
“Tergantung, mau naik TJ atau KRL?”
Jawab seorang teman ketika saya berkunjung di Jakarta, dan saya menanyakan rute untuk berpergian ke suatu tempat.
Saya tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Sudah pernah saya naiki keduanya, tapi jawaban teman saya menyadarkan kembali bahwa teman saya, dan banyak orang lain yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya-mereka punya pilihan transportasi.
Jauh lebih banyak pilihan dibanding saya yang tinggal di Bali. Baru saja kemarin saya melihat data yang dikutip dari BPS bahwa 1 dari 4 keluarga di Bali memiliki Mobil. Tertinggi di Indonesia. Mobil-mobil inilah yang memadati jalanan Bali (bersamaan dengan motor-motor, tentunya) tapi mau bagaimana lagi? Kita -sebagaian besar Masyarakat Bali- tidak punya pilihan transportasi lainnya.
Sebetulnya, kita pernah punya pilihan semacam itu. Dibantu pemerintah pusat-Trans Metro Dewata (TMD) namanya. Bus merah yang dikenal dengan TEMAN BUS ini dulu melayani lima rute, lengkap DenpaSAR BAdung GIanyar TAbanan. Tapi sejak awal Tahun 2025, bus ini tidak beroperasi lagi. Banyak pihak yang merasa sedih dan dirugikan akibat berhentinya bus ini, apalagi yang sudah terlanjur sempat menjadikannya pilihan transportasi andalan.
Bagaimana tidak? hanya dengan membayar R. 4.400, diantar sampai tujuan tanpa perlu lelah berkendara sendiri. Iya, berkendara itu melelahkan, bukan? Harus berada di antara kendaraan lainnya, harus menghirup asap kendaraan dan terkadang juga asap rokok (jika mengendarai motor), harus terus ada di mode “waspada” karena harus berkendara dengan hati-hati, dan mau tidak mau harus ada di dalam kemacetan.
Soal macetnya, jika menaiki TMD kita masih harus ikut merasakan karena TMD tidak punya jalur sendiri seperti TransJakarta. Namun soal hal lainnya, tidak perlu kita rasakan jika memilih menaiki TMD dibanding berkendara sendiri.
Menambahkan soal pilihan untuk berkendara sendiri, tidak semua orang bisa mengambil pilihan tersebut. Bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan lansia? Bagaimana dengan difabel? Bagaimana dengan orang sakit? Transportasi publik sesungguhnya adalah fasilitas yang inklusif. Ramah terhadap semua kelompok.
Menghilangnya Teman Bus di Bali mungkin juga menjadi peristiwa yang menyenangkan-bagi beberapa kelompok lainnya. Terutama yang selama ini mengatakan bahwa mereka hanya “ngentuk-ngentukin” dan “ngeranang macet”, bahkan ada yang bilang bahwa bus merah ini hanya berputar-putar tanpa penumpang, menghabiskan bensin saja.
Ada harapan-harapan yang muncul terkait pengaktifan kembali Teman Bus di Bali. Termasuk saya, saya pun berharap bus ini bisa kembali mengangkut penumpang. Harapan saya sedikit redup karena melihat postingan yang mengatakan bahwa ada unit bus Trans Metro Dewata yang sudah di jual.
Saya memiliki kepercayaan yang mungkin menurut pembaca sedikit aneh. Saya percaya benda itu memiliki energi dan benda juga bisa “sedih” jika tidak dimanfaatkan. Bus-bus TMD yang kemarin sempat beristirahat dua bulan lamanya, kini sudah kembali senang karena tahu mereka akan segera kembali mengangkut penumpang. Dengan rute berbeda, tentunya.
Beberapa kali saya dengar orang (yang tinggal di Bali) mengatakan bahwa “Tidak ingin Bali seperti Jakarta.” Butuh waktu untuk saya mencerna kalimat tersebut. “Tidak ingin seperti” Ini mengisyaratkan seolah Jakarta itu jelek dan Bali saat ini posisinya lebih baik dari Jakarta. Iyakah? Padahal kalau bicara tidak inginnya karena tidak ingin macet, toh Bali sekarang juga macet. Kita pun tidak punya pilihan lain selain tetap berada di kemacetan tersebut jika mau berpergian.
Teman saya-dan banyak orang lainnya yang bekerja di Jakarta, mereka bisa survive untuk bekerja dan merantau tanpa harus memiliki kendaraan pribadi. Kepada teman saya yang lainnya, yang mengutarakan keinginan untuk bekerja di Bali, saya selalu wanti-wanti untuk menyiapkan budget lebih untuk transportasi. Baik untuk kendaraan pribadi, atau transportasi online.
Tarif ojek online dari rumah saya ke kantor sekali jalan Rp 20.000, Jika bolak-balik menjadi Rp 40.000. Misalnya saya adalah seseorang yang hanya punya pilihan ojek online sebagai transportasi ke kantor, maka sebulan saya harus menghabiskan kurang lebih Rp 1.120.000 hanya untuk transportasi. UMP Bali saat ini Rp 2.996.561. Jika seseorang memiliki penghasilan sejumlah ini dan mengandalkan ojek online sebagai transportasi utama ke kantor, maka 37,35% dari penghasilan harus digunakan untuk transportasi. Itu pun kalau tarif ojek onlinenya terus-terusan Rp 20.000, nyatanya tarifnya dinamis. Walaupun titiknya sama, harga hari ini dan besok bisa berbeda.
Pulang dari kunjungan ke Jakarta, saya memilih menaiki taxi online. Saat itu tarifnya sekitar Rp. 200.000 sekali jalan dari Bandara Ngurah Rai ke rumah saya di Denpasar. Kalau bolak balik, maka itu sudah hampir setengah dari harga tiket pesawat. Sungguh, masa-masa ke luar Bandara menaiki TMD dengan tarif Rp. 4.400 akan sangat dirindukan. Entah kapan bisa merasakannya lagi.
Selama perjalanan pulang, saya melamun. Kapan ya Bali bisa kayak Jakarta? Bukan, bukan soal macetnya. Tapi ini soal bagaimana warganya punya bisa pilihan untuk menaiki transportasi publik.
Lima hari yang lalu, tanggal 21 Februari 2025 tepatnya, Bapak Wayan Koster dan I Nyoman Giri Prasta resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Bali 2025-2030. Salah satu poin yang tertulis dalam visi misi ialah terkait pengembangan transportasi publik. Semoga hal ini dapat teralisasi di Bali Era Baru ini, siapa tahu di 2030 nanti kita bisa tangkil ke Pura naik MRT? Mari menyediakan ruang untuk optimisme.