Ada banyak jalan untuk berpartisipasi menciptakan transparansi. Begitu pula dengan kemudahan akses informasi yang dikumpulkan secara daring. Mengulik data secara online, memang memberikan hasil-hasil kejutan terkait aktor korupsi di Bali.
Selama empat bulan, komunitas alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali mengulik rekam jejak penindakan kasus korupsi di Bali secara daring, kemudian hasilnya dilaporkan ke publik melalui konferensi pers pada 9 Desember 2021 di Denpasar. Informasi terkait penindakan kasus korupsi dari kanal online pemerintah dan pemberitaan di media massa. Alhasil, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), lembaga keuangan yang dikelola desa adat adalah aktor terbanyak. Diikuti Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Susunan pemerintahan di Bali memang berbeda dengan daerah yang lainnya. Sayangnya, justru ruang-ruang yang dianggap unik ini menjadi ruang gelap yang dimanfaatkan untuk tindakan korupsi.
LPD yang dikelola desa-desa adat di Bali mengelola uang masyarakat yang terdata secara adat. Seperti bank dalam desa adat. Begitu peran LPD di Bali. Namun, selama periode 2016-2020, Alumni Sakti Bali memantau, tiga aktor terbanyak adalah pengurus LPD, ASN, kemudian pengurus desa.
Pengurus LPD |
19 |
Dirut dan karyawan BUMN |
2 |
|
ASN PNS |
17 |
Bupati |
2 |
|
Aparatur Desa |
10 |
Karyawan Bank |
1 |
|
Pejabat Pengadaan (PPK, PPTK, dsb) |
8 |
Pejabat Sekolah Pendidikan Tinggi / Universitas |
1 |
|
Kepala Desa/Perbekel |
8 |
Kelian Pura Dalem |
1 |
|
Swasta |
8 |
Rektor / Ketua Sekolah Tinggi |
1 |
|
Ketua/anggota organisasi/kelompok |
7 |
Kepala Sekolah |
1 |
|
Bendesa Adat /Kepala Desa Adat |
3 |
Dirut dan karyawan BUMD |
1 |
|
Konsultan |
2 |
Masyarakat |
1 |
|
Anggota Keluarga dari Anggota DPRD |
2 |
Kepala Lembaga/Badan Negara |
1 |
|
Ketua/Anggota DPRD Kab-Kota |
2 |
Dari sekian aktor yang sudah ditindak, justru muncul aktor baru dari desa adat, yaitu bendesa adat/kepala desa adat dan kelian pura dalem. Dari 50 kasus yang dipantau, 98 orang menjadi tersangka. Jumlah nilai kerugian kasus korupsi yang melingkupi nilai kerugian negara, nilai suap/gratifikasi, dan nilai pungutan liar sebesar Rp 63.649.245.848,78.
Berdasarkan kabupaten, Badung dan Buleleng menjadi daerah terbanyak penindakan kasus korupsi. Sepanjang 5 tahun, ada 10 kasus korupsi yang sudah ditindak di Kabupaten Badung. Ada sebanyak 8 kasus korupsi yang ditindak di Buleleng.
“Angka ini bukan berarti kabupaten bersangkutan tidak baik, tapi tingginya kasus yang sudah mendapatkan penindakan ini artinya partisipasi masyarakat terhadap kasus korupsi sudah tinggi,” kata Teja Wijaya, koordinator analisis tren penindakan kasus korupsi di Bali.
Top 8 besar korupsi paling banyak terjadi adalah Korupsi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebesar 11 kasus dan Korupsi Anggaran Desa sebesar 8 kasus. Dengan beragam modus. Pertama, modus paling sering digunakan oleh pelaku korupsi adalah penggelapan.
Modus lainnya yang sering digunakan adalah laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, dan mark-up. Jenis modus baru yang ditemukan Sakti Bali yaitu korupsi dengan metode kasbon (layanan yang diberikan perusahaan/lembaga kepada karyawan yang sifatnya pinjaman/piutang), modus korupsi dengan cara kasbon itu terjadi di korupsi LPD.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tindak Pidana Korupsi), terdapat tujuh jenis korupsi yakni kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Pada penindakan kasus korupsi di Bali, institusi penegak hukum selalu menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam UU Tipikor yakni jenis korupsi kerugian keuangan negara dalam mengenakan pidana terhadap pelaku korupsi.
Penindakan kasus korupsi sektor Anggaran Desa dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) meningkat tahun 2018-2020. Jumlah nilai kerugian negara di kedua sektor ini sangat besar, pada tahun 2018 mencapai 19,8 milliar rupiah. Pada tahun yang sama, ada penyidikan kasus korupsi LPD Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, mempunyai nilai kerugian negara sebesar 15,3 milliar rupiah dan kasus korupsi anggaran Desa Baha, Kecamatan Mengwi mempunyai nilai kerugian negara sebesar Rp 1 miliar rupiah. Pada korupsi anggaran desa terbesar itu terjadi pada penyidikan tahun 2016, ada kasus korupsi anggaran desa Mengwitani yang mempunyai nilai kerugian negara sebesar Rp 1,2 milliar rupiah.
