Bagi para penggemar cerita silat era 60-70an, nama Kho Ping Hoo tentu tidak asing lagi.
Beberapa karyanya seperti Sepasang Pedang Iblis, Petualang Asmara, Pendekar Gunung Lawu, Sepasang Rajawali, Bu Kek Sian Su, dan Dewi Sungai Kuning bisa dibilang menjadi cerita yang paling digemari kala itu.
Pada bulan April ini Bentara Budaya Bali (BBB) menyelenggarakan pameran visual dan cerita bertajuk “Memorabilia Kho Ping Hoo”. Pameran yang akan dibuka pada Sabtu (27/04) oleh seniman dan budayawan, Made Wianta ini menghadirkan memorabilia di seputar kehidupan cipta Kho Ping Hoo, beberapa buku karya awalnya yang langka, termasuk wujud visualnya.
“Kho Ping Hoo boleh dikata adalah salah satu pengarang yang luar biasa. Karya-karyanya bukan hanya menarik untuk dibaca, namun imajinasi kisahannya senantiasa hidup di kepala para pembaca,“ tutur Tommy Johan Agusta, penikmat cerita Kho Ping Hoo yang tergabung dalam Komunitas Bali Comics.
“Kho Ping Hoo adalah seorang sastrawan. Hanya sayangnya di zaman itu posisi karya-karya masyarakat Cina peranakan di Indonesia belum begitu mendapat perhatian,” tambahnya.
Dalam menggarap karyanya yang dicetak dalam bentuk buku, Kho Ping Hoo pernah bekerjasama dengan beberapa ilustrator, dua di antaranya yang paling sering adalah Yohanes dan Sriwidjono. Yang menarik di sini adalah baik Hoo maupun ilustrator-ilustratornya sama-sama belum pernah menginjakkan kaki ke tanah Tiongkok. Sehingga, dalam membuat ilustrasi, mereka saling berbagi imajinasi tentang tanah Tiongkok yang menjadi setting dominan dalam karyanya.
Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo merupakan penulis fiksi kelahiran Sragen 1926. Ia adalah putra Indonesia keturunan Tionghoa. Adapun tema cerita yang rajin diangkatnya adalah mengenai dunia silat. Ia banyak menulis cerita silat berlatar Tiongkok, tetapi banyak juga karya-karyanya yang berlatarkan budaya Jawa.
Ia mulai berkarya pada tahun 1958, dan secara berangsur meninggalkan pekerjaan serabutan yang sebelumnya menjadi sumber penghidupannya. Ceritanya yang bernuansa fantasi itu ternyata mampu menarik perhatian pembaca dan ia pun berkarya secara produktif. Terhitung lebih dari 400 karya yang dihasilkannya dalam kurun waktu 30 tahun. Karya silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih.
Kho Ping Hoo pernah tinggal di Tasikmalaya, kemudian berpindah ke Solo untuk berkarier di bidang kepengarangan. Dari rumahnya di Gandekan, Solo inilah lahir cerita silat yang digemari oleh masyarakat luas. Di Gandekan pula dirinya mendirikan penerbitan dan percetakan Gema, yang salah satu kegiatannya mencetak serta menyebarkan karya-karyanya sendiri.
Pada 22 Juli 1994, legenda cersil ini meninggal dunia akibat serangan jantung. Namun, karya-karyanya tetap dikenang dan hingga kini masih banyak khalayak yang membaca karya-karyanya. Karya-karyanya menjadi legenda dalam dunia penulisan fiksi Indonesia.
Pameran ini berlangsung hingga 6 Mei 2013 mendatang, selain itu akan dimaknai pula dengan diskusi telaah sejarah Tionghoa di Bali pada Sabtu (4/5) dan memperbincangkan sosok serta karya Kho Ping Hoo bersama Bali Comics pada Minggu (5/5). [b]
Teks dan ilustrasi dari Bentara Budaya Bali.