
Serikat Pekerja Mandiri PT Angkasa Pura Supports Cabang Denpasar (SPM APS) didampingi LBH Bali dan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) menggelar konferensi pers terkait pelanggaran hak pekerja yang dilakukan oleh PT APS Denpasar di LBH Bali pada 20 Februari 2025.
Kejadian bermula pada 1 Januari 2022 ketika Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Karyawan Tetap yang mencantumkan kata ‘project’. Made Dodik Satriawan bersama para pekerja di bawah PT APS Denpasar lainnya langsung meminta klarifikasi kepada perusahaan terkait istilah ‘project’ yang terdapat dalam SK. Istilah ‘project’ dianggap melanggar ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan memberikan jangka waktu berakhirnya masa kerja.
Seiring berjalannya waktu, perusahaan melaksanakan sosialisasi terkait merger atau penggabungan perusahaan. “Di situ (dalam merger) ada poin bahwa kami sebagai pekerja yang dulunya PKWTT akan diubah menjadi PKWT,” ungkap Dodik. Secara sederhana, PKWTT dapat dimaknai sebagai pekerja tetap tanpa jangka waktu tertentu, sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dimaknai sebagai pegawai kontrak dengan jangka waktu tertentu.
Menanggapi adanya poin dalam merger tersebut, Dodik bersama pekerja lain mengajukan diskusi dengan pihak manajemen untuk menyampaikan penolakan mereka. “Karena dalam pertemuan itu pihak manajemen tidak memberikan jawaban yang pasti, akhirnya kami melakukan aksi damai,” ungkap Dodik.
Aksi dilakukan pada 4 Juli 2024 dalam rangka penolakan merger. Setelah aksi, para pekerja PT APS Denpasar sempat dipertemukan oleh pihak manajemen perihal merger yang ditolak. Pertemuan tersebut menghasilkan rilis dari pihak manajemen yang menyatakan pembatalan merger pada 12 Juli 2024.
“Jadi lanjut kami dari pihak serikat dan teman-teman kembali berdiskusi dengan pihak manajemen perihal kontrak atau SK kami yang terdapat istilah ‘project’,” terang Dodik. Perundingan terjadi dua kali pada bulan Juli dan Agustus. Perundingan pertama pada 31 Juli 2024 tidak mencapai kata sepakat. Dilanjutkan perundingan kedua pada 9 Agustus 2024 dengan hasil yang sama.
Kesepakatan tidak bisa tercapai karena PT APS Denpasar tidak dapat memberikan keputusan yang pasti karena harus menunggu respons dari pusat. “Akhirnya kami sepakat untuk melakukan aksi mogok kerja di bulan Agustus,” ujar Dodik. Pemberitahuan surat mogok kerja dikirimkan kepada manajemen, perusahaan, dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Bali pada 12 Agustus 2024.
Aksi mogok kerja berlangsung selama tiga hari, yaitu tanggal 19-21 Agustus 2024. Sebelum aksi, pekerja PT APS Denpasar yang tergabung dalam serikat pekerja dipanggil oleh Kepala Disnaker Kabupaten Badung. “Kami sempat dipanggil untuk klarifikasi atau informasi mengenai surat yang sudah kami kirimkan. Di situ kami ditemukan dengan pihak manajemen,” terang Dodik. Sayangnya, lagi-lagi pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil.
Aksi mogok kerja tetap dilaksanakan sesuai kesepakatan di sebelah utara tempat parkir sepeda motor. Para serikat pekerja secara bergantian berjaga di titik aksi, menyesuaikan shift kerja mereka. Ada dua tuntutan yang dibawa dalam aksi tersebut, yaitu penghapusan kata ‘project’ dan mensosialisasikan masalah peraturan perusahaan. Namun, alasan yang sama selalu muncul, yaitu semua keputusan harus berdasarkan pusat atau Jakarta.
“Ada beberapa teman kami yang memang meninggalkan aksi. Dalam hal ini sedikit ada tekanan dari pihak luar,” ujar Dodik. Pada aksi hari kedua, tekanan lagi-lagi diberikan oleh perusahaan, yaitu dengan memberikan surat pemanggilan kepada anggota serikat pekerja. Perusahaan mengancam jika pekerja melakukan aksi mogok, mereka akan dipecat. Imbasnya, beberapa pekerja yang mengikuti aksi diselimuti ketakutan. Akhirnya, mogok kerja yang direncanakan tiga hari hanya berlangsung dua hari saja.
Ketika aksi mogok kerja berakhir pada tanggal 20 Agustus 2024, malam hari itu juga para pekerja dipanggil oleh pihak manajemen ke kantor PT APS Denpasar untuk menandatangani surat bekerja kembali. Namun, setelah penandatanganan, pihak manajemen melakukan pemanggilan investigasi kepada para pekerja.
