Cahaya berpendar dari sebentang kelir itu. Di sekitarnya gelap.
Nampak siluet bulan dan sosok bertangan enam yang tengah menari. Samar bayangan perempuan duduk anggun di sebelahnya. Kentara dari gelungan, hiasan rambut yang ia kenakan. Terus keenam tangan itu menari, hingga siluet bulan itu ikut bergetar. Para penari muncul. Delapan penari tengah duduk anggun ketika kelir di singkap.
Lalu Ayu Laksmi, sang penyanyi, pun menembangkan lagunya, Maha Asa. Di babak setelahnya, anak-anak yang menyaru menjadi kera-kera kecil muncul. Mereka diam duduk patuh di antara para penari.
Lagu berikutnya ditembangkan Ayu Laksmi: Wirama Totaka, kidung bagi sang Dewi Bulan lalu berlanjut ke Breathing. Jeda di antara lagu itu, ada sebuah fragmen yang menceritakan lakon Niang-niang, cerita tentang kera jelita yang meminta keadilan berkah dari Sang Durga.
Niang-niang itulah yang menjadi “isi” drama berdurasi kurang dari sejam itu. Berlatar sebuah batu besar dekat pepohonan saat bulan purnama, seekor kera tengah bertengger. “Niang-niang, tiang manawi bojog, saya ada pun adalah seekor kera. Begitu kalimat yang dituturkan sang narator dan penulis naskah: Cok Sawitri.
Kera yang diperankan Dayu Ani dari Bumi Bajra itu tengah meratapi dirinya. Wajahnya jelita tapi hanya sepenggal kepala sisanya berwujud kera dengan bulu-bulu panjang menjuntai. Dan ia pun meminta kepada Durga agar diberkati diberi kecantikan yang sempurna yang utuh, sebagai manusia.
Durga yang diperankan oleh penari legenda Bulan Trisna Jelantik pun menyahuti: “Itu hukuman bagimu, menjadi setengah kera”. Ia pun meminta keadilan pada sang Bhatari dan tak beroleh restu. Karena karma, bagaimanapun juga tak mungkin mengajarkan dharma kepada seekor kera. Begitu kata-kata sang narator memecah hening.
Nah, Niang-niang akhirnya menangis. Ia pun meraung, setiap purnama datang: Niang-niang…
Itulah cukilan drama musikal Svara Sevesta kolaborasi Bumi Bajra dan beberapa seniman Bali di Ksiarnawa Art Center pada 3 Juli lalu. Sajian drama musikal semi kolosal yang ciamik baik musik dan artistik; lighting oke, narasi ceritanya yang satir bin nyentil.
Suatu karya kerap dibikin sebagai “senjata”, untuk kritik sosial. Dari dialog antara Niang-niang dan Bhatari Durga, itu setidaknya saya simak, dihadirkan dari drama itu. Penguasa adalah yang disentil. Mereka yang tidak mengharagi atau mengganggap remeh dunia seni. Seperti narasi sang narator: “Lupa memperlakukan sastrawan dan seniman. Menganggapnya hanya begundal.”
“Lihat saja tiap pentas dalam even pesta kesenian, seniman-seniman itu diangkut dengan truk,” kata sang narator. Padahal, sambung sang narator, tidakkah mereka paham ajaran-ajaran luhur dalam sastra. Desa Kala Patra, Sutasoma yang mengajarkan ajaran moral dicontohkannya.
“Itulah hukumannya bagi para penguasa, kini melihat negerinya kacau balau”, sergahnya.
Kisah itu pun berakhir, ketika I Niang-niang di lantai terkapar.
Di setiap babak, Ayu Laksmi menembangkan lagu-lagunya: Breathing dan Om Mani Padme Hum. Dalam satu babak lain, lagu shalawat ditembangkan mengiringi para penari yang membawa rabana.
Niang-niang, dari cerita Cok Sawitri adalah cerita yang hidup di Sidemen. Jadi itu menceritakan soal hantu yang tinggal di dajan rurung, sebelah utara rumah kakeknya di dekat sungai. “Kalau terdengar niang niang, itu artinya ada yang meninggal di dajan rurung, “ jelasnya.
Nah, lanjut Cok, kata orang yang mengintip, niang-niang itu kera berwajah manusia, cantik. Niang-niang oleh masyarakat di desa Cok dikatakan sebagai pelancah, pelayan betara di Dalem. Cerita pun direkayasa dan dikembangkan. “Agar jadi kisah kumasukkan tentang Durga,” lanjutnya.
Drama musikal itu pun berakhir saat para pengisi acara sama-sama tampil di pentas, diiringi lagu reinkarnasi. Larut bersuka cita. [b]
Saya jadi berandai-andai agar dapat menyaksikan acara ini :).
Saya beruntung menjadi salah satu penonton pentas ini, duduk bersila di depan bibir panggung, terkagum dengan semua pendukung acara yang begitu metaksu. Sebuah karya pementasan kontemporer yang tak terlupakan.
Sedikit mengabadikan Live Theatrical Music Performance Ayu Laksmi – Svara Semesta at PKB 2011.
saya adalah orang yang beruntung,,,karena menonton acara ini “sungguh tidak terlupakan”…taksu muncul dari semua pendukung acara,,,,terutama anak anak maha bajra sandhi (MBS)…sukses buat mbok ayu laksmi…