Mereka lebih tepat disebut sebagai ‘teroris’.
Liburan panjang seperti sekarang, Bali pasti dibanjiri ribuan wisatawan domestik. Sejak dari penyeberangan Ketapang ke Gilimanuk, ratusan bus-bus besar dengan berbagai plat nomor kendaraan tumplek blek memenuhi kapal-kapal fery. Mereka merayapi jalan sempit koridor Gilimanuk-Negara-Tabanan-Denpasar. Mulai dari plat B, D, AB, L, N, AD, dll. Belum lagi wisatawan yang menggunakan mobil pribadi.
Begitu memasuki daerah Pantai Soka, Tabanan, barisan kendaraan yang mengular tanpa dikomando akan merapat, meringsek. Laju kendaraan kontan hanya bisa bergerak pelan. Laksana siput kecapekan.
Saya hapal betul ritme jalur perjalanan ini karena puluhan kali sudah bolak-balik Denpasar-Yogyakarta.
Pemandangan yang sama kurang lebih akan tampak di beberapa obyek wisata terkenal di Bali. Tanah Lot, pantai Kuta, Sanur, Kintamani, Alas Kedaton, seputaran Ubud-Sukawati-Singapadu. Kunjungan wisatawan domestik yang menyemut memenuhi parkir-parkir yang tersedia, bahkan meluber mengambil badan jalan. Sebagian pengguna jalan yang notebene orang Bali maupun pendatang yang telah lama bermukim di Pulau Surga itu akan mengeluh, ngedumel dalam hati, atau protes mengeluarkan umpatan lirih.
“Macet, macet. Apa sih yang dicari bus-bus ini ke Bali?” Ungkapan wajar dari warga pribumi yang merasakan kepentingannya terganggu karena macetnya jalanan di seantero Bali.
Saya punya pengalaman menarik waktu hari Saraswati 23 April 2011 lalu. Saat itu hari Sabtu, saya sedang melintas sendiri mengendarai sepeda motor dari kampung saya, Banjar Negari, Singapadu Tengah menuju Jalan Sudirman, Denpasar. Saya akan mengikuti persembahyangan Saraswati di Kampus Udayana.
Sampai di jalur Tegaltamu-Batubulan, tepatnya di depan artshop Galuh, laju motor saya dan beberapa pengendara lainnya terhenti tiba-tiba. Dari arah berlawanan (Denpasar), beberapa bus besar sedang mencari haluan, menyeberang, dan masuk ke dalam Art shop Galuh. Karena badan bus yang besar, butuh waktu sekitar 10 menit agar bus-bus itu masuk semua. Kemacetan terjadi. Saya pun harus terlambat sampai di kampus.
Begundal-begundal
Dalam perjalanan pulang pengalaman peristiwa lebih buruk terjadi. Sekitar pukul 12 siang, saya pas tiba di perempatan Tohpati-By Pass Ngurah Rai. Waktu itu nyala lampu sedang hijau. Namun, anehnya kendaraan pada berhenti, mengular sampai di depan Stasiun Gema Merdeka. Ternyata polisi sengaja menahan laju kendaraan. Saya pikir pasti aka nada rombongan ‘si Komo’ lewat. Semacam rombongan para petinggi Negara yang harus selalu diutamakan agar mereka bisa lancar dalam perjalanannya. Saya mahfum.
Namun, 20 menit menunggu kami masih tertahan di sana. Pengemudi kendaraan mulai panas. Sebagian besar berpakaian adat karena selesai melakukan persembahyangan saraswati. Sebagian mulai menghidupkan klaksonnya. Makin lama semua pengemudi sontak membunyikan klaksonnya.
Ketidaksabaran kami mencapai klimaksnya dan berubah menjadi amarah teriakan setelah melihat yang lewat adalah rombongan motor gede (moge) yang dengan angkuhnya menggeber suara kendaraannya, tanpa helm, dan tanpa muka bersalah. Semua pengendara siang itu jelas menyiratkan ekspresi kemarahan, Kawan!
Bayangkan, kami yang baru pulang atau akan berangkat beribadah ke sebuah pura harus dihambat serombongan begundal-begundal pengendara Moge. Parahnya, mereka difasilitasi petugas sebagai aparatur Negara. Padahal, mereka (para petugas itu) kami gaji dari pajak yang kami bayarkan. Sungguh tidak adil!!
