Bali – Tepat 40 tahun lalu, Gubernur Bali Prof Ida Bagus Mantra menerbitkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali No.972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Pada masa itu, LPD diharapkan dapat menunjang kelancaran perekonomian di daerah pedesaan, terutama dalam pemberian bantuan permodalan berupa kredit untuk para petani dan pengusaha kecil.
Selanjutnya, LPD diakui sebagai lembaga keuangan milik Desa Pakraman, yakni kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya. Pada laman resmi Badan Kerjasama LPD, diumumkan bahwa hingga Desember 2022, dari 1.485 Desa Pakraman, sebanyak 1.437 telah memiliki LPD. Total asset LPD di Bali mencapai Rp 25 triliun.
Namun pesatnya perkembangan lembaga ini dan dengan semakin banyaknya dana yang dikelola, berpotensi jadi celah korupsi. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), selama penyidikan tahun 2021-2023, kasus korupsi terbesar dilakukan oleh Ketua LPD Desa Adat Anturan, yakni Rp 151 miliar.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, I Nyoman Sukandia, ketika ditemui di Jimbaran, Kabupaten Badung, pada April 2024, mengungkapkan saat ini memang banyak pengurus LPD yang terseret kasus korupsi. Oknum tersebut meminjam keuangan LPD, namun menggunakan nama orang lain alias fiktif.
Persoalan kian mencuat pada saat COVID-19, ketika dana LPD yang terserap, sulit kembali. Ia menilai penggelapan dana LPD bisa terjadi karena lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap nasabah. Karenanya, ke depan LPD harus memiliki badan hukum sosial religius, tapi bukan badan hukum dalam konteks kapital seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Saat awal berdiri tahun 1986, semua desa adat di Bali diberi stimulus dan pemerintah menyumbang modal dasar menggunakan APBD. Jadi dari awig-awig, turunkan dalam bentuk pararem. Pararem itu kemudian diajukan ke Pemprov Bali. Dari situ muncul surat keputusan. Biasanya memakai tempat di bale banjar, mengambil dana masyarakat sedikit-sedikit untuk disimpan, lalu dipinjamkan kembali. Kemudian dengan adanya Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Daerah (Perda) tahun 2017, LPD diizinkan melayani masyarakat dari desa pakraman lain, tidak lagi bersifat sektoral,” jelasnya.
Keuntungan LPD biasanya digunakan untuk membenahi pura, membangun banjar, memperbaiki fasilitas-fasilitas ruang budaya, termasuk menyekolahkan anak-anak yang tidak mampu. Sukandia menyebutkan LPD Desa Adat Kedonganan bahkan mengadakan ngaben dan pernikahan massal dengan menggunakan laba LPD. Pada prinsipnya, keuntungan LPD dikembalikan kepada masyarakat. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang LPD disebutkan bahwa 20 persen keuntungan bersih LPD pada akhir tahun pembukuan digunakan untuk dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
“Sekarang LPD membutuhkan tenaga-tenaga profesional dan tidak bisa melupakan norma-norma pengelolaan uang. Dulu LPD hanya melayani masyarakatnya sendiri, gampang kontrolnya. Artinya, setiap ada pesangkepan, ada pertemuan, diumumkan siapa yang macet pembayarannya. Karena solidaritas masyarakat adat itu tinggi, pelanggaran kecil dan cenderung bisa diatasi,” ungkapnya.
Menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di dalam LPD, Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, menegaskan marwah LPD harus segera dikembalikan ke Desa Adat. Menurutnya dengan adanya Perda dan Pergub tahun 2017, keberadaan MDA seakan mandul.
Peran MDA (dulu MUDP) pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang LPD, hanya disebutkan satu kali yakni Gubernur dan Bupati/Walikota bersama MUDP dan PHDI melakukan pembinaan umum.
Sementara pada Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2012, disebutkan segala keputusan terkait LPD harus mendapat rekomendasi dan pertimbangan dari MDA. Termasuk di dalamnya dijelaskan setiap pembuatan Peraturan Gubernur terkait dengan LPD, MUDP dilibatkan mulai sejak penyusunan draft sampai selesainya Peraturan Gubernur.
“Semenjak itu dan sampai sekarang, Majelis Desa Adat mandul sebenarnya. Tidak punya kewenangan yang konkret. Jadi akar masalahnya, Prajuru Desa Adat, Bendesa Adat, dan krama-krama itu tidak paham dengan kedudukannya di LPD. Bendesa mempunyai kewenangan penuh untuk mengawasi, ikut membina, mengaudit dengan bantuan orang profesional. Karena lama (menjabat), tidak ada yang mengawasi, pengurus merasa LPD miliknya sendiri. Power tends to corrupt,” tegas Sukahet saat ditemui di Puri Denbencingah, Akah, Kabupaten Klungkung, Rabu (15/5/2024).
Lanjutnya, “Pemahaman ini tidak ada ya karena tidak ada yang membina secara jelas. Pemerintah saru gremeng (tidak jelas). LP-LPD saru gremeng. BKS LPD juga saru gremeng. Kewenangan MDA diambil Gubernur. MDA ditinggalkan. Karena apa? Ya Perda dan Peraturan Gubernur itu. Makanya dikembalikan LPD ke marwah. Kalau peran MDA konkret membina sesuai dengan marwah, kita yang manggil Bendesa Adat dan pengurus-pengurus LPD.”
Pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Bab 13 Pasal 39 Ayat (3) disebutkan Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari dan lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-undang ini. Sukahet turut terlibat aktif ke Jakarta dalam memberi masukan dan pertimbangan sehingga LPD dikecualikan dari UU Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Petajuh Bendesa Agung MDA yang juga mantan Ketua LPD Kedonganan, I Ketut Madra (61) menyampaikan MDA Bali pernah melakukan Paruman Agung dengan menetapkan agar di LPD Bali memiliki aturan Bali Mawacara.
“Namanya Pararem LPD Bali, seharusnya ditindak lanjuti oleh Bendesa-bendesa se-Bali untuk membuat pararem di masing-masing desa adatnya. Menggunakan referensi itu, kami di Desa Adat Kedonganan tahun 2016 rapat Desa Adat untuk membuat pararem itu. Fungsinya jelas. Siapa yang bertanggung jawab kepada LPD? Ya murni desa adat. Murni karena kan dananya dibuat dari dan oleh desa adat,” jelasnya. (*/tim rahayu)
Bagian 1 artikel https://balebengong.id/skandal-korupsi-lpd-di-bali-akal-bulus-dan-kekuasaan-mainkan-data-bagian-1/
Bagian 2 artikel https://balebengong.id/puluhan-tahun-menabung-di-lpd-malah-sisa-nelangsa-di-masa-tua-bagian-2/
Tim penulis:
I Komang Doni Kurniawan, Osila, Nabillah Hidayat, Ni Komang Yuko Utami, Ni Ketut Sudiani
*Liputan ini terselenggara oleh Klub Jurnalis Investigasi (KJI) yang merupakan kerja kolaboratif untuk melakukan liputan investigasi isu korupsi antara Indonesia Corruption Watch (ICW), balebengong.id, jurnalis, dan CSO.