
Ketiadaan bahasa lokal akan memperparah kesenjangan arus informasi di internet.
Pekan lalu, saya menghadiri Internet Governance Forum (IGF) 2021 di Katowice, Polandia. Forum yang sama pernah digelar di Bali pada 2013 lalu. Salah satu hal yang membuat terkesima dalam forum itu adalah presentasi dari Alana Manchineri, seorang aktivis perempuan yang tinggal di pendalaman Amazon, Brasil.
Dengan koneksi internet yang tersendat-sendat dan sempat putus, Alana menerangkan masalah kesenjangan dan akses terhadap internet bukan semata-mata datang dari persoalan infrastruktur. Salah satu persoalan utama, menurut Alana yang aktif mempromosikan hak-hak masyarakat adat di kawasan Amazon, adalah bahasa.
Alasan Alana cukup masuk akal. Bahasa yang dipakai di internet pada saat ini hanya secuil dari keseluruhan jumlah bahasa di dunia yang diperkirakan mencapai 8.000 bahasa. Bahasa yang mendominasi adalah bahasa Inggris. Berdasarkan data internetworldstats, penetrasi bahasa Inggris terhadap jumlah populasi dunia mencapai 77,5%. Sementara porsi orang yang menggunakan internet dengan bahasa Inggris jauh lebih kecil yakni hanya sebesar 25,9% dari populasi dunia.
Artinya, bahasa Inggris mendominasi dunia maya. Padahal, masih banyak orang di dunia ini yang tidak menggunakan bahasa Inggris.
Kurangnya keanekaragaman bahasa yang dipergunakan dalam internet tentu saja berimbas bagi sebagian orang terutama bagi komunitas lokal atau masyarakat adat. Dengan memakai bahasa berbeda, penggunaan dan pemahaman masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap kemajuan teknologi ini bisa menjadi tidak optimal. Ini bisa berdampak serius.
Kesenjangan akses internet akan semakin besar antara orang yang bahasanya telah digunakan dalam internet dengan warga lokal atau masyarakat adat. Sulit rasanya menggunakan internet kalau bahasa yang dipergunakan dalam dunia maya hanya diwakili oleh sekitar 130 bahasa. Padahal, di dunia ini banyak sekali keanekaragaman bahasa.
Ketiadaan bahasa lokal juga memperparah kesenjangan arus informasi. Kesenjangan ini semakin lebar di saat pandemi COVID-19 di mana kebutuhan terhadap internet semakin besar. Orang-orang akan memperoleh dengan informasi dengan mudah bagi yang bisa memahami bahasa-bahasa yang dipergunakan di dunia maya. Hal ini berbeda bagi komunitas lokal atau masyarakat adat yang kesulitan memahami bahasa-bahasa yang telah dipergunakan saat ini di dunia maya.
Sebagian orang bisa saja terjebak karena tidak mendapatkan pemahaman yang cukup terhadap suatu informasi. Ini kemudian bisa menimbulkan dan menyebabkan misinformasi dan disinformasi dalam bentuk hoaks dan fakenews.
Sangat Jauh
Sebagian orang mungkin berpendapat, bukankah Google sudah menyiapkan fitur translasi? Fitur translasi Google hanya mencakup 130 bahasa di dunia. Jumlah ini sangat-sangat jauh dari jumlah bahasa di dunia. Lagipula, fitur translasi Google ini terkadang tak bisa menjangkau konteks dan kekayaan makna dari bahasa daerah tersebut.
Konsekuensi lainnya adalah internet akan menjadi katalisator bagi kematian bahasa-bahasa lokal. Dengan dominasi bahasa-bahasa tadi, masyarakat lokal kemudian terpicu meninggalkan bahasa asli mereka dan beralih mempelajari bahasa Inggris misalnya untuk memahami informasi yang disediakan di internet.
Sudah banyak penelitian bagaimana pengguna internet multilingual kemudian meninggalkan bahasa asli mereka. Jaringan Bahasa Global di Massachusetts Institute of Technology mengungkapkan bahwa jumlah pengguna bahasa Melayu, Portugis dan Spanyol semakin tinggi mencuit dalam bahasa Inggris di platform Twitter. Begitu pun dengan tren pengguna Wikipedia yang semakin beralih ke bahasa Inggris.
Dus, diversifikasi penggunaan bahasa internet pada saat ini mutlak perlu dilakukan apalagi buat Indonesia yang mempunyai kekayaan ragam budaya dan bahasa. Konten-konten dengan bahasa lokal membantu meningkatkan konektivitas dan akses terhadap internet. Dia bisa menjadi saluran komunikasi dengan dunia luar dan membantu keterikatan warga atau masyarakat lokal.
Lebih jauh lagi, penggunaan bahasa lokal bisa secara tidak langsung menciptakan iklim yang demokratis.
Memperbanyak konten dengan bahasa lokal di dunia online juga akan membantu menjaga kelestariannya. Jangan sampai internet menyebabkan kekayaan, keunikan dan keanekaragaman bahasa-bahasa daerah ini menjadi hilang. Masyarakat Indonesia yang lebih banyak menggunakan tradisi berbahasa lisan ketimbang tertulis bisa menjadikan internet sebagai sarana untuk melestarikannya. [b]