Para pengendara moge itu mungkin kurang pas disebut turis di Bali. Mereka tidak bisa menyelaraskan diri dengan kesahajaan Bali. Mereka angkuh di jalanan, tak peduli perasaan pengguna jalan lainnya. Mereka semau-maunya memakai jalan yang dibuat dengan pajak rakyat.
Mereka lebih tepat disebut sebagai ‘teroris’. Teroris yang difasilitasi Negara untuk menebar teror di jalanan. Para pengendara Moge itu memang bukan turis, saya sepakat. Namun, akibat yang ditimbulkan sama dengan iring-iringan bus besar yang selalu menyesaki Bali setiap liburan panjang tiba. Ketidaknyamanan pemakai jalan yang lain dan ujung-ujungnya juga turunnya tingkat kepuasan wisatawan secara keseluruhan.
Menimpakan kesemerawutan perlalulintasan di Bali semata kepada pihak pemerintah sudah banyak dilakukan orang, khususnya para pengamat transportasi. Pemerintah provinsi Bali pun, katanya, sudah menyiapkan Rencana Strategis untuk menanggulangi persoalan ini. Sejumlah dana sedang disiapkan dalam mata anggaran APBD. Misalnya, dengan pembukaan jalur bus trans Sarbagita.
Rencana lebih prestisius dilontarkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang akan membangun bandara internasional di Bali Utara (Buleleng). Mari kita semua berdoa lebih khusyuk agar rencana-rencana hebat itu cepat terealisasi. Namun, lazimnya kinerja pemerintah selama ini, kita sebagai rakyat terlalu lelah berharap untuk perubahan yang lebih baik.
Bebas umpatan
Melalui tulisan ini izinkan saya menyampaikan sebuah pemikiran sederhana tapi berimplikasi besar bila bisa diwujudkan.
Saya sering mengimpikan moda transportasi yang membawa para wisatawan tersebut (baik wisman maupun wisdom) berupa bus-bus kecil seukuran minibus dengan kapasitas maksimal 20 orang. Mengapa bus kecil? Karena jalanan di Bali kecil-kecil dan berkelok-kelok. Bila ini terjadi, yakni wisatawan khususnya yang dari pulau Jawa dan Sumatera menggunakan minibus, maka akan berimplikasi luar biasa.
Dari sisi kuantitas jumlah kendaraan memang akan lebih banyak karena kapasita per kendaraan kecil. Tapi dari sisi kelancaran berlalu lintas akan jauh lebih lancar. Pemerintah misalnya, bisa memulai dengan menerapkan kebijakan menggunakan bus kecil ini pada musim-musim high season (liburan sekolah, cuti bersama). Para pengusaha wisata bisa menerapkan kebijakan memberikan harga khusus bagi konsumen yang memakai bus kecil.
Gagasan ini muncul ketika berjalan-jalan di Ubud saya membaca sebuah sticker pada kaca belakang mobil sewaan. Stiker itu bertuliskan: ‘Ubud Menolak Bus Besar!’ Wow, kenapa hal itu tidak kita terapkan untuk Bali! Eureka saya kala itu.
Saya lalu mengubah ungkapan itu, ‘Bali Menolak Bus Besar!’. Bayangkanlah, Kawan. Bila kita melintasi jalan-jalan di Bali Selatan, kita bisa menempuhnya dengan lancar, tersenyum, dan so pasti tanpa umpatan. Karena Bali bebas dari bus besar dan karnaval motor gede. Hehe. So, lets say no to big bus in Bali.. [b]
kalau tidak dikelola dg baik, pariwisata memang bisa jadi anak durhaka. awalnya dia membawa berkah. tapi, karena tanpa kendali maka dia bisa musibah.
terus bertambahnya kendaraan pribadi, bus2 besar, juga moge utk ajang pamer plus kemacetan tiap hari seharusnya cukup memberikan petanda pada pemimpin provinsi ini. segera benahi transportasi publik!
setuju! Bali Menolak Bus Besar!! Bali bukan tempat karnaval moge!!!
