• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
Tuesday, November 28, 2023
  • Login
  • Register
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong.id
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Pendakian Rohani atau Pendakian Rok Mini?

Gayatri Mantra by Gayatri Mantra
18 February 2011
in Kabar Baru, Opini, Sosial
0 0
3

Teks Gayatri Mantra, Foto Anton Muhajir

Pantai Padang Galak Denpasar digayut mendung kelabu. Gelombang pasang dan hujan mengguyur deras dan ombak begitu ganas menjilati bibir pantai.

Hari kelabu dan mendung tengah menyelimuti perasaan satu keluarga. Anak remaja mereka hilang terseret kejamnya arus pantai. Ini adalah musibah kemanusiaan kesekian kali. Musibah kemanusiaan lain juga diabadikan di kawasan ini melalui monumen peringatan jatuhnya pesawat PANAM. Kecelakaan udara yang ini menewaskan 107 orang ini terjadi di dekat Gunung Patas di Gerokgak, Kabupaten Buleleng 29 April 1974.

Pantai berpasir hitam ini memang menyimpan seribu misteri tentang orang-orang yang hilang dan rumah para mahluk halus. Konon, pelaku mistik mengakuinya sebagai zona hitam untuk adu nyali dan kesaktian. Bagi yang belajar ilmu leak konon bisa juga menarikan kehebatannya di tempat ini menjadi penari bola api, endih.

Pada tahun 1997, Padang Galak juga menjadi saksi pertarungan dahsyat ideologi antara kapitalis dengan masyarakat adat se-Denpasar Timur. Kapitalis berkongsi dengan pemerintah pada masa Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Adapun masyarakat adat didukung tokoh Puri Kesiman, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana yang waktu itu menjabat menjadi anggota DPRD Kodya Denpasar.

Pemasangan karang dan reklamasi pantai hitam oleh PT. Graha Sanur Dinamika menyulut gerakan sosial spiritual untuk menyelamatkan Padang Galak sebagai zona kawasan suci. Perjuangan sengit rakyat melawan penguasa dan pengusaha, untungnya menghasilkan kemenangan. Padang Galak dikembalikan fungsinya sebagai area publik. Pantai ini sampai hari ini bisa digunakan untuk sebagai situs untuk Melasti, upacara ruwatan berbagai desa.

Dunia Hitam

Padang Galak juga menyimpan sisi lain dunia hitam kehidupan umat manusia, sebagai kompleks pelacuran Padang Galak, atau dikenal dengan sebutan ‘kompleks’. Begitu terkenalnya kawasan ini dengan kupu-kupu malam pada era 1980-1990an. Para lelaki hidung belang di Bali, jika menyebut “kompleks’ sudah dipastikan merujuk pada Padang Galak.

Bahkan image ini masih identik hingga di millennium ke-21 ini, meskipun walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Mantra mencoba memolesnya menjadi daerah wisata, Desa Budaya Kertalangu.

Bisa jadi, kebutuhan prostitusi di daerah ini tampaknya cukup tinggi, mengingat keberadaan mereka tidak begitu diusik oleh penguasa adat. Bahkan umat Hindu yang menjalani ritual keagamaan melasti dengan berjalan kaki melintasi jalur prostitusi itu dan menjadi tontonan para penghuni kompleks seperti terhibur dengan pemandangan itu.

Serombongan lelaki yang berpakaian adat keagamaan tertawa-tawa, saling ejek dengan lelaki lain tentang rumah-rumah pelacuran yang mungkin pernah mereka singgahi. Suasana menjadi riuh, dalam humor jenaka sehingga perjalanan ritual menuju bibir pantai menjadi terasa lebih cepat, dan rasa lelah menjadi sirna. Tak ada ketersinggungan bicara tentang Si Kupu-Kupu malam. Toh, mereka tidak mengusik ritual adat-keagamaan di hari terang.

Kini, di Padang Galak berdiri tegar jejeran tempat pemujaan mewah di tengah gemuruh ombak dan gelombang yang menjilat buas, mengikis pasir-pasir hitam. Tempat pemujaan yang paling utara adalah Pura Campuhan Windhu Segara.

Di sebelah kanannya berdiri megah sebuah tempat pemujaan milik perusahaan. Tempat persembahyangan ini cukup mewah dilengkapi dengan tempat persembahyangan berupa meru bertingkat. Di sebelah kanannya lagi, sebuah tempat pemujaan yang konon milik keluarga Brahmana dari Sanur. Pada sebuah dharma wacana di Pura Windu Segara, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana memberikan wejangan tentang “kerohanian”.

Pengelingsir Puri Kesiman yang akrab dipanggil Turah ini mengingatkan masyarakat yang sembahyang di area Padang Galak agar memilih arah pasti-pasti saja. Arah kiri adalah jalan menuju tempat suci menuju pura, untuk mendaki rohani dan meningkatkan spiritualitas. Sedangkan, arah kanan adalah jalan mendaki Si Rok Mini, jalur menuju kompleks pelacuran.

