nakhoda dengan slogan pariwisata berkelanjutan berbasis pada kebudayaan.
Masa-masa emas industri pariwisata Bali bisa dikatakan terjadi pada era tahun 1970-an sampai tahun 2000-an awal. Slogan-slogan seperti Tri Hita Kharana, desa adat sebagai benteng tanah Bali, Bali pulau seribu pura yang dijaga oleh berbagai macam pura suci tersebar di tanah Bali, masyarakatnya yang ramah dan berbudaya dengan segala macam ritual agung tiada henti, dan juga Sapta Pesona seperti menjadi lanjutan yang linear atas citra Bali yang dulu pernah dinarasikan oleh kolonial ketika menjual Bali.
Slogan-slogan yang didengungkan kala itu terasa cukup relevan. Pariwisata menghasilkan pundi-pundi dolar yang bisa dirasakan berbagai lapisan masyarakat, terutama yang berada di jalur pariwisata. Sebagai masyarakat yang tergabung dalam komunitas adat desa adat, yang kebanyakan kebutuhan primernya sudah terjamin, misalnya mendapatkan hak pakai dan waris karang tanah adat, spirit suka duka ditanggung bersama sebagai masyarakat kolektif, orang Bali percaya bahwa leluhurnya yang telah berbuat kebaikan yang sangat dahsyat. Kemudian secara sadar merasa segala puja puji memang layak disematkan kepada manusia Bali. Ritual dan aktivitas budaya dan agama hendaknya terus dirawat. Selain akan menarik untuk pariwisata dan bentuk rasa syukur juga sebagai pengukuhan identitas Bali sebagai pulau para dewa.
Saya kebetulan lahir di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar, salah satu jalur utama pariwisata. Saya yang tumbuh besar di tahun 1990-an merasakan dengan jelas bagaimana nikmatnya serpihan-serpihan kue pariwisata di tahun tahun itu. Ketika melihat wisatawan mancanegara, saya dan teman-teman yang masih duduk di bangku sekolah dasar seperti melihat Santa Claus di film-film Natal. Kita akan mendekat dan berharap mereka akan menyodorkan kameranya, memotret atau berinteraksi sekadarnya, lalu memberi coklat permen atau uang dolar.
Begitu juga kehidupan lingkungan desa saya. Nyaris setiap hari semarak oleh aktivitas masyarakat berkesenian, membuat kerajinan dan berniaga barang atau jasa untuk menyambut wisatawan. Seakan apa pun di kala itu bisa dipoles untuk menghasilkan dolar, artshop atau kios dominan milik orang lokal. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup kolektif juga berhasil membuat pertunjukan pertunjukan seni untuk pariwisata berbasis sekhaa (paguyuban). Banyal tegalan belakang rumah warga yang dulunya sering dipakai kandang babi disulap menjadi homestay untuk wisatawan.
Ketika sesekali saya diajak sanggar kesenian desa menari sebagai monyet anak buah Hanoman dalam lakon Ramayana ke daerah Nusa Dua atau Kuta, saya melihat bagaimana bangunan-bangunan akomodasi pariwisata begitu mewah, tetapi terasa asing. Taman dengan pohon kelapa dan arsitektur bernuansa Bali begitu kuat. Hiasan janur bunga kamboja dan gumitir menambah cita rasa. Persis sama yang saya rasakan seperti upacara di pura, hanya saja di hotel-hotel itu lebih rapi dan berbau parfum Barat.
Dengan jelas saya mengingat bagaimana kehidupan warga dan pariwisata di tahun tahun itu berjalan begitu hangat. Setiap sudut Bali ketika itu seakan bagian dari pariwisata. Manusia dengan identitas Bali terasa mudah mencari uang dari pariwisata. Celoteh “uang seperti jenggot” yang hari ini dikuris besok akan tumbuh lagi terdengar relevan dengan keyakinan penuh bahwa industri ini akan berkelanjutan dan budaya dijual tidak akan pernah habis.