Menjadikan suatu kota / provinsi memang berati sedang membuat pisau bermata dua
saLah2, kita sendiri yang tersayat
🙂
Mengenai bus bus pariwisata yang memang sering membuat macet jaLanan baLi, saya tidak terLaLu berkomentar, meski tak munafik saya juga kadang mengeLuhkan haL yang sama.
karena apa??
karena saya mencoba sadar diri, bahwa seperti saya juga, baLi mau tidak mau memang sangat bergantung pada sektor wisata.
Saya cinta baLi dengan segenap hati, sungguh. Tapi kita juga harus reaListis bahwa tak banyak potensi yang bisa digaLi dari baLi seLain sektor pariwisatanya (dan saya pun makan dari sektor itu juga)
Jadi kaLau kita meLarang bus besar masuk baLi, ini sama saja dengan kita menenggak obat nyamuk cair, sakit, mati perLahan.
come on, kita tahu bahwa daerah2 Lain sedang berLomba2 mendi daerah wisata.
kaLau saya (boLeh) pikir, aLangkah Lebih baiknya kaLo pemerintah memersiapkan jaLan2 yang memang dapat mengakomodir tempat2 wisata yang ada di baLi, aLih2 meLarang bus besar masuk baLi.
Sungguh, saya bukan tidak setuju dengan usuLan penuLis di postingan ini. Hanya saja, kita sama2 tahu bagaimana watak orang kita ketika menemui haL yang frontaL, (maaf) brutaL.
🙂
mengenai moge, apaLagi konvoi pLat merah (yang kadang aLasannya sangat tidak penting), saya enggan berkomentar.
Toh saya memang tidak pernah suka gaya mereka
🙂
aLamak, ketikan saya ternyata aneh gini
mohon maaf
sedikit revisi
Menjadikan suatu kota / provinsi “WISATA” memang berati sedang
come on, kita tahu bahwa daerah2 Lain sedang berLomba2 men”JA”di daerah wisata.
waw pemikiran yang bagus, tak sadar bahwa keberadaan bus besar itu mengurangi keindahan di jalan raya.
setuju.. bosan banget liat jalanan Bali. penuh sesak,panas, polusi.. jangan sampai dah Bali kayak jakarta. semoga para wakil2 rakyat itu bisa mewujudkannya..
Pulau ini sudah akan berevolusi, ini terjadi kalau warganya sendiri secara bersama sudah mulai muak dengan masalah-masalah sosial, lingkungan akhirnya berkumpul memenuhi kota dan sepakat untuk melakukan perubahan. Tinggal menunggu waktunya saja, masalah-masalah ini membuat warga pulai ini tidak ramah lagi. Jalanan sempit dan rusak tanpa saluran air dan tumpukan sampah dengan mobil-mobil berbadan lebar belum lagi kesadaran kita akan rambu lalulintas yang minim sekali… akan memicu adrenalin pengguna jalan. Dulu orang malu membunyikan klakson ketika baru saja lampu traffic light berganti, sekarang itu seperti sebuah standar prosedur… mereka marah.
Musim hujan nanti, sampah akan memenuhi pantai-pantai bahkan bahkan perumahan-perumahan disekitar gedung2x pemerintahan (di depan hidung mereka) hal terburuk belum terjadi jadi lebih penting mikirin adiluhung.
Kita akan menunggu sampai hal terburuk terjadi, BENCANA. Setelah bencana nggak langsung tindakan ada TimSus dulu… bla bla bla … hiburan ringan di televisi. 🙂
perasaan ga cuma di Bali saja moge berulah kayak gitu, di Jakarta malah gila lagi, tapi kok kalau di jogja ga berani macem2 ya??
kenapa gak sekalian tolak mobil, biar pake sepeda motor aja. jauh lebih kecil dan efisien kan? kemacetan akan sangat berkurang.
Knapa tidak masing masing perusahaan penyewaan bus bus besar menyediakan bus bus kecil saja di bali??jadi begitu bus besar masuk bali,mereka masuk ke pool mereka dan berganti dengan bus kecil yang sudah disediakan…
Bus kecil jauh lebih nyaman memandangi pemandangan yang sangat indah di bali dibandingkan bus besar yang memakan waktu untuk masuk tempat pariwisata karna besarnya sehingga sulit parkir dan ada tempat yang sulit dimasuki oleh bus..
