
Sejumlah pengguna Trans Metro Dewata (TMD) kembali bergandengan tangan menyampaikan aspirasi mereka. Kebutuhan mereka terhadap transportasi umum kembali mereka suarakan dalam pertemuan dengan Ni Luh Djelantik di kantor DPD Provinsi Bali pada Jumat, 10 Januari 2025.
Sebelum diskusi dimulai, Djelantik menyebutkan bahwa permintaan untuk melanjutkan TMD telah sampai kepada Wakil Menteri Pariwisata asal Bali, Ni Luh Enik Ernawati. “Surat itu sudah sampai di menteri dan beliau sudah menyetujui,” ungkap Djelantik.
Ia menyayangkan berhentinya salah satu layanan transportasi publik di Bali. “Ini bukan tentang TMD. Ini tentang bagaimana fasilitas publik itu harus ada,” imbuhnya.
Asal usul problematika transportasi publik di Bali
Pertemuan sore itu menghadirkan pengguna TMD dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), penyandang disabilitas, ibu hamil, hingga operator TMD.
Hafes Arya Akbar, akademisi dan pengguna TMD yang hadir sore itu memberikan gambaran mengenai problematika transportasi publik di Bali. Ia menyebutkan bahwa latar belakangnya adalah fenomena hilangnya terminal di Bali. “Coba cek di Tabanan, Persiapan jadi pasar, Terminal Kediri ke pasar senggol, Pasar Tabanan jadi pasar senggol, Badung – Dalung nggak ada, Mengwi mati suri, Beringkit hilang, Denpasar – Kreneng tinggal Pasar Krenengnya, Sanglah tinggal rumah sakitnya,” ungkap Hafes dalam sesi paparannya.
Tak lupa juga, Bali menghadapi masalah membludaknya kendaraan pribadi, sehingga kemacetan terjadi di sepanjang jalan. Beban jalan di Bali disebut kian berat, terlebih ruas jalan di Bali terbilang sempit untuk menampung banyaknya kendaraan. “Jumlah pertambahan kendaraan terus meningkat artinya beban jalan semakin berat,” ungkap Hafes.
Solusi satu-satunya mengatasi problematika tersebut adalah mengaktifkan kembali TMD. “Kemudian untuk solusinya adalah penambahan shelter atau penghubung dari dan menuju shelter TMD,” jelas Hafes.
Contoh sederhananya adalah sistem integrasi Trans Jakarta. Beberapa shelter Trans Jakarta terhubung dengan Jaklingko. Jaklingko memiliki bentuk seperti angkot, lebih kecil dibandingkan bus Trans Jakarta, sehingga dapat menjangkau jalan-jalan kecil.
Pembangunan berorientasi pada manusia
Transportasi menjadi sumber emisi terbesar di Bali. Mematikan transportasi umum di Bali bertolak belakang dengan cita-cita Bali bebas emisi 2045. “Transportasi publik adalah salah satu infrastruktur utama dalam usaha untuk mengurangi emisi di Bali,” ujar Ngurah Termana dari WRI (World Resources Institute) yang kerap menggunakan TMD.
Termana cukup familiar dengan isu transportasi umum di Bali, terlebih saat ini WRI bersama Koalisi Bali Emisi Nol Bersih tengah membantu target ambisius pemerintah dalam menciptakan Bali emisi nol bersih. Ada tiga pendekatan yang cukup penting dalam mencapai target tersebut.
“Pertama, mengurangi kebutuhan kita akan kendaraan konvensional. Terus yang kedua, beralih kepada fasilitas umum, di antaranya public transport atau berbagai kendaraan bersama. Ketiga, mulai beralih kepada pola mobilitas yang ramah lingkungan, jalan kaki, naik sepeda,” ujar Termana.
Lebih lanjut, Ia menyebutkan bahwa konsep sebuah pembangunan masyarakat kota seharusnya berorientasi pada manusianya. Dalam sebuah piramida mobilitas, manusia lebih diutamakan, bukan kendaraan. Jadi, yang paling mendasar dan diutamakan adalah pejalan kaki, diikuti oleh penyandang disabilitas, sepeda, transportasi umum, angkutan taksi, dan diakhiri dengan kendaraan pribadi.
“Ketergantungan kita pada kendaraan pribadi atau kebijakan yang membuat kita tergantung pada kendaraan pribadi, ini kami anggap sebagai salah satu bentuk kemiskinan struktural,” ungkap Termana. Anggapan tersebut muncul karena secara tidak langsung masyarakat dituntut kredit kendaraan, membeli BBM, servis kendaraan, dan membayar pajak.
Pengguna TMD tak berhenti bersuara
Dimulai dari 29 Desember 2024, petisi lanjutkan operasional bus trans metro dewata sebagai transportasi publik di Bali telah ditandatangani oleh 19.231 orang. Dyah Rooslina merupakan salah satu pengguna TMD sekaligus pembuat petisi tersebut. Aksi ini dilatarbelakangi oleh kewajiban pemerintah dalam menyediakan transportasi umum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Masyarakat Bali memang banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, tetapi tidak semua orang bergantung pada kendaraan pribadi. Ada perantau yang tidak memiliki kendaraan pribadi, ada pula mahasiswa asal Denpasar yang butuh transportasi umum untuk menjangkau Jimbaran. Tidak lupa juga ada lansia serta penyandang disabilitas yang membutuhkan transportasi umum.
Made Suardana, seorang tunanetra asal Tabanan mengungkapkan bahwa dirinya sudah 10 hari tidak bisa beraktivitas ke Denpasar karena TMD berhenti beroperasi. “Kami merasa kesulitan dalam hal beraktivitas. Begitu juga teman-teman disabilitas lainnya seperti Bu Jero tidak bisa ke Denpasar – Ubud, yang sering melayani pasien atau massage pijatnya,” ungkap Suardana.
Selain mahasiswa, ternyata dosen di Universitas Udayana yang mengajar di Jimbaran juga kerap menggunakan layanan TMD. Mengingat jarak satu fakultas dengan fakultas lain maupun dengan rektorat terbilang cukup jauh. Hal ini disampaikan oleh Parma, profesor di Universitas Udayana. Ia mengungkapkan bahwa menggunakan TMD dapat mengurangi stres berkendara. “Kualitas pendidikan mungkin akan berpengaruh ya,” ungkap Parma.
Pengguna TMD terus melakukan upaya terbaik untuk mengaktifkan kembali layanan transportasi publik di Bali. Pada Senin, 13 Januari 2025, pengguna dan pramudi TMD bertandang ke DPRD Provinsi Bali. Dilansir dari Tribun Bali, pengguna TMD meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) bersama DPRD melakukan lobi ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait penganggaran saat masa transisi pergantian gubernur. Kabarnya, pekan depan Komisi III akan melakukan lobi ke Kemenhub.