Teks Gayatri Mantra, Foto Anton Muhajir
Pantai Padang Galak Denpasar digayut mendung kelabu. Gelombang pasang dan hujan mengguyur deras dan ombak begitu ganas menjilati bibir pantai.
Hari kelabu dan mendung tengah menyelimuti perasaan satu keluarga. Anak remaja mereka hilang terseret kejamnya arus pantai. Ini adalah musibah kemanusiaan kesekian kali. Musibah kemanusiaan lain juga diabadikan di kawasan ini melalui monumen peringatan jatuhnya pesawat PANAM. Kecelakaan udara yang ini menewaskan 107 orang ini terjadi di dekat Gunung Patas di Gerokgak, Kabupaten Buleleng 29 April 1974.
Pantai berpasir hitam ini memang menyimpan seribu misteri tentang orang-orang yang hilang dan rumah para mahluk halus. Konon, pelaku mistik mengakuinya sebagai zona hitam untuk adu nyali dan kesaktian. Bagi yang belajar ilmu leak konon bisa juga menarikan kehebatannya di tempat ini menjadi penari bola api, endih.
Pada tahun 1997, Padang Galak juga menjadi saksi pertarungan dahsyat ideologi antara kapitalis dengan masyarakat adat se-Denpasar Timur. Kapitalis berkongsi dengan pemerintah pada masa Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Adapun masyarakat adat didukung tokoh Puri Kesiman, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana yang waktu itu menjabat menjadi anggota DPRD Kodya Denpasar.
Pemasangan karang dan reklamasi pantai hitam oleh PT. Graha Sanur Dinamika menyulut gerakan sosial spiritual untuk menyelamatkan Padang Galak sebagai zona kawasan suci. Perjuangan sengit rakyat melawan penguasa dan pengusaha, untungnya menghasilkan kemenangan. Padang Galak dikembalikan fungsinya sebagai area publik. Pantai ini sampai hari ini bisa digunakan untuk sebagai situs untuk Melasti, upacara ruwatan berbagai desa.
Dunia Hitam
Padang Galak juga menyimpan sisi lain dunia hitam kehidupan umat manusia, sebagai kompleks pelacuran Padang Galak, atau dikenal dengan sebutan ‘kompleks’. Begitu terkenalnya kawasan ini dengan kupu-kupu malam pada era 1980-1990an. Para lelaki hidung belang di Bali, jika menyebut “kompleks’ sudah dipastikan merujuk pada Padang Galak.
Bahkan image ini masih identik hingga di millennium ke-21 ini, meskipun walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Mantra mencoba memolesnya menjadi daerah wisata, Desa Budaya Kertalangu.
Bisa jadi, kebutuhan prostitusi di daerah ini tampaknya cukup tinggi, mengingat keberadaan mereka tidak begitu diusik oleh penguasa adat. Bahkan umat Hindu yang menjalani ritual keagamaan melasti dengan berjalan kaki melintasi jalur prostitusi itu dan menjadi tontonan para penghuni kompleks seperti terhibur dengan pemandangan itu.
Serombongan lelaki yang berpakaian adat keagamaan tertawa-tawa, saling ejek dengan lelaki lain tentang rumah-rumah pelacuran yang mungkin pernah mereka singgahi. Suasana menjadi riuh, dalam humor jenaka sehingga perjalanan ritual menuju bibir pantai menjadi terasa lebih cepat, dan rasa lelah menjadi sirna. Tak ada ketersinggungan bicara tentang Si Kupu-Kupu malam. Toh, mereka tidak mengusik ritual adat-keagamaan di hari terang.
Kini, di Padang Galak berdiri tegar jejeran tempat pemujaan mewah di tengah gemuruh ombak dan gelombang yang menjilat buas, mengikis pasir-pasir hitam. Tempat pemujaan yang paling utara adalah Pura Campuhan Windhu Segara.
Di sebelah kanannya berdiri megah sebuah tempat pemujaan milik perusahaan. Tempat persembahyangan ini cukup mewah dilengkapi dengan tempat persembahyangan berupa meru bertingkat. Di sebelah kanannya lagi, sebuah tempat pemujaan yang konon milik keluarga Brahmana dari Sanur. Pada sebuah dharma wacana di Pura Windu Segara, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana memberikan wejangan tentang “kerohanian”.
Pengelingsir Puri Kesiman yang akrab dipanggil Turah ini mengingatkan masyarakat yang sembahyang di area Padang Galak agar memilih arah pasti-pasti saja. Arah kiri adalah jalan menuju tempat suci menuju pura, untuk mendaki rohani dan meningkatkan spiritualitas. Sedangkan, arah kanan adalah jalan mendaki Si Rok Mini, jalur menuju kompleks pelacuran.
Diseret Ombak
Turah mengingatkan, agar umat tidak ragu-ragu atau memilih jalan lurus di Pantai Padang Galak, karena itu bisa berarti jalur kematian, diseret ombak yang ganas. Turah menyatakan, eksitensi pura hari ini tidak saja digerus oleh alam, tetapi juga telah terkikis oleh erosi dan abrasi moral. Pura kemudian dinistakan dengan menyandingkannya dengan tempat pelacuran dan kafe remang-remang, yang bila perlu didirikan tepat di sebelah pura. Kasus yang sama juga menimpa pura-pura besar lainnya, termasuk Parahyangan Dalem Sakenan.