Namun, sayangnya sebagai masyarakat yang hidup bersama, cepat merasa cukup, banyak warga desa saya tidak pandai menyimpan uang jangka panjang. Daripada memutar uang untuk membeli aset, investasi bisnis di luar pariwisata atau investasi pendidikan akademis untuk anak cucu, mereka cenderung memakai uang lebihnya untuk pesta, meningkatkan kualitas upacara ritual, dan tentunya main judi.
Oleh ingar bingar pariwisata, puja-puji kepada identitas sebagai manusia Bali yang tiada henti, akrabnya tangan manusia Bali dengan sentuhan mata uang asing itu membuat setiap manusia sebangsa yang datang merantau ke Bali dianggap hanya untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang tidak banyak dikerjakan orang Bali. Biasanya pekerjaan atau usaha di luar sentuhan pariwisata langsung. Setiap orang yang datang dari luar pulau dan berwarna kulit sama dengannya sering dipanggil orang Jawa, sekalipun datang dari pulau Sumatera. Sebagian besar dari mereka dianggap datang untuk bekerja dan berpikir lebih keras karena mereka tidak memiliki hak dan kewajiban adat atas pulau Bali. Tangan-tangan mereka dianggap tidak memiliki pancaran kebudayaan adiluhung untuk menarik dolar.
Kesan diskriminasi terhadap wisatawan domestik yang datang pada masa itu juga terasa kuat. “Rombongan bebek” atau “ rombongan Indonesia Raya”. Itulah celotehan yang sering saya dengar di tahun 1990-an ketika ada wisatawan domestik turun dari bus berplat non DK untuk ikut menonton pertunjukan seni di desa saya. Tiket untuk wisatawan domestik memang dijual lebih murah, tetapi aturannya mereka akan duduk berjejer di belakang wisatawan mancanegara. Banyak hal atau tempat yang susah diakses oleh wisatawan domestik di Bali kala itu.
Di tengah kehidupan sosial masyarakat, setiap ada tindakan kriminalitas atau pencurian dengan latah akan selalu dikaitkan dengan orang Jawa, karena bagi orang Bali hidup sudah lebih dari cukup tidak mungkin ada manusia Bali akan berpikir untuk mencuri.
“Masa masa keemasan pariwisata” seperti tambang itu tidak terasa langsung, tetapi pelan-pelan mengikis peradaban dan mengubah orientasi hidup manusia Bali. Oleh pariwisata, orang Bali dari satu generasi ke generasi selanjutnya semakin jauh dari peradaban agraris dan esensi agama Hindu Bali tentang bagaimana melihat tanah dan perjalanan air. Dulu tanah yang dianggap paling berharga adalah tanah yang paling dekat dengan sumber mata air atau sungai. Dulu generasi kakek nenek saya sering terdengar bertengkar masalah jatah air yang mengaliri tanah sawahnya.
Orientasi itu pelan-pelan berubah. Tanah paling berharga saat ini di Bali adalah tanah yang lokasinya dekat jalan utama, terlebih lagi di jalur atau area pariwisata. Acuan tanah yang dicari di Bali bukan lagi tanah yang mendapatkan aliran air secara langsung, tapi tanah yang mendapatkan akses jalan mobil untuk perumahan. Industri pariwisata menjelma seperti dewa baru, pelayanan terbaik harus disuguhkan sekalipun harus berpura-pura. Barang siapa yang dekat dengannya akan diberikan kemudahan rezeki, kesejahteraan, dan terselamatkan. Pariwisata dianggap abadi dan akan terus berkelanjutan dengan segala puja-pujinya.
Terang saja itu membuat banyak manusia Bali tidak sadar bahwa industri pariwisata adalah industri yang sesungguhnya berdiri di pijakan sangat rapuh. Terbukti ketika Bali dihajar bom pada 2002 dan 2005, ditambah lagi perubahan-perubahan ekonomi global di saat yang bersamaan dan berpengaruh terhadap kualitas wisatawan yang datang, akumulasi itu membuat banyak manusia Bali seperti kebakaran jenggot sampai luka bakar di dagunya. Jenggot tidak bisa lagi tumbuh subur seperti sedia kala.
