Tak pernah terbayangkan oleh Made Warka (72) hasil kerja kerasnya berpuluh-puluh tahun, lenyap seketika tanpa jejak. Setiap kali menerima upah sebagai pencari batu paras di Kabupaten Gianyar, biasanya dia langsung menabung ke Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Harapannya sederhana, kelak di masa tua, ada bekal untuk hidup sehari-hari, juga jadi dana siaga jika jatuh sakit. Namun, kini yang tersisa hanya nelangsa.
Warka, satu dari ratusan korban dugaan tindak pidana korupsi LPD Desa Adat Ngis. Deposito Rp 70 juta yang dikumpulkannya sejak tahun 2008, tiba-tiba disebut telah hilang dari catatan di sistem internal LPD dan tabungan Rp 3 juta habis ditarik oleh seseorang. Sampai saat ini Warka belum mendapat kejelasan bagaimana dan mengapa semua uangnya bisa lenyap begitu saja.
Ketika meminta pertanggung jawaban pengurus LPD, dia malah disuruh langsung menghubungi terduga pelaku, I Nyoman Berata, mantan Ketua LPD Desa Adat Ngis. Sampai saat ini tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan Berata. Sejak kasus ini mencuat, Berata dan keluarganya disebut telah meninggalkan Desa Ngis dan tak pernah kembali.
Apabila dibandingkan dengan nasabah lainnya yang rugi hingga Rp 3 miliar, dana milik Warka barangkali tak seberapa. Tapi baginya, kasus ini bukan hanya semata perkara uang, tapi kepercayaan masyarakat dan nama baik Desa Adat yang menaungi keberadaan LPD.
Selama ini dia sepenuhnya percaya kepada pengurus dan pimpinan LPD untuk langsung ke rumah mengambil uang tabungan. Bahkan sangat jarang Warka langsung ke kantor LPD. Terlebih, sebelum kasus ini mencuat pada tahun 2021, masyarakat di desa mengenal I Nyoman Berata sebagai sosok yang sangat dihormati dan selalu berpenampilan sederhana. Karenanya, tak ada yang menaruh curiga, apalagi sampai mempertanyakan keuangan LPD.
“Saya tidak mengira akan seperti ini jadinya. Saat itu saya sedang membuat kandang ayam, lalu ada tetangga mengabari kalau tabungan saya hilang. Apalagi sebelumnya tidak ada informasi apapun dari orang LPD. Padahal di hari I Nyoman Berata menghilang, dia janji akan membawakan uang pribadinya Rp 5 juta ke saya sebagai pinjaman untuk biaya upacara,” tutur Warka, Jumat (19/4/2024) lalu, saat ditemui di rumahnya.
Terkejut mendengar kabar itu, Warka ditemani keponakannya datang ke kantor LPD. Di sana dia bertemu dengan Bendesa Adat Desa Ngis yang kini menjadi Pj Ketua LPD, Made Arjaya Mantha dan pengurus LPD lainnya. Warka sangat yakin depositonya tetap aman, sebab dia punya bukti dokumen sah kepemilikan deposito.
“Benar deposito Guru (sebutan untuk orang yang lebih tua) tidak ada di sistem.” Begitu jawaban yang diterima Warka dari Made Arjaya.
Tak bisa percaya dengan apa yang didengarnya, Warka langsung tersulut emosi dan meminta dipertemukan dengan bendahara. Warka menagih pertanggung jawaban bendahara, sebab sebelumnya juga disebutkan dana depositonya masih tercatat di sistem.
“Bendaharanya menjawab dia salah lihat, (salah melihat data yang menunjukkan bahwa deposito atas nama Warka tercatat di sistem.),” ucap Warka penuh emosi.
“Saya bilang begini, maaf ya, sebagai bendahara, tidak bisa kamu menjawab semudah itu. Kalau enteng begitu jawabannya, mudah sekali kerja di lembaga keuangan. Kalau merasa mata kamu sudah tidak normal melihat, lebih bagus mengundurkan diri.” lanjut Warka sambil menunjukkan berkas deposito miliknya.
Pada bilyet deposito berkop LPD Desa Pakraman Ngis, nomor 002247, memang tertulis bahwa Made Warka memiliki tabungan sejumlah Rp 70 juta. Tercatat tanggal valuta 21 Juli 2021, jatuh tempo 21 Januari 2022, dengan suku bunga 0,8 persen atau Rp 560 ribu per bulan. Dokumen itu tertanggal 21 Juli 2021, ditanda tangani oleh Ketua LPD Ngis, I Nyoman Berata, SE, lengkap dengan materai dan stampel LPD. Apabila sebelumnya Warka tidak melakukan penarikan tabungan, jumlah kerugiannya bahkan mencapai Rp 200 juta.
“Kalau dibilang deposito saya tidak ada. Lalu apa artinya bukti ini? Masak dokumen deposito ini saya sendiri yang buat? Kan gak mungkin. Nah ada pengurus lain yang meminta saya langsung berurusan dengan pelaku. Keponakan saya langsung menantang biar dikasi petunjuk di mana pelaku sembunyi, di mana alamat dia dan berapa nomor telepon dia yang aktif. Tapi tidak ada yang bisa menjawab, semua diam. Gabeng, gabeng sajan (tidak jelas, sangat tidak jelas). Seperti ini nasib saya. Dulu kerja keras sampai tidak tidur-tidur biar bisa nabung.”