Diseret Ombak

Turah mengingatkan, agar umat tidak ragu-ragu atau memilih jalan lurus di Pantai Padang Galak, karena itu bisa berarti jalur kematian, diseret ombak yang ganas. Turah menyatakan, eksitensi pura hari ini tidak saja digerus oleh alam, tetapi juga telah terkikis oleh erosi dan abrasi moral. Pura kemudian dinistakan dengan menyandingkannya dengan tempat pelacuran dan kafe remang-remang, yang bila perlu didirikan tepat di sebelah pura. Kasus yang sama juga menimpa pura-pura besar lainnya, termasuk Parahyangan Dalem Sakenan.

Pasar telah menjamah sekaligus menjarah kehidupan spiritualitas umat Hindu-Bali. Pola-pola pembangunan semacam ini kini telah dikembangkan hingga ke pedesaan dan banjar-banjar dengan memindahkan dan mengembangkan kapitalisasi ke ranah yang lebih luas. Konsep modernisasi dan pembangunan menjadi sungsang. Masyarakat adat tak berdaya saat pura diserang pasar miras dan prostitusi.

Toh, pemerintah, penguasa dan preman sama-sama memberi angin. Masyarakat tak berdaya menghadapi politisi desa yang kini bergandengan tangan dengan preman kampung. Mereka menepuk dada sebagai penguasa baru “Putra Daerah”. Mereka tak berdaya dan kelak hanya bisa tertawa dalam humor satiris tentang kenyataan itu tanpa bisa merubah keadaan kembali seperti sediakala.

Pikiran dan energi hari masyarakat sudah dibekukan oleh hasrat umat tentang uang. Apa itu kesucian, Bhisama (fatwa) dari para pendeta dan ahli spiritual Bali kini menjadi tidak penting lagi. Konsep kesucian berada semakin jauh dalam angan-angan masyarakat Bali yang lapar.

Dalam kekinian pun, masyarakat tak lagi bisa memahami konsep lebih mendasar, yaitu memuliakan dirinya, keluarganya apalagi untuk memuliakan lingkungannya. Agaknya, kemuliaan menjadi ‘barang’ langka di tengah mentalitas perbudakan yang semakin bertumbuh dan disuburkan atas partisipasi pemerintah. Kemuliaan itu bukanlah untuk konsumsi orang Bali tetapi untuk para tamu yang singgah dan membuang hajatnya di tanah Bali.

Dengan tiket Rp 3.000, wisatawan bisa mengabadikan keberadaan mereka di tempat yang dulu pernah pernah sangat dikeramatkan oleh Umat Hindu. Bahkan, dengan harga yang sama, pengunjung Pura Tanah Lot disambut spesial oleh Bupati Tabanan, Eka Wirastuti yang menyambut wisatawan ke-2 juta dengan gambelan beleganjur dan membanjirinya dengan hadiah untuk menginap di hotel yang berdiri angkuh di depan pura. Sementara, operasional pura yang besar dan kerja spiritual dari para abdi penjaga agama dan budaya seperti terabaikan dan diredam hirup pikuk promosi pariwisata.

Para penjaga Bali yang tinggal di perbatasan di antara zona kawasan suci dan zona bisnis, mereka sendirian menghadapi desakan kapitalisme. Mereka dihadapkan pada persoalan kebutuhan dan tuntutan. Permintaan pasar atas kawasan strategis dan bernilai ekonomis semakin tinggi. Demikian juga, serangan ribuan pasar tradisional hingga hypermarket telah menjerat energi hidup masyarakat Bali hari ini dalam pola konsumtif yang luar biasa, demi kebutuhan dan prestise.

Keong Racun

Masyarakat tak berdaya menghadapi tuntutan pasar dan hasrat dari diri mereka. Pada akhirnya, mereka butuh daya uang untuk mengisi semua kekosongan itu. Masyarakat perbatasan dituntut memelihara dan menjaga kesucian kawasan suci tapi tak terlindungi dari jeratan pajak yang mengikis harta benda mereka. Tak bisa memilih, sebagian memilih untuk kalah. Bahkan, menyerahkan keyakinan mereka pada persoalan yang paling prinsipil, menyangkut keyakinan mereka terhadap agama dan bhisama di tangan sindikat investor dan broker tanah.

Sertifikasi kawasan suci secara gigih diperjuangkan untuk dijadikan untuk merubah kawasan suci menjadi kawasan industri. Turah mengatakan itu bukan salah mereka. Semua yang keramat di tanah Bali telah menjadi barang dagangan. Komodifikasi hal-hal sakral menjadi profan begitu laris manis, terjual tanpa sisa. Halaman pura kini berubah seakan-akan menjadi halaman milik hotel, kafe dan restoran. Kawasan suci termasuk pura, nasibnya berakhir sebagai objek dagangan para kapitalis yang dijual lebih murah dari harga sepiring steak mereka. Umat Hindu-Bali sudah tak berdaya begitu lama menghadapi kenyataan ini.

