• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
Friday, December 1, 2023
  • Login
  • Register
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong.id
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Niang-niang, Mengemas Mitos Ke Atas Pentas

Astarini Ditha by Astarini Ditha
15 July 2011
in Berita Utama, Budaya, Kabar Baru
0 0
3
Sajian drama musikal semi kolosal yang ciamik baik musik dan artistik. Foto Astarini Ditha.

Cahaya berpendar dari sebentang kelir itu. Di sekitarnya gelap.

Nampak siluet bulan dan sosok bertangan enam yang tengah menari. Samar bayangan perempuan duduk anggun di sebelahnya. Kentara dari gelungan, ­hiasan rambut yang ia kenakan. Terus keenam tangan itu menari, hingga siluet bulan itu ikut bergetar. Para penari muncul. Delapan penari tengah duduk anggun ketika kelir di singkap.

Lalu Ayu Laksmi, sang penyanyi, pun menembangkan lagunya, Maha Asa. Di babak setelahnya, anak-anak yang menyaru menjadi kera-kera kecil muncul. Mereka diam duduk patuh di antara para penari.

Lagu berikutnya ditembangkan Ayu Laksmi: Wirama Totaka, kidung bagi sang Dewi Bulan lalu berlanjut ke Breathing. Jeda di antara lagu itu, ada sebuah fragmen yang menceritakan lakon Niang-niang, cerita tentang kera jelita yang meminta keadilan berkah dari Sang Durga.

Niang-niang itulah yang menjadi “isi” drama berdurasi kurang dari sejam itu. Berlatar sebuah batu besar dekat pepohonan saat bulan purnama, seekor kera tengah bertengger. “Niang-niang, tiang manawi bojog, saya ada pun adalah seekor kera. Begitu kalimat yang dituturkan sang narator dan penulis naskah: Cok Sawitri.

Kera yang diperankan Dayu Ani dari Bumi Bajra itu tengah meratapi dirinya. Wajahnya jelita tapi hanya sepenggal kepala sisanya berwujud kera dengan bulu-bulu panjang menjuntai. Dan ia pun meminta kepada Durga agar diberkati diberi kecantikan yang sempurna yang utuh, sebagai manusia.

Durga yang diperankan oleh penari legenda Bulan Trisna Jelantik pun menyahuti: “Itu hukuman bagimu, menjadi setengah kera”. Ia pun meminta keadilan pada sang Bhatari dan tak beroleh restu. Karena karma, bagaimanapun juga tak mungkin mengajarkan dharma kepada seekor kera. Begitu kata-kata sang narator memecah hening.

Nah, Niang-niang akhirnya menangis. Ia pun meraung, setiap purnama datang: Niang-niang…

Itulah cukilan drama musikal Svara Sevesta kolaborasi Bumi Bajra dan beberapa seniman Bali di Ksiarnawa Art Center pada 3 Juli lalu. Sajian drama musikal semi kolosal yang ciamik baik musik dan artistik; lighting oke, narasi ceritanya yang satir bin nyentil.

Suatu karya kerap dibikin sebagai “senjata”, untuk kritik sosial. Dari dialog antara Niang-niang dan Bhatari Durga, itu setidaknya saya simak, dihadirkan dari drama itu. Penguasa adalah yang disentil. Mereka yang tidak mengharagi atau mengganggap remeh dunia seni. Seperti narasi sang narator: “Lupa memperlakukan sastrawan dan seniman. Menganggapnya hanya begundal.”

“Lihat saja tiap pentas dalam even pesta kesenian, seniman-seniman itu diangkut dengan truk,” kata sang narator. Padahal, sambung sang narator, tidakkah mereka paham ajaran-ajaran luhur dalam sastra. Desa Kala Patra, Sutasoma yang mengajarkan ajaran moral dicontohkannya.

“Itulah hukumannya bagi para penguasa, kini melihat negerinya kacau balau”, sergahnya.

Kisah itu pun berakhir, ketika I Niang-niang di lantai terkapar.

Di setiap babak, Ayu Laksmi menembangkan lagu-lagunya: Breathing dan Om Mani Padme Hum. Dalam satu babak lain, lagu shalawat ditembangkan mengiringi para penari yang membawa rabana.

Niang-niang, dari cerita Cok Sawitri adalah cerita yang hidup di Sidemen. Jadi itu menceritakan soal hantu yang tinggal di dajan rurung, sebelah utara rumah kakeknya di dekat sungai. “Kalau terdengar niang niang, itu artinya ada yang meninggal di dajan rurung, “ jelasnya.

Nah, lanjut Cok, kata orang yang mengintip, niang-niang itu kera berwajah manusia, cantik. Niang-niang oleh masyarakat di desa Cok dikatakan sebagai pelancah, pelayan betara di Dalem. Cerita pun direkayasa dan dikembangkan. “Agar jadi kisah kumasukkan tentang Durga,” lanjutnya.

Drama musikal itu pun berakhir saat para pengisi acara sama-sama tampil di pentas, diiringi lagu reinkarnasi. Larut bersuka cita. [b]

Tags: AgendaDenpasarSeniteater
ShareTweetSendSend
Anugerah Jurnalisme Warga 2021
Astarini Ditha

Astarini Ditha

Related Posts

TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

19 October 2023
Mengunjungi Hidden Gem Ruang Terbuka Hijau Privat di Denpasar

Mengunjungi Hidden Gem Ruang Terbuka Hijau Privat di Denpasar

8 October 2023
Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, Alternatif Pengarsipan Sejarah

Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, Alternatif Pengarsipan Sejarah

22 August 2023
Ini Kisahmu: Ni Pollok Gadis Bali

Ini Kisahmu: Ni Pollok Gadis Bali

14 July 2023
Cerita Rasa

Cerita Rasa Festival: Rintisan Festival Desa di Jembrana

6 August 2022
In Jazz We Trust, Perayaan Jazz secara