Warka juga menunjukkan buku tabungan berwarna hijau yang digunakannya untuk menyimpan bunga deposito. Tak selesai pada persoalan deposito, ternyata uang tabungan Rp 3 juta pun kandas. Ia tak bisa menarik dana itu sebab dikatakan sudah ada yang mengambil. Pengurus LPD lagi-lagi tak bisa memberi penjelasan siapa yang mengambil dan mengapa tidak ada bukti tanda tangan atau lembar penarikan. Saat kami cek buku tabungan itu, bagian terakhir tabungan terdapat coretan dan telah ditimpa dengan stipo.
Menghadapi semua kenyataan ini, Warka merasa sangat kecewa dan sering bertanya pada diri sendiri, seperti inikah ternyata cara kerja orang-orang di LPD? “Saya sudah dari lama sekali nabung di LPD. Ya maksudnya biar sama-sama memajukan Desa Adat,” ungkapnya. Warka takut jika langsung melapor ke aparat penegak hukum, khawatir kalau nanti dia harus mengeluarkan lebih banyak uang.
“Saya sudah tua dan memang belog (tidak berpendidikan). Saya penasaran sekali, sampai di mana adat menuntut kejelasan dari LPD ini? Mengapa LPD ini bisa sampai dibeginikan oleh Nyoman Berata? Saya dengar, Nyoman Berata sendiri yang menggunakan uang ini. Tapi sepertinya tidak mungkin dia saja sendiri. Mengapa dia bisa aman begini, masih bebas? Sementara warga yang hilang uangnya semua menangis,” jelas Warka yang saat ini sehari-hari bekerja membuat porosan (upakara yang terbuat dari potongan janur).
Warka terakhir kali dipanggil penyidik Polda Bali sebagai saksi untuk dimintai keterangan pada Rabu, 17 Januari 2024, pukul 13.00 Wita. Dalam surat panggilan nomor: S.Pgl/41/I/RES.3.3/2024/Ditreskrimsus itu, disebutkan bahwa perkara dugaan tindak pidana korupsi pada LPD Desa Adat Ngis diduga dilakukan oleh mantan Ketua LPD Ngis, dengan cara menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya dalam mengelola, mengendalikan kegiatan dan keuangan serta belanja LPD Desa Adat Ngis dengan cara melakukan penarikan tabungan dan simpanan berjangka, membentuk laba semu dan membentuk pinjaman semu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dalam waktu berkelanjutan sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau Desa Adat Ngis.
“Saya ditanya, kenal dekat Man Berata tidak dan kalau saya narik uang, ditanya untuk keperluan apa. Pak Polisi menyuruh saya simpan baik-baik dokumen ini, jangan sampai hilang bukti-buktinya. Katanya walaupun nama saya tidak ada di sistem, tapi ini tetap jadi tanggung jawab LPD. Semoga bisa balik uang saya, walaupun dicicil Rp 500 ribu per bulan tanpa bunga,” harapnya.
Sekretaris LPD Desa Adat Ngis, Ni Kadek Supartini (42), yang sudah bekerja bersama Berata sejak tahun 2000 mengaku sebelum kasus terungkap, Ia tidak mencurigai dan mengetahui apapun. “Tidak ada keanehan sama sekali,” ungkapnya ketika ditemui di kantor LPD Desa Adat Ngis.
Sementara itu, Bendesa Adat Ngis yang juga merangkap Plt Ketua LPD Desa Adat Ngis, I Made Arjaya Mantha, saat ditemui Jumat (17/5/2024), mengatakan belum mengetahui secara pasti jumlah nasabah yang namanya hilang dari sistem. “Kalau itu jumlah pastinya saya tidak tahu ya. Kecuali ada di BAP akhirnya,” ungkapnya.
Arjaya mengamini bahwa dirinya menerima banyak keluhan masyarakat. Menurutnya saat ini semua nasabah memang berharap dan tetap yakin dana mereka bisa kembali. Arjaya akan melakukan tindakan dan menentukan keputusan atas dana yang hilang setelah ada ketetapan hukum dan nantinya akan berkoordinasi dengan tim audit.
“Sebab mereka (auditor) yang tahu bagaimana sistem ke luar masuk uangnya. Apabila nanti memang harus kita pertanggungjawabkan, tidak masuk ke sistem dia, tapi secara manual kita catat. Nanti kita putuskan bersama dan saya akan mengundang nasabah, saya tidak mau sendiri. Saya pastikan nanti kalau keuangan sudah membaik dan stabil, saya dan teman-teman akan menghadirkan auditor independen biar clear semua,” tegasnya.
Berikut nilai korupsi LPD 4 tahun terakhir. Silakan klik tabel tahun untuk melihat perubahannya setiap tahun.