Umat Hindu-Bali kini menjalankan ritual keagamaan di tengah gempuran pasar dan pemodal, di antara kafe remang-remang dan pelacur. Umat Hindu-Bali tak berdaya menghadapi para wisatawan berbikini dan bercawat menonton ritual mereka sambil menegak miras di kafe-kafe pinggir pantai. Umat Hindu-Bali tak berdaya, segenap mantra, doa dan genta para pendeta mereka diredam oleh dentuman house music dangdut “Keong Racun” dari tetangganya.

Turah mengingatkan bahwa kenyataan ini sudah sedemikian parah, pembiaran ini telah berlangsung begitu lama dan sesungguhnya inilah wajah kehancuran Bali. Industri pariwisata telah menjadikan apapun layak untuk dijual murah-murah, termasuk harga diri dan kehormatan. Ini menegaskan pertanyaan reflektif: “Mau dibawa kemana tujuan hidup umat Hindu-Bali?”. Apakah hendak menuju (ekstasi) pendakian rohani atau pendakian Si Rok Mini? [b]

*Tulisan ini merupakan pengembangan pokok pikiran pangeran dari Puri Kesiman Denpasar Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana.

Tags: BaliBudayaDenpasarOpiniSosial
ShareTweetSendSend
Anugerah Jurnalisme Warga 2021
Gayatri Mantra

Gayatri Mantra

Dayu Gayatri, mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Udayana. Selain itu, Gayatri juga penulis cerpen dan pekerja sosial (sukarelawan) untuk penyandang cacat, lansia dan perempuan dan anak-anak. Pekerja sosial ini pernah mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat dasar di Universitas Udayana 16 tahun lalu. Pada tahun 1998, dia mengikuti pelatihan Pengembangan Informasi, Edukasi dan Komunikasi (IEC) di Melbourne Australia. Kini dia aktif menulis untuk terus memperbaharui pengetahuan saya tentang ilmu jurnalistik. "Saya berkeyakinan bahwa ilmu jurnalistik yang akan saya pelajari dapat saya distribusikan dengan kelompok-kelompok yang saya dampingi, seperti kawan-kawan penyandang cacat dan beberapa tahanan di lapas Kerobokan," katanya. Mau tahu cerita-ceritanya, bisa klik http://dayugayatri.wordpress.com/

Related Posts

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

23 October 2023
TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

19 October 2023
Mengunjungi Hidden Gem Ruang Terbuka Hijau Privat di Denpasar

Mengunjungi Hidden Gem Ruang Terbuka Hijau Privat di Denpasar

8 October 2023
(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

(Esai foto) Menikmati GWK dari Luar

24 September 2023
Klub Menulis Musik bersama Made Adnyana: Sisi Lain Dunia Musik

Klub Menulis Musik bersama Made Adnyana: Sisi Lain Dunia Musik

13 September 2023
Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

4 September 2023
Next Post
Mai Melali ke Taman Ayun Mengwi

Mai Melali ke Taman Ayun Mengwi

Comments 3

  1. agus widiantara says:
    13 years ago

    judulnya, seksi banget

    Reply
  2. Dayu Sam Uya says:
    13 years ago

    kereenn…

    Reply
  3. mandala07 says:
    13 years ago

    yups betul2 sesuai dengan kenyataan??haruskah kita sebagai generasi muda hanya berpangku tangan memandangi semua ini?apa yg mestinya kita lakukan???

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Melali Melali Melali

Temukan Kami

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Menyelami Magic di Pulau Dewata

Calon Arang dan Hal-hal Mistis yang Belum Diungkap [1]

1
Calon Arang dan Hal-hal Mistis yang Belum Diungkap [2]

Calon Arang dan Hal-hal Mistis yang Belum Diungkap [2]

3
Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

27 November 2023
Begini Lho Cara Menjelajah Nusa Penida dengan Cara Berbeda

Sekolah Perempuan oleh Bali Sruti

26 November 2023
Difabel, Pandemi, dan Perjuangan Inklusi

Kampanye Hak Alat Bantu Disabilitas

25 November 2023
Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

24 November 2023
Museum Giri Amertha dan Sang Hyang Dedari

Museum Giri Amertha dan Sang Hyang Dedari

23 November 2023

Kabar Terbaru

Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

27 November 2023
Begini Lho Cara Menjelajah Nusa Penida dengan Cara Berbeda

Sekolah Perempuan oleh Bali Sruti

26 November 2023
Difabel, Pandemi, dan Perjuangan Inklusi

Kampanye Hak Alat Bantu Disabilitas

25 November 2023
Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

24 November 2023
BaleBengong.id

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In