Teks Agus Widiantara, Foto Luh De Suriyani
Hangat hingga memanasnya perbincangan mengenai Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali berada pada posisi puncak saat ini.
Pada perdebatan pekan lalu antara Bupati se-Bali dengan Gubernur, pihak penentang maupun pendukung RTRW telah menunjukkan “taring”-nya masing-masing. Penolakan hingga rencana revisi aturan dalam RTRW yang menjurus pada Peraturan Daerah (Perda) no. 16 tahun 2009, masih mengalami proses “pertempuran” panjang tanpa henti.
Sampai-sampai acara curahan hati yang diselenggarakan Gubernur Bali di Wisma Shaba pekan lalu belum mencapai titik final yang berarti. Curhat malah menjadi usikan tersendiri. Suasana bertambah keruh dengan saling silangnya pendapat dari masing-masing petinggi pemerintah.
Ada dua kubu yang mempermasalahkan keberadaan perda tersebut. Pertama, pihak pro revisi dan meninjau kembali aturan. Pihak ini beralasan aturan tidak sesuai realitas di lapangan. Pendukung pihak ini berasal dari para Bupati se-Bali. Kedua, pihak kontra untuk tetap mempertahankan Perda tersebut. Mereka ingin menjaga kelangsungan Bali ke depannya. Pelopor pihak ini berasal dari pihak sulinggih (tokoh agama), tokoh masyarakat dan penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Membunuh” Badung
Jika mengamati pandangan kedua pihak di atas, sebenarnya tidak ada salahnya. Mereka beradu argumentasi. Pada intinya sama-sama untuk mempertahankan keberadaan Bali ke depannya.
Pihak yang pro untuk tetap meninjau kembali aturan Perda melihat situasi di lapangan tidak memungkinkan untuk menjalankan aturan tersebut. Aturan ini akan mengakibatkan lahan masyarakat tidak bisa dimanfaatkan untuk penunjang pariwisata Bali secara utuh.
Selain itu, aturan tersebut hanya dinilai akan “membunuh“ mayarakat Badung. Karena, pada mulanya masyarakat hidup dari pariwisata yang selama ini, menjadi sumber pendapatan utama Bali.
Pihak yang kontra revisi perda RTRW beralasan kuat pula. Menurut mereka Perda RTRWP Bali akan menyelamatkan alam Bali dari kehancuran. Revisi bukan solusi pokok yang tepat untuk menjamin kesejahteraan dan kelestarian budaya Bali.
Selain itu, pihak kontra pun menekankan bahwa perda RTRW tidak menafikan industri pariwisata mengingat di dalamnya ada kawasan strategis pariwisata yang telah diatur.
Oleh karena itu, Perda RTRWP menjadi peraturan untuk menjaga kualitas indutri pariwisata. Ketika zonanya dijaga, maka kelangsungan pariwisata dan kesehjateraan rakyat akan tercapai sebagaimana mestinya.
Namun, sangat berbeda jika perda RTRWP dipandang dan diposisikan sebagai penghambat laju investasi, menurunkan PAD kemudian pada akhirnya kesejahteraan rakyat tidak tercapai.
Buah Simalakama
Gubernur sendiri meminta agar pejabat masing-masing kabupaten memelajari secara komprehensif dan tuntas mengenai aturan Perda no 6 tahun 2009. Rujukannya Undang-undang (UU) 26 tahun 2007 tentang tata ruang nasional. Jika aturan tersebut tidak dilaksanakan, tentunya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Itu karena, ketika aturan tersebut secara tidak tegas dilaksanakan tentunya akan diketahui langsung oleh pemerintah pusat kenapa Perda tersebut tidak dijalankan. Akibatnya, pemimpin Bali dan jajarannya akan terkena getahnya lagi sekiranya itu yang menjadi titik berat Gubernur untuk mendalami perda RTRW.
Ibarat buah simalakama. Jika aturan tersebut diterapkan sesuai ketentuan banyak pihak menentang dan memunculkan perpecahan baru di kalangan masyarakat. Parahnya lagi menimbulkan disharmoni pemerintah kabupaten dan provinsi.
Namun, sekiranya hal tersebut dilanggar, sanksi bertubi-tubi akan menjarat para jajaran pemerintah di Bali. Intinya maju kena, mundur pun kena.
Namun, itulah pilihan. Aturan yang dirujuk pasti memuat niali-nilai plus minusnya.
Ketika aturan tersebut dirangkum, tentu telah terdapat beragam sisi positifnya untuk keberlangsungan sebuah wilayah. Karena, pada dasarnya aturan RTWP lebih mengikat tata ruang Bali agar terjaga dan lebih baik di kemudian hari, dan berjangka panjang dibandingkan hanya untuk memanfaatkan keuntungan sesaat.
Begitu pun dengan generasi penerus selanjutnya. Mereka ingin mendambakan warisan yang adiluhung bukan kehancuran. Maka pilihan bijak, ada pada tangan pemimpin daerah saat ini. Pilih aturan yang ada ataukah mengiyakan revisi demi meraup keuntungan di balik gemerlap pariwisata?