Saya cinta bali meskipun saya dari jakarta,karna bagi saya Bali sudah jadi rumah ke dua bagi saya
Ya saya malah setuju pake sepeda gayung aja. Ndak pake macet, sehat semua. Ayo sapa mau ikut. Dr pd di jajah sama jepang…ayoooo…ikut ikut ikut
Moge rasanya lebih tepat untuk perjalanan jarak jauh melintasi padang gurun, bukan di pulau kecil seperti Bali. Namun untuk bus, saya rasa mesti ada solusi nyata terlebih dahulu sebagai alternatif. Kira-kira, jika bukan bus apa penggantinya, apa yang akan jadi konsekuensi jika bus digantikan, semua itu mesti dipertimbangkan.
Tapi, yah…, sepeda gayung juga boleh. Jika pemerintah Bali berani menerapkan Pulau Bali sebagai Pulau Sepeda.
Setujuuuuuuuuuu…..Untuk masalah Bus besar, memang sudah saatnya permerintah daerah Bali membuat kebijakan untuk Pariwisata Bali kedepannya, karena macet sudah dimana-mana. Trus untuk pengendara Moge, sadarlah kalian, prilaku anda membuat kesal pengguna jalan yang lain, Bukan anda aja yang bayar pajak….
pemerintah itu dapet komisi setiap ada mobil yang terjual, jadi akan selalu berusaha membuat jalan dan mengurangi transportasi umum. ga tau klo di denpasar, tp di sby tiap dealer minimal bisa jual 150 mobil, tgl dikalikan ada brp dealer mobil.
motor gede memang sebaiknya tdk ada di Bali karena hanya akan merusak pemandangan Bali.
Bus besar sebaiknya hanya boleh di jalan2x provinsi.
Setuju dgn paragraf2x terakhir. Sebaiknya mindset org tentang transportasi dirubah dari yang berkendaraan pribadi menjadi menggunakan transportasi umum (minibus, ojek, bemo, dll) dan sebaiknya transportasi umum diutamakan oleh pemerintah Bali.
Orang menjadi lebih kreatif dalam keterbatasan, dan seharusnya pemerintah bisa lebih kreatif soal transportasi dalam keterbatasan jalan raya.
terimakasih semua komentarnya. ini baru pemikiran awal. bukan berarti kita menolak pariwisata, tapi marilah men set up pariwisata yg sesuai dgn karakteristik bali sbg pulau keci. Moda transportasi nya pun semestinya menganut konsep ini. Bus besar jelas tdk cocok utk bali. tapi kalau bus kecil ke bawah masih okelah. Lagian, sebenarnya yg paling berhak menggunakan jalan adalah orang yg berjalan, dgn kaki. makanya namanya ‘jalan’. kita yg pakai alat transport kan kudu pakai ijin (SIM)? kenapa jadinya terbalik, yg minjam jalan akhirnya arogan. yang berjalan kaki malah tersingkir. Piye iki?
macet–macet—macet,,
tak pernah ada hentinya,meskpun tawaran pemerintah untuk menghadirkan solusi sampai saat ini belum juga dtg, entah kenap(bayk alasan).
tentuny alternatif diatas sangat bagus, apalgi ank muda di Bali lagi gila ama ‘Fixie bike’.sebuah alternatif yang dianggap”Gaul” di zona urban demi mengatasi kemacetan.Bersepeda pun juga bisasebagai altrnatif kok…
Tetapi ber’fixie’ sebagai gaya hidup dan merasa menjadi raja jalanan bukanlah solusi. Kadang saya sampai mikir, ini para ‘fixier’ kadang sepertinya nyari mati bukan nyari sehat. Mereka acuh tak acuh dengan dengan rambu lalu lintas, perduli setan dengan kendaraan di belakangnya.
Semuanya sebenarnya cuma masalah perilaku. Berkendara roda empat bahkan roda 16 pun kalau kita berperilaku bijak, bisa kok tanpa harus membuat macet.
Saya juga kadang bersepeda, tapi rasanya belum pernah bikin pengguna jalan lainnya dongkol karena ulah saya.