Pasar telah menjamah sekaligus menjarah kehidupan spiritualitas umat Hindu-Bali. Pola-pola pembangunan semacam ini kini telah dikembangkan hingga ke pedesaan dan banjar-banjar dengan memindahkan dan mengembangkan kapitalisasi ke ranah yang lebih luas. Konsep modernisasi dan pembangunan menjadi sungsang. Masyarakat adat tak berdaya saat pura diserang pasar miras dan prostitusi.
Toh, pemerintah, penguasa dan preman sama-sama memberi angin. Masyarakat tak berdaya menghadapi politisi desa yang kini bergandengan tangan dengan preman kampung. Mereka menepuk dada sebagai penguasa baru “Putra Daerah”. Mereka tak berdaya dan kelak hanya bisa tertawa dalam humor satiris tentang kenyataan itu tanpa bisa merubah keadaan kembali seperti sediakala.
Pikiran dan energi hari masyarakat sudah dibekukan oleh hasrat umat tentang uang. Apa itu kesucian, Bhisama (fatwa) dari para pendeta dan ahli spiritual Bali kini menjadi tidak penting lagi. Konsep kesucian berada semakin jauh dalam angan-angan masyarakat Bali yang lapar.
Dalam kekinian pun, masyarakat tak lagi bisa memahami konsep lebih mendasar, yaitu memuliakan dirinya, keluarganya apalagi untuk memuliakan lingkungannya. Agaknya, kemuliaan menjadi ‘barang’ langka di tengah mentalitas perbudakan yang semakin bertumbuh dan disuburkan atas partisipasi pemerintah. Kemuliaan itu bukanlah untuk konsumsi orang Bali tetapi untuk para tamu yang singgah dan membuang hajatnya di tanah Bali.
Dengan tiket Rp 3.000, wisatawan bisa mengabadikan keberadaan mereka di tempat yang dulu pernah pernah sangat dikeramatkan oleh Umat Hindu. Bahkan, dengan harga yang sama, pengunjung Pura Tanah Lot disambut spesial oleh Bupati Tabanan, Eka Wirastuti yang menyambut wisatawan ke-2 juta dengan gambelan beleganjur dan membanjirinya dengan hadiah untuk menginap di hotel yang berdiri angkuh di depan pura. Sementara, operasional pura yang besar dan kerja spiritual dari para abdi penjaga agama dan budaya seperti terabaikan dan diredam hirup pikuk promosi pariwisata.
Para penjaga Bali yang tinggal di perbatasan di antara zona kawasan suci dan zona bisnis, mereka sendirian menghadapi desakan kapitalisme. Mereka dihadapkan pada persoalan kebutuhan dan tuntutan. Permintaan pasar atas kawasan strategis dan bernilai ekonomis semakin tinggi. Demikian juga, serangan ribuan pasar tradisional hingga hypermarket telah menjerat energi hidup masyarakat Bali hari ini dalam pola konsumtif yang luar biasa, demi kebutuhan dan prestise.
Keong Racun
Masyarakat tak berdaya menghadapi tuntutan pasar dan hasrat dari diri mereka. Pada akhirnya, mereka butuh daya uang untuk mengisi semua kekosongan itu. Masyarakat perbatasan dituntut memelihara dan menjaga kesucian kawasan suci tapi tak terlindungi dari jeratan pajak yang mengikis harta benda mereka. Tak bisa memilih, sebagian memilih untuk kalah. Bahkan, menyerahkan keyakinan mereka pada persoalan yang paling prinsipil, menyangkut keyakinan mereka terhadap agama dan bhisama di tangan sindikat investor dan broker tanah.
Sertifikasi kawasan suci secara gigih diperjuangkan untuk dijadikan untuk merubah kawasan suci menjadi kawasan industri. Turah mengatakan itu bukan salah mereka. Semua yang keramat di tanah Bali telah menjadi barang dagangan. Komodifikasi hal-hal sakral menjadi profan begitu laris manis, terjual tanpa sisa. Halaman pura kini berubah seakan-akan menjadi halaman milik hotel, kafe dan restoran. Kawasan suci termasuk pura, nasibnya berakhir sebagai objek dagangan para kapitalis yang dijual lebih murah dari harga sepiring steak mereka. Umat Hindu-Bali sudah tak berdaya begitu lama menghadapi kenyataan ini.
Umat Hindu-Bali kini menjalankan ritual keagamaan di tengah gempuran pasar dan pemodal, di antara kafe remang-remang dan pelacur. Umat Hindu-Bali tak berdaya menghadapi para wisatawan berbikini dan bercawat menonton ritual mereka sambil menegak miras di kafe-kafe pinggir pantai. Umat Hindu-Bali tak berdaya, segenap mantra, doa dan genta para pendeta mereka diredam oleh dentuman house music dangdut “Keong Racun” dari tetangganya.
Turah mengingatkan bahwa kenyataan ini sudah sedemikian parah, pembiaran ini telah berlangsung begitu lama dan sesungguhnya inilah wajah kehancuran Bali. Industri pariwisata telah menjadikan apapun layak untuk dijual murah-murah, termasuk harga diri dan kehormatan. Ini menegaskan pertanyaan reflektif: “Mau dibawa kemana tujuan hidup umat Hindu-Bali?”. Apakah hendak menuju (ekstasi) pendakian rohani atau pendakian Si Rok Mini? [b]
*Tulisan ini merupakan pengembangan pokok pikiran pangeran dari Puri Kesiman Denpasar Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana.
judulnya, seksi banget
kereenn…
yups betul2 sesuai dengan kenyataan??haruskah kita sebagai generasi muda hanya berpangku tangan memandangi semua ini?apa yg mestinya kita lakukan???