“Kami diinvestigasi oleh orang pusat. Beberapa teman itu sifatnya bergiliran, dipanggil satu per satu sampai jam 8 malam, sampai pagi bahkan,” ungkap Dodik. Setelah investigasi, pada tanggal 28 Agustus 2024, perusahaan melayangkan surat skorsing awal kepada pengurus SPM APS.
“Kami diberikan surat skorsing 14 hari kerja,” imbuh Dodik. Tentu saja mereka menolak surat skorsing tersebut. Surat skorsing kedua pun dilayangkan kembali pada tanggal 30 September 2024. Dalam surat skorsing yang kedua, sebanyak 55 pekerja diskors. Surat skorsing tersebut menyatakan pekerja dapat kembali bekerja dengan status PKWT. Sebagian pekerja ada yang menerima keputusan tersebut. Namun, enam pekerja dengan kukuh menolak, sehingga skorsing diperpanjang menjadi 45 hari kerja.
Pada tanggal 30 November 2024, pihak manajemen melayangkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada enam pekerja yang menolak. “Kami tetap menolak PHK yang diberikan oleh perusahaan,” ungkap Dodik.
Menanggapi surat skorsing tersebut, Sekretaris FSPM, Ida I Dewa Made Rai Budiarsana menyatakan bahwa aduan secara resmi telah diberikan kepada Disnaker Provinsi Bali pada 21 Oktober 2024. Pada 14 November 2024, pihak Disnaker Provinsi Bali melakukan pemanggilan kepada SPM APS. Namun, pemanggilan tersebut berujung pada kekecewaan. “Dengan pertanyaan kami, apakah skorsing yang diberikan kepada kawan-kawan kami ini melanggar hukum atau tidak? Dan jawabannya tidak tahu,” ungkap Rai.
Pihak Disnaker Provinsi Bali juga menyatakan bahwa aksi mogok kerja yang dilakukan SPM APS sebelumnya tidak sah hanya karena tidak ada bukti surat tanda terima yang diberikan oleh pihak perusahaan. Atas kekecewaan tersebut, aksi damai kembali dilakukan pada 31 Januari 2025.
LBH Bali dalam rilis persnya menyebutkan bahwa menurut Pasal 144 huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Apabila terdapat pelanggaran terhadap pasal tersebut, maka dapat dikenakan sanksi pidana. Tindakan pemanggilan oleh pihak perusahaan secara jelas merupakan tindakan pidana pelanggaran.
I Gede Andi Winaba, pendamping bantuan hukum di LBH Bali menyebutkan bahwa tindakan perusahaan dalam menetapkan pekerja sebagai PKWT dari tahun 2013 sampai tahun 2022 adalah suatu bentuk pelanggaran. Merujuk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, PKWT maksimal diperpanjang sebanyak dua kali. “Tapi di sini pekerja bekerja dengan status kontrak atau PKWT terus menerus sampai 2022,” ungkap Andi.
Kemudian, menurut Putusan MK Nomor 21 Tahun 2011, pekerja dengan status PKWT maupun PKWTT sudah dilindungi terkait pemberhentian kerjanya. Ketika pekerja berstatus PKWTT di tahun 2022, seharusnya ketika perusahaan melakukan merger, status pekerja tidak berubah selama jenis pekerjaanya tetap.

Sebelum konferensi pers dilaksanakan, SPM APS didampingi LBH Bali dan FSPM telah melaporkan dan membuat aduan kepada Polda Bali dan Ombudsman RI Provinsi Bali terkait dugaan tindak pidana pemberangusan serikat pekerja (union busting) dan mogok kerja. Pengaduan Disnaker Provinsi Bali kepada Ombudsman RI Provinsi Bali dilakukan karena Disnaker Provinsi Bali dianggap tidak objektif dalam menanggapi laporan serikat pekerja.
Sementara itu, branch manager PT APS Denpasar, Djoko Setyo Pembudi dilaporkan ke Polda Bali atau dugaan tindak pidana ketenagakerjaan/cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 huruf (a) dan (c) juncto pasal 43 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta pasal 143 ayat (1) juncto pasal 185 ayat (1) dan pasal 144 huruf (b) juncto pasal 187 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Hingga saat ini, para pekerja masih memperjuangkan hak-haknya. Dari kasus ini sebanyak 674 pekerja terdampak. Selain enam orang dalam SMP APS yang saat ini masih melawan, pekerja lainnya secara terpaksa menandatangani perjanjian perubahan status pekerja menjadi PKWT demi menafkahi kehidupan mereka sehari-hari.