Per tahun 2018-2020 setengah total kasus korupsi di Bali diisi oleh korupsi kedua sektor tersebut. Sakti Bali mulai memfokuskan dua sektor ini karena berkaitan dengan program upaya pengawasan keuangan sektor desa.
Jenis dana yang paling sering dikorupsi adalah Dana LPD. Jenis dana yang sering dikorupsi adalah dana anggaran desa, dana APBD kabupaten, dana hibah, dan dana bantuan sosial. Terdapat jenis dana korupsi yang baru yaitu dana pajak, dana orang tua mahasiswa, dan dana nasabah bank.
Penindakan kasus korupsi berdasarkan aparat penegak hukum yang menyidik kasus korupsi tahun 2016-2020 paling banyak dilakukan oleh kejaksaan negeri kabupaten/kota sebesar 44%, diikuti oleh polisi resor kabupaten sebesar 32%, polisi daerah sebesar 16%, kejaksaan tinggi sebesar 6%, dan polisi resor kota sebesar 2%.
Nyoman Mardika dari Aliansi Rakyat Antikorupsi yang menanggapi temuan ini mengatakan bisa saja kondisi penyimpangan dugaan korupsi di desa lebih besar dari penindakan yang dirangkum oleh Sakti Bali. Pungutan yang dilakukan oknum perbekel karena tidak tahu penggunaana anggaran, atau sengaja korupsi. “Yang sering terjadi awalnya pelanggaran administratif, tapi ketika diselidiki lebih lanjut banyak ditemukan adanya tindak korupsi,” kata Mardika.
Minimnya pemahaman regulasi tentang penggunaan dana di desa ini menjadi sumber tindakan korupsi. Namun, tak dipungkiri pula memang ada oknum yang sengaja melakukan penyelewengan ini demi kepentingan pribadinya. Ada juga yang sengaja membuat aturan secara pribadi/internal, tapi tidak merujuk pada peraturan menteri. Karena mereka ingin mendapatkan PAD, penghasilan tambahan. “Karena PAD bisa digunakan sebagai insentif perangkat desa tanpa harus membuat pertanggungjawaban,” katanya.
Padahal untuk penghasilan tambahan di desa, Mardika menjelaskan bisa memberdayakan BUMDes. Sedangkan pembangunan infrastruktur ada dana desa dan provinsi. Istimewanya dana desa ini bisa diperiksa semua penegak hukum. Di antaranya oleh BPK, Kepolisian dan KPK bisa ikut memeriksa.
Akses Informasi Tertutup
Namun, sedihnya, jarang masyarakat yang mengetahui atau bisa mengakses APBDes, tidak terlibatnya masyarakat dalam proses perencanaan program desa. “Ketika ini tidak bisa diakses, di sana ada potensi pelanggaran,” ujar Mardika.
APBDes harus bisa diakses semua publik. Minimal melalui publikasi di website. I Nengah Yasa Adi, pengamat LPD mengingatkan pertangggungjawaban penggunaan dana LPD sudah diatur dalam Perda No. 3 tahun 2017 dan Pergub No. 44 tahun 2017. Ada Panureksa, tim pemeriksa LPD secara internal (minimal 2 orang) yang setiap tahun wajib melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, diudit juga oleh LPLPD, Lembaga auditor. Lembaga ini bergerak ketika mulai muncul masalah.
“Misalnya, tidak ada laporan secara berkala yang dilakukan oleh pengelola LPD,” kata Yasa Adi.
Namun, kenapa masih saja ada masalah ketika susunan koordinasi sudah diatur sedemikian rupa? Menurut Yasa Adi, akar masalah terletak pada pemegang kewenangan seperti tim Panureksa dan LPLPD tidak menjalankan fungsinya.
Padahal, ada kondisi unik di desa adat di Bali. LPD memiliki payung hukum adat. Warga desa adat yang melanggar, sanksinya bukan penyitaan barang atau jaminan. Tapi ke hak adat, misalnya tidak diberikan hak melakukan upacara. Masyarakat adat bali sangat menakuti sanksi ini. Namun, sayangnya pelaku-pelakunya justru pemegang kekuasaan di lapisan LPD itu.
Tata kelola LPD yang diatur melalui Pergub dan Perda itu bahwa masyarakat desa bisa meminjam di LPD 20% dari aset yang dimiliki. Namun, yang lebih banyak terjadi justru adanya kolusi antara peminjam dan perangkat LPD yang jelas bisa membuat kolaps. Banyak juga masalah adat yang diselesaikan secara adat tidak dibawa ke ranah hukum.
Teja Wijaya menjawab, tingginya korupsi di LPD karena tidak adanya partisipasi masyarakat. “Yang paling miris, adanya ancaman penyingkiran/tekanan ke masyarakat yang kritis,” ungkap mahasiswa semester akhir di Universitas Udayana, alumni Sakti Bali. Program ini difasilitasi Indonesia Corruption Watch (ICW).
Selain riset data tren korupsi, Sakti Bali yang diawaki anak-anak muda ini juga melakukan Safari Antikorupsi ke tiga desa di tiga kabupaten awal Desember ini. Sebagai bagian mengenalkan praktik transparansi dan mengajak warga terlibat mengawasi.