Pelaku pariwisata di Bali minim alternatif di luar pariwisata. Banyak usaha lokal yang bangkrut sehingga mereka banting setir menjadi pekerja, sekha atau peguyuban kolektif, babak belur dihajar bisnis yang sama dengan digerakkan perseorangan atau modal. Para seniman yang dulunya bagian dari sekha kemudian hanya jadi pekerja seni. Kekosongan-kekosongan akomodasi setelahnya diisi pemodal dengan praktik- praktik kapitalis tanpa memikirkan keberlangsungan bumi dan manusia Bali. Akibatnya, banyak orang Bali memilih menumbuhkan jenggot instan dengan menjual tanah warisan adat atau asetnya. Pelan-pelan suasana ingar bingar pariwisata yang bangkit kembali pasca tragedi semakin jauh dari cita rasa sebelumnya.
Perjalanan tersebut membuat manusia Bali seperti tersesat. Kemudahan berjualan sebelumnya di ruang pariwisata dianggap sebagai pasar yang luas bukan lagi produk yang menarik. Ketika kemudian pasar mulai menyempit karena banyak yang bisa berdagang, yang dilakukan bukan meningkatkan dan menjaga kualitas, tapi dengan segala usaha dan kebijakan malah pasar yang terus diperlebar. Hal itu berujung pada kubangan pariwisata massal. Di tengah kubangan itu siapa saja dan semakin banyak yang datang dan bisa berdagang. Lalu, harga barang dan jasa diturunkan. Hasilnya kemudian adalah menurunkan kualitas. Di titik itulah pariwisata Bali saat ini berada.
Hari ini slogan-slogan adiluhung tentang pulau ini semakin terdengar tidak relevan. Misalnya konsep tiga hubungan baik sebagai manusia atau Tri Hita Karana, yang masih sering dipakai politisi atau pemanis di acara pemerintahan, sangat kontradiktif dengan hamparan kenyataan yang tersisa. Kesakralan pura sebagai penjaga ruang sekitarnya dihajar habis oleh pembangunan. Manusia berkelahi dan kriminalitas menjadi makanan sehari-hari. Lingkungan Bali seperti sudah tidak lagi memiliki ruh. Hanya benda mati yang bisa diubah seperti apapun sebagai penunjang kebutuhan dan keberlanjutan modal dan kekuasaan. Bayangkan bagaimana mualnya membaca butir-butir Sapta Pesona di kemacetan lalu lintas Bali atau setelah melihat fasilitas umum di Bali.
Di dalam kubangan pariwisata massal yang semakin dalam, organ-organ pemodal semakin terang-terangan menguasai hampir seluruh perputaran uang dan aset di pulau ini. Perizinan tidak berpihak kepada kepentingan alam ataupun masyarakat lokal. Oleh pemerintah, keberhasilan pariwisata diukur seberapa banyak turis yang datang. Semua itu membuat industri ini seakan kembali ke pangkuan kolonial. Nilai-nilai identitas manusia Bali di ruang-ruang industri juga semakin semenjana. Hari ini siapapun bisa berdagang dan apapun bisa dijual di Bali. Kalaupun untuk sekadar kode etik hanya diperlukan memakai simbol-simbol Bali di permukaan yang bisa dipakai oleh siapa pun, seperti yang sering kita lihat berseliweran di media sosial bagaimana warga negara asing hanya dengan memakai pakian adat Bali dengan sangat cakap menjual properti atau tanah di Bali.
Desa adat yang cukup lama mampu menjadi benteng pengaman dan memberi privilege sebagai manusia Bali terasa semakin terkikis. Bahkan bagi sebagian manusia Bali itu telah berubah menjadi beban. Desa adat yang di satu generasi memberikan hak dan kewajiban di generasi berikutnya mewarisi hak yang telah habis dijual atau ruang kekuasaan yang semakin menyempit, tetapi tetap meninggalkan warisan tanggung jawab yang sama. Masa keemasan ketika sebagai masyarakat adat manusia Bali seperti memiliki pondasi, akses dan kemampuan lebih sebagai subjek industri, kini semakin tergeser dan menjadi objek semata.