Para Korban Sangat Terpukul
Akibat kejadian ini, Warka sempat sakit-sakitan. Namun istri dan anak-anaknya coba terus menenangkan. “Istri saya bilang jangan terus memikirkan persoalan ini, nanti penyakitnya terus kambuh. Ya, semoga nanti ada rezeki lain. Mungkin nanti rezekinya datang lewat anak-anak kita. Yang penting kita sehat dulu.”
Korban lainnya, Made Suanda (69), yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang perlengkapan upacara dan sembako, juga merasakan dampak yang sama. Bukan lagi Rp 70 juta, uang miliknya yang lenyap mencapai Rp 700 juta. Padahal dana itu rencananya dia pakai untuk mengembangkan usaha dan Suanda sudah sempat diingatkan oleh sang istri untuk segera menarik deposito. Awalnya Suanda sengaja tidak melakukan penarikan karena akan membeli lahan untuk toko baru sebab lahan tempatnya sekarang berjualan masih status mengontrak.
Suanda mengaku hampir satu bulan tidak bisa tidur memikirkan nasib depositonya. Dia kehilangan semangat untuk berdagang. Sebelum kejadian ini, biasanya dia mulai pergi ke pasar pukul 02.00 dini hari dan berjualan hingga pukul 10.00 malam. Namun saat ini daya kerjanya menurun, hanya membuka warung sampai sore hari.
Deposito Suanda pun dibilang hilang dari sistem. Pada awal tahun 2022, saat menuntut ke LPD bersama sekitar 300 nasabah, dia diberikan lampiran yang menunjukkan daftar nasabah yang namanya ada di sistem dan yang hilang dari sistem. Saat itu dia diberitahu bahwa yang namanya tak tercatat, berarti uangnya sudah diambil oleh I Nyoman Berata.
Suanda mengaku sempat sangat emosi saat itu. Namun pihak kepolisian berulang kali memperingatkan warga agar tetap tenang dan tidak main hukum sendiri. Diperkirakan total dana LPD Desa Adat Ngis yang digelapkan oleh terduga pelaku sebanyak Rp 24 miliar.
“Pak Polisi bilang, ditafsir pelaku sudah mulai korupsi sejak 2009, bukan 2015. Makanya lama ini, gak bisa cepat kelar kasusnya karena terus ditemukan perubahan-perubahan.” Suanda sudah dua kali dimintai keterangan oleh penyidik Polda Bali.
Ditemui di warungnya, Suanda mengaku sangat menyesal terlalu percaya pada pimpinan LPD. Dia mengetahui bahwa memang ada pengawas LPD, hanya saja dia tidak paham bagaimana kinerja pengawas.
“Kapok saya. Saya percayakan semua ke pimpinan LPD. Dia terkenal orang baik. Kealiman dia membuat semua orang terpesona. Terlalu percaya saya sama dia. Dari dulu hidup dan gaya dia segitu-segitu saja. Tidak terbaca ada tanda-tanda korupsi. Apalagi laporan LPD selalu bagus. Selalu dapat jempol. Saya sempat tanya ke Pak Polisi posisi pelaku sekarang, tapi tidak dikasi tahu. Kalau uangnya gak bisa kembali, saya pasrah. Bisa dikembalikan setengah saja saya terima,” ungkap Suanda.
Dengan adanya kasus ini, Suanda berharap agar dilakukan evaluasi besar-besaran, harus ada pengawasan yang ketat, pengecekan laporan secara berkala, serta batasan waktu kepemimpinan LPD. Dengan begitu, tidak akan ada lagi kekuasaan tanpa batas seorang Ketua LPD di seluruh Bali.
Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan S.I.K, M.H., mengungkapkan bahwa penetapan tersangka belum dilakukan karena masih dalam proses penyidikan. “Kami menunggu hasil audit serta belum dilaksanakan gelar perkara,” jelas Kombes Pol Jansen, saat dikonfirmasi pada Mei 2024 lalu.
Menyikapi kondisi LPD saat ini, Kepala LP-LPD Provinsi Bali, I Nengah Karma Yasa menegaskan ke depannya harus dilakukan pembenahan. Ia mengusulkan perlu ada penguatan kualitas regulasi yang harus terkoneksi dengan perarem dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.
“Lalu memperkuat sistem pengawasan yang berbasis risiko dan mendorong pengelolaan dana perlindungan LPD. Selain itu juga perlu kolaborasi antar pihak,” jelasnya.
Bagian 1 artikel https://balebengong.id/skandal-korupsi-lpd-di-bali-akal-bulus-dan-kekuasaan-mainkan-data-bagian-1/
Bagian 3 https://balebengong.id/siapa-paling-bertanggung-jawab-atas-nasib-lpd-bagian-3/
(*/tim rahayu)
Tim penulis:
I Komang Doni Kurniawan, Osila, Nabillah Hidayat, Ni Komang Yuko Utami, Ni Ketut Sudiani
*Liputan ini terselenggara oleh Klub Jurnalis Investigasi (KJI) yang merupakan kerja kolaboratif untuk melakukan liputan investigasi isu korupsi antara Indonesia Corruption Watch (ICW), balebengong.id, jurnalis, dan CSO.