Teks dan Foto Astarini Ditha
Dari keuletan merekalah nyala api pariwisata di sana tak meredup.
Bali dari berbagai sudut memang selalu seksi digunjingkan. Kemasyhuran Bali dihembuskan angin pariwisata yang mengemas kearifan lokal, alam, budaya, seni dan tingkah polah masyarakatnya sebagai komoditi. Hal yang diingat wisatawan ketika meninggalkan Bali bisa jadi, sepotong senja di Tanah Lot, lezatnya kuliner Bali, menawannya panorama rice terrace atau megahnya ritual dan tradisi orang Bali.
Ubud salah satu destinasi wisata yang sayang untuk tak dibicarakan. Desa ini konon tempatnya para pencari spiritual healing bermukim. Bangunan restoran, hotel mewah, spa dan sajian kenikmatan duniawi lainnya bak memajang wajah angkuh di hadapan masyarakat “kelas bawah”, yang jarang terengkuh fasilitas mewah ini. Padahal, dari keuletan merekalah nyala api pariwisata di sana tak meredup.
Ibarat pohon kian menjulang, kian rentan kocak digoyang angin. Tak perlu dibantah, seberapa seringnya pariwisata di Bali jatuh bangun, masyarakatnya tetap bertahan bekerja di sektor itu. Pariwisata di Bali memang mengundang decak kagum wisatawan. Juga mendulang dolar dari kantong-kantong para pelancong. Tapi, siapa saja yang menikmati?
Ketika ribuan dolar mengalir ke Bali dan Kuta, jangan tanya, seberapa banyak dolar didapat Ibu Wayan Mandeg selama 5 tahun menjual barang seni di Lodtunduh, Ubud. Jangankan dolar, rupiah saja yang datang ia syukuri. Ya, sejak lima tahun lalu di sudut jalan sebelum turunan dari arah Londtunduh menuju Singapadu, Gianyar, sekitar 15 km timur laut Denpasar, ia telah merintis usahanya menjual tapel batu pilah.
Tapel, topeng batu pilah ini dicari orang kebanyakan untuk hiasan dinding. “Ada itu orang yang seni, setiap satu meter temboknya diberi hiasan topeng, maselat-selat, terpisah-pisah,” selorohnya dengan logat khas. Seperti kebanyakan topeng lainnya, ekspresi wajah oranglah yang dipahat dalam topeng batu ini. Hanya berbeda media untuk memahatnya.
Sebelum menjual topeng batu, Mandeg bekerja sebagai pencari bias, pasir. Namun, lama-lama ketersediaan pasir habis oleh para pencari batu paras. “Pasir-pasir itu diurug, ditimbun,” kenangnya.
Oleh almarhum suaminya yang meninggal setahun lalu, ia disuruh mencari batu untuk dijual. Dulunya, sang suami pembuat togog, patung batu besar. “Membuat togog tidak laku karena sudah banyak dijual,” ujarnya. Lalu, mereka menemukan ide lain untuk diubah menjadi barang seni sedikit berbeda.
Bahan mereka kumpulkan dari batu-batu di sungai. Usia tua menggerogoti tenaganya yang tak lagi “perkasa”. “Tiang tidak kuat lama-lama di dalam air,” ujarnya.
Lalu banyak tetangga membantu. Salah satunya beberapa wanita paruh baya yang lewat di hadapan kami. Mereka nyuwun (menjinjing di kepala) sekeranjang batu. Untuk sekeranjang batu mereka dihargai Rp 3.000,-. “Dalam sehari kadang mereka polih, dapat hingga 5 keranjang,” sambungnya. Nominalnya memang tidak banyak, apalagi tidak setiap hari mereka mendapat batu.
“Anak dan saudara saya yang bekerja memahat topeng batu ini,” tambahnya. Untuk satu topeng, menurutnya menghabiskan waktu setengah hari. Sehari itu paling banyak 3 buah. Kedua putranya adalah seniman, mengerjakan barang-barang seni. Satu tukang pahat topeng batu satunya lagi sebagai tukang ukir kayu di Singapadu.
Sebuah topeng batunya dihargai Rp 10.000 hingga Rp 40.000. Murah, tentu saja. Topeng seharga Rp 40.000 itupun dibeli tamu, bule. Dalam seminggu, rata-rata ia hanya dikunjungi tiga pembeli. Itupun tak banyak yang dibelanjakan, sekitar 1-3 topeng. “Ada orang Bali, ada dari tamu,” jelasnya.
Pada tahun 2010, berdasarkan salah satu majalah travel di US Conde Nast Traveler desa seni Ubud pernah dinobatkan sebagai best city in Asia. Saya pun bertanya padanya, ibu pernah mendengar soal itu. Tidak jawabnya. Lalu pertanyaan lain saya lontarkan. Ibu tahu pariwisata di Ubud bagus, banyak bule yang datang. Lalu ia menyahut dalam bahasa Bali. “Denger-denger sih begitu kata orang banyak bilang begitu,” ujar perempuan asli Lodtunduh Ubud yang pernah bersekolah hingga kelas 3 SD ini. [b]