Ampura
Jero Mangku IKADS
Iya benar pak didi, titiang sangat setuja dengan pendapat anda.
matur suksma
Utux Tips trik komputer dan internet
larang dan sweeping kendaraan luar ( angkutan wisata luar) masuk bali, palagi yang ga punya ijin masuk.
Gak usah emosi….bro…..
bis besar cukup sampai gilimanuk saja, perjalanan selanjutnya dg bis dan kendaraan umum kecil berplat DK. banyak cara kok menata bali.. keep bali cool!
Klo gak ingin didatangi Bus Besar ya jangan tinggal di Bali Mas.. itu konsekwensi dari Bali sebagai kota tujuan wisata
@pak edi purwanto : hehe kalo begitu berpikirnya. semua orang bali hrs pindah dari bali dong. gmn dgn konsep pariwisata untuk bali, bkn bali utk pariwisata..kalo mau ngerasain, coba tinggal sebentar di bali pak. bpk akan merasakan bali yg sumpek, macet, padat.
Kita tdk kontra prwst, tapi mari manage pariwisata agar tdk mengganggu hak-hak warga pribumi dlm kehidupan sehari2nya. pada para wisatawan domestik juga, kalo konsumsi, janagan hanya di warung jawa, tdk mau di warung lokal.padahal produk makanan sdh diupayakan halal(tanpa BAB 1), sesuai dg yg diinginkan para wisdom. kita kudu menjaga perasaan warga lokal sbg host.
atur gini atur gitu… siapa yang mengatur kalau bukan si “pengatur” (pemerintah). pernah gak ya mereka-mereka yang mengaku sebagai pemerintah daerah membaca komen-komen seperti yang ada di website ini? rakyat mau memberikan masukan kemana? ke DPRD? siapakah wakil kalian disana? kenal gak? pernah gak ya wakil-wakil rakyat di DPRD membaca komen-komen rakyat seperti yang ada di website ini? hmm… jadi ingin bergabung dengan wakil-wakil kita di DPRD supaya bisa mewujudkan harapan-harapan rakyat di website ini… butuh biaya berapa ya supaya bisa bergabung dengan mereka? biaya kampanye, biaya setor sana setor sini, biaya suap, biaya ini, biaya itu. setelah bergabung dengan mereka di DPRD ya harus memikirkan balik modal dong, setelah semua biaya yang dikeluarkan, kan gak mau tekor. mana sempat mikirkan bali, memikirkan balik modal saja hanya punya waktu 5 tahun, belum lagi harus memenuhi janji-janji dan titipan dari donatur kampanye. hahaha… sudahlah, apa mau dikata. soo… apa kata dunia??
@Edi Purwanto.. WTF?
Kalo Bus kayaknya agak susah ditolak.. lha Bali kan daerah wisata, atau dibikinin “tempat mangkal” bus pariwisata yg mau ke bali…. nah, bikin lapangan pekerjaan tuh buat kita orang di Bali…. kalo motor besar…. hmmm mungkin karena kadang” kelakuan oknumnya yg AROGAN…. bolehlah dibicarakan alias diwacanakan… untuk ditolak…
peace love and unity
Usulin bt pemerintah supaya di bali wajib sepeda “jengki” saja + “dokar” + “ojek”,,jadi alam bali lebih terjaga dan tidak terpolusi,bisa mengurangi kemacetan,pemanasan global,hemat,menghindari kecemburuan sosial,meningkatkan saldo tabungan di bank…hahahaha…
siapa tau bisa ditiru oleh daerah lain atau negara lain,,jd bali lebih terkenal!!!!
tp klo di pikir-pikir,,,,ini mimpi kaleeee yeeeeeeee……
yang seneng moge,mocil,sepeda,mobil,atau cuman jalan kaki….kalau sudah konvoi berbanyak…tingkahnya sama saja…dan bukan cuman moge saja yg difasilitasi negara, orang gerak jalan bisa bikin macet berkilo kilo dan ber jam jam….orang doyan naik sepeda bisa menutup jalan seharian….,ayolah fair sedikit….,atau jangan jangan anda ngiri karena belum mampu beli moge..???