
Sejak 2024, perdebatan tentang pariwisata Bali masih seputar membludaknya kedatangan wisatawan yang dibarengi dengan berbagai perilaku yang meresahkan publik. Dari mulai perkelahian, pencurian, ugal-ugalan di jalan, hingga perilaku yang dianggap justru mencoreng pariwisata Bali. Kali ini dilakukan oleh para bule yang dulu sering dianggap sebagai “dewa dollar” yang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Bali. Kini “dewa dollar” berubah julukan menjadi “bule sampah” karena membuldaknya kunjungan para wisatawan asing ini, sehingga banyak juga yang datang ke Bali adalah wisatawan dengan berbagai tujuan buruk.
Saya masih ingat pernyataan seorang pelaku pariwisata dalam sebuah seminar di Kota Denpasar tahun 2000-an. Saat itu Bali sedang menata kondisi pariwisata sehabis dihantam peristiwa Bom Bali. Keinginan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dilakukan dengan berbagai cara promosi dan mengemas citra Bali semenarik mungkin. Saking mengibanya dengan kedatangan wisatawan, hingga pariwisata Bali juga dijual murah kepada wisatawan. Selain terkenal murah, satu hal lagi yang mengikutinya adalah “pariwisata bisa diatur” sehingga memunculkan pandangan bahwa semuanya bisa diatur jika para investor ingin menanamkan modalnya untuk pariwisata Bali.
Beriringan dengan murahnya pariwisata Bali dan “pariwisata bisa diatur”, perluasan wilayah yang dijadikan tujuan pariwisata juga berdampak ganda. Pada satu sisi, masyarakat yang dijamah dan menemukan potensi obyek wisata akan mengucap syukur kesejahteraan mereka berangsur-angsur meningkat. Potensi alam air terjun, jembatan gantung, tracking di areal persawahan, hingga sungai yang disulap sebagai arena arung jeram, menjanjikan untuk mendatangkan keuntungan. Itulah yang kemudian dikemas atau dipaket menjadi ekowisata atau desa yang diwisatakan (baca: desa wisata). Bahkan desa-desa pun berlomba-lomba mencari obyek baru tersebut sampai menepikan potensi wilayah yang sayangnya bukan wisata.
Pada sisi lain, penemuan obyek wisata baru itu jelas tidak hanya berdampak instan untuk kesejahteraan masyarakat, tapi juga berdampak terhadap berubahnya bentang alam desa sekaligus juga orientasi desa tersebut. Desa yang memiliki potensi perkebunan misalnya diarahkan (baca: dipaksakan) untuk beralih menuju desa wisata. Pengembangan desa melalui desa wisata atau ekowisata kadang sangat problematik karena meredam bahkan mematikan potensi desa sebenarnya yang memiliki relasi sejarah yang kuat dengan masyarakat sebelumnya.
Debat Overtourism
Pada awal 2024, menteri pariwisata saat itu, Sandiaga Uno mengaku tak setuju kalau Bali disebut overtourism. Hal yang sama diungkapkan pemerintah daerah. Alih-alih overtourism, yang terjadi adalah wisatawan terlalu terkonsentrasi di Bali bagian selatan. Menurut mereka, persoalan ini bisa dituntaskan dengan penataan. Lima bulan kemudian, Sandiaga mengatakan wilayah Bali Selatan dan Kabupaten Badung sudah mendekati pariwisata berlebih atau overtourism, sehingga perlu dilakukan pemerataan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah Bali mengajukan moratorium pembangunan hotel, vila, diskotek, dan kelab pantai di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) selama 1-2 tahun kepada pemerintah pusat.
Menurut Penjabat (Pj) Gubernur Bali ketika itu, Sang Made Mahendra Jaya, moratorium ini dilakukan “demi mendorong terbentuknya pariwisata yang berkualitas”. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) kemudian mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 163 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Penerapan Pariwisata Berkualitas di Provinsi Bali. Kebijakan moratorium itu dinyatakan berlaku mulai Oktober 2024, tetapi hingga kini pemerintahan Prabowo belum membahasnya dan kebijakan ini masih jadi perdebatan di lapangan.1
Pelaksanaan moratorium tersebut mendapatkan “penentangan” dari Kabupaten Badung, yang menjadi lokasi subur investasi pariwisata di Bali. Pelaksana tugas (Plt) Bupati Badung ketika itu, Ketut Suiasa mengatakan moratorium ini menimbulkan “sebuah paradoks” sebab mereka memiliki target investasi yang harus dikejar. Menurutnya, moratorium ini “bukan satu solusi terbaik”. “Kami di Badung belum sepakat tentang melaksanakan moratorium,” kata Ketut Suaisa dalam sebuah rapat koordinasi pada awal November 2024. 2
Pandangan bahwa masih ada wilayah-wilayah yang harus “dipariwisatakan”, dengan alasan pemerataan wisatawan di seluruh Bali, memiliki kerangka berpikir yang disebut dengan reorganisasi ruang, saat ruang-ruang baru diciptakan untuk kepentingan akumulasi kapital (pariwisata). Bahasa yang sering digunakan adalah pemerataan, seperti kita selalu ingat sebelumnya bagaimana pemerataan pembangunan dilakukan dengan janji kesejahteraan. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perluasan perampasan ruang-ruang hidup masyarakat dengan alasan pembangunan. Jika menentang pembangunan dianggap “musuh pembangunan” bahkan “komunis” atau “separtis”.