Dan di industri yang semakin kapitalistik ini nilai manusia Bali yang dikenal sebagai manusia yang memerlukan banyak libur untuk kontribusi adatnya semakin tidak menjadi pilihan. Local genius yang diwarisi terbukti tidak pernah memperhitungkan bagaimana kalau penerusnya terjebak di kubangan ini. Lagi pula manusia Bali yang sekian lama tenggelam dalam industri pariwisata yang begitu mapan dalam ilmu melayani seperti menjadi ngos-ngosan jika harus bersaing di pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu memerlukan kecakapan pelayanan.
Bahkan beberapa anak muda Bali yang cukup mapan di kemampuan industri hospitality mengatakan pekerjaan di Bali tidak lagi menjanjikan. Mereka kemudian memiliki target untuk meninggalkan pulau ini dan bertarung di luar negeri untuk bayaran dan pengalaman yang lebih layak. Anak-anak generasi Tiktok Bali tidak bisa lagi memiliki imajinasi orang mancanegara sebagai Santa Claus atau mister yang murah hati. Dari kejadian-kejadian yang viral melintas di layar gawai mereka, anak-anak Bali seperti melihat Santa telah melepas piamanya, memesan ojek daring atau menyewa motor N-Max dan berperan sebagai “bule trouble maker”.
Ketika banyak kaum terpelajar di Bali bertanya bagaimana masa depan Bali tanpa subak, bagaimana jadinya Bali kalau masyarakatnya lupa akan akar budayanya, saya melihat itu pertanyaan-pertanyaan romantis yang tidak lagi menapak tanah dan tertinggal di ruang kosong. Dua tahun dunia tertimpa COVID 19, industri pariwisata seperti tidur pulas. Subak dan apapun yang dianggap menjadi akar pulau ini tidak mampu menjadi alternatif. Ruang tanah air dan udara Bali sudah tidak lagi relevan dengan filsafat itu. Sebagian besar imajinasi-imajinasi manusia Bali tidak lagi di sana. Bahkan doa mereka yang bergema di media sosial kala COVID 19 ialah, “Kapan lalu lintas Bali akan macet lagi, tetapi rejeki dan cicilan lancar?”. Lagipula bagaimana kita bisa merasa layak berbicara keberlangsungan subak tentang pengelolaan air dari hulu ke hilir ketika kondisi tanah di Bali sudah compang camping? Bagaimana kita bicara akar kebudayaan ketika kekuasaan ruang tidak lagi milik kita?
Kebanggaan mengemban identitas manusia adat di Bali hari ini yang tersisa adalah dengan tetap melaksanakan kegiatan upacara dan budaya. Semakin sempit ruang yang dimiliki, tetapi saya lihat upacara dan ritual harus semakin besar. Semacam interkoneksi manusia oleh internet hari ini. Semakin manusia merasa kecil, semakin ingin menjadi viral didengarkan dan terlihat, semacam tren sound horeg.
Itulah yang saya rasakan ketika menjadi bagian dari masyarakat desa adat di Bali. Banyak politisi daerah memainkan bantuan sosial di pembangunan-pembangunan fisik tempat ibadah yang dianggap sesuai dengan keinginan umat. Pembangunan yang kemudian diiringi dengan mengambil tingkatan upacara dan ritual yang lebih tinggi dan itu tentu saja menjadi tanggung jawab dan bakti manusia Bali sebagai masyarakat desa adat. Untuk menjalankan itu, tidak dalam jumlah yang sedikit waktu, tenaga dan pikiran manusia Bali harus dihaturkan secara tulus iklas.
Di dalam upacara besar-besaran itu saya memerhatikan banyak simbol dalam pelaksanaan ritual merupakan pengukuhan dan perayaan manusia sebagai masyarakat agraris. Padahal, hari ini manusia adat yang menanggung tanggung jawab itu tidak lagi sebagai masyarakat agraris. Maka di perayaan yang semakin besar itu, tidak banyak lagi hasil bumi yang bisa kita nikmati, sering merasa asing dan seperti sedang berpura-pura karena itu terasa tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia Bali saat ini.
Manusia Bali yang terus bertumbuh sementara ruang warisan leluhur semakin menyempit. Banyak dari mereka mulai merasa terimpit atau terpental dari di rumah warisan adat, tapi hidupnya masih diikat tanggung jawab adat. Baru kemudian hadir generasi manusia Bali yang sadar kalau tanah di Bali yang terpampang di berbagai iklan properti tidak bisa terbeli oleh banyak manusia Bali. Tempat yang diidamkan untuk sekadar tempat tinggal layak dan rehat dari tanggung jawab adat menjadi jauh panggang dari api. Oleh generasi sebelumnya generasi baru ini juga seperti tidak banyak dibekali dengan perspektif ada masa orang Bali harus membeli tanah di Bali. Ditambah lagi peningkatan harga tanah di Bali semakin tak terbentung karena banyak diminati orang-orang dari luar Bali, orang-orang yang katanya terpilih untuk tinggal di Bali.
Bali yang sering dipakai singkatan dari banyak libur, dengan data jumlah bunuh diri tinggi dan masyarakatnya mengalami schizophrenia tertinggi di Indonesia. Mungkin sebenarnya manusia Bali hari ini ialah manusia yang jauh dari kenyataan hidup bisa menikmati liburan. Bagi yang bekerja di kantoran hampir sebagaian besar cutinya habis oleh kegiatan ritual dan kebudayaan. Masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata harus berkelahi dengan waktu untuk memenuhi tanggung jawab sebagai manusia adat dan tuntutan sebagai pekerja. Bahkan tidak jarang mereka harus bekerja lebih dahsyat ketika musim liburan, belum lagi harus berkelahi dengan kemacetan dan fasilitas umum yang semakin jauh dari harapan kelas pekerja.
Pertanyaannya kemudian apakah cara-cara hidup, kegiatan ritual dan budaya yang manusia Bali masih pertahankan sampai hari ini, benar benar masih menjadi daya tarik yang turut mengundang wisatawan datang? Bukankah di beberapa tempat di Bali untuk menjalankan ritual atau budayanya sudah kalah? Manusia Bali harus memohon waktu dan ruang dari musik disko dan kembang api di club malam. Lalu, jika masih apakah pundi-pundi uang itu sampai pada manusia yang menjalankan ritual itu? Atau hanya di mata industri itu hanya dianggap bonus tontonan gratis untuk kelangsungan bisnis mereka? Apakah angka yang dihitung sebagai keberhasilan pariwisata oleh pemerintah benar-benar angka wisatawan yang datang untuk berwisata di Bali? Atau sebagian dari mereka hanya pelaku gentrifikasi, membuat uang dan cuci uang yang sedang bersembunyi dibalik identitas wisatawan?
Teori-teori pelestarian budaya yang didengungkan beberapa pihak, mungkin sekadar menjaga supply material untuk mempertahankan praktik-praktik eksotis melelahkan yang sebenarnya sudah tidak relevan. Karena identitas sebagai manusia Bali tidak lagi sama seperti masa keemasan pariwisata. Karena kebaikan-kebaikan leluhur manusia Bali yang dasyat itu sudah hampir habis. Tidak ada lagi privilege dan keberuntungan keberuntungan semudah dulu lagi. Praktik-praktik di ruang tanggung jawab adat semakin tidak sejalan dengan kebutuhan hidup sehari-hari dan kepentingan bersama.
Identitas manusia Bali nyatanya bukan sepenuhnya takdir nan kekal. Ia bisa tergantikan kapan saja dan oleh siapa saja, sementara esensinya kita adalah manusia pada umumnya yang juga harus berjuang belajar dan bersaing untuk ruang-ruang hidup yang layak. Identitas yang lebih nyata ialah identitas sebagai warga negara yang membayar pajak sehingga berhak atas fasilitas umum, jaminan sosial dan pengelolaan ruang hidup bersama yang lebih baik.
Dan tentang puja-puji untuk identitas manusia Bali yang masih beredar dan sampai di kepala, sebaiknya itu disimpan di laci bersama barang-barang masa lalu yang tidak beguna. Manusia Bali hari ini bisa belajar dari apa yang menimpa nyamuk, mereka bisa kapan saja mati oleh tepuk tangan. [b]
Terima kasih wi yan, atas tulisannya yg menyadarkan apa sebenarnya yg terjadi pada kita sebagai warga Bali
ulasan yg sangat menarik untuk dibaca?