Logika pemerataan menekankan bagaimana ruang-ruang yang dianggap sepi pariwisatanya harus dipromosikan sekaligus didesain untuk menjadi obyek pariwisata. Cepat atau lambat, karena logika pemerataan ini, seluruh wilayah yang belum terjamah pariwisata akan “dipariwisatakan”. Reorganisasi dan perluasan ruang ekspansi pariwisata mendesak ruang-ruang hidup masyarakat desa dengan perluasan kapital yang dibawa oleh pariwisata. Promosi bahwa Bali masih kekurangan wisatawan menunjukkan sesat pikir ekspansi pariwisata yang akan merampas ruang-ruang baru yang menjadi sasarannya.
Kita bisa beranjak dari pemikiran David Harvey (1985; 2012) bahwa beroperasinya kapitalisme modern tidak akan berhenti dalam kegiatan memproduksi keuntungan atas ruang yang dimiliki tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah keberhasilannya membangun ruang yang dapat dikonsumsi oleh individu. Argumen yang paling meyakinkan dari Harvey adalah proses akumulasi kapital selalu menyertakan produksi ruang dalam proses produksi dan reproduksi.
Kerangka pemikiran ini dilanjutkan oleh Henri Lefebre (1991) yang mengungkapkan bahwa ekspansi sistem produksi kapitalis (pariwisata) memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar produksi yang bercorak kapitalistik bisa meluas secara geografis (geographic expansion). Perspektif reorganisasi ruang mengacu kepada: pertama, ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan dan grand design. Kedua, ruang material dimana kita hidup; ketiga, praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi berbagai keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian negara, korporasi, atau rakyat.
Relasi tiga aktor ini memengaruhi praktik tata ruang. Keterlibatan penguasa (pemerintah) dengan kepentingan serta kemauan politiknya sebagai cara memacu pertumbuhan dan sekaligus sebagai instrumen perubahan Bali yang mengacu pada pembangunan untuk modernitas, menuju kemajuan, dan menjadi ruang global metropolitan atau Bali kosmopolitan.
Sold Out?
Massifnya “menjual Bali” melalui reogranisasi ruang ini perlahan namun pasti akan menjadikan Bali sold out, habis terjualnya setiap jengkal tanah Bali kepada pemilik modal finansial di berbagai sektor, tidak hanya pariwisata meski menjadi sektor yang dominan.
Reorganisasi ruang dalam penciptaan obyek-obyek pariwisata baru sejatinya adalah sebuah area dan alat yang berfungsi melestarikan tatanan ekonomi-politik. Ruang yang berbagai macam kepentingan berada di dalamnya memiliki karakteristik interaktif dari investor/kapitalis (pengusaha), negara (pemerintah), dan masyarakat (termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian di bidang ekologi). Oleh sebab itu, konflik dan kontestasi antar aktor dalam praktik tata ruang tidak bisa dihindari. Gagasan ini diungkapkan oleh Lefebvre (1991) yang menyatakan bahwa ruang adalah produk politik dan instrumen bagi perubahan sosial ekonomi sehingga ruang itu tidak netral dan pasif. Ruang sebagai produk politik mengakibatkan praktik tata ruang tidak pernah bebas dari keberpihakan aktor yang membuat regulasi tata ruang.
Salah satu sketsa penting dari massifnya reorganisasi ruang akibat pariwisata adalah terlepasnya modal komunitas, dalam hal ini tanah dan juga tenaga kerja, yang semakin menyusut terjual kepada investor dan sebagian masyarakat Bali yang semakin tergantung dengan upah pemilik bisnis pariwisata. Hal ini sudah sedemikian jamak terjadi di Bali, yang sebenarnya menyatakan pemberian gratis hak istimewa dan kekuasaan yang sedemikian besar kepada (para pemilik) modal finansial, dalam hal ini adalah pemilik modal investasi pariwisata yang terus-menerus merangsek menerabas ruang-ruang hidup masyarakat.
Situasi inilah yang membuat pemerintah dan warga suatu bangsa semakin tergantung pada pemilik modal finansial. Herry-Priyono (2022: 10) dengan mengutip Claus Offe merumuskan gejala ini dengan pernyataan tajam: “bentuk kelembagaan negara bisa saja diatur melalui prosedur demokrasi dan perwakilan, tetapi isi materialnya ditentukan oleh prasyarat akumulasi modal”. Bagi para pemilik modal, globalisasi adalah berkah. Bagi mereka yang tidak punya, globalisasi adalah kutukan. Sedang bagi mereka yang ada di antara keduanya, globalisasi adalah ambivalensi. Apa yang kemudian terjadi adalah kesenjangan yang semakin tajam. Fragmen pernyataan itu lambat laun semakin nyata terjadi di Bali, ketimpangan semakin menganga, sementara permasalahan perjuangan menghadapi hidup (bagi orang Bali), seringkali dijalani dengan getir hingga mereka kalah dan memilih untuk bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA
Harvey, David. (1985). The Urbanization of Capital: Studies in the History and Theory of Capitalist Urbanization. Oxford UK: Blackwell.
Harvey, David. (2012). Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution. London: Verso.
Herry-Priyono, B. (2022). Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme. Jakarta: Kompas.
Lefebvre, Henri. (1991). The Production of Space. translate by Donald Nicholson-Smith. Cambridge MA: Blackwell.
1 Lihat: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c14ld7l1gyeo (diakses 25 Februari 2025).
2 Lihat: https://badungkab.go.id/kab/berita/60444-rapat-koordinasi-dpmptsp-kabupatenkota-se-bali#:~:text=Kepala%20DPMPTSP%20Badung%20I%20Made,Jumat%20(1/11).
(Diakses 25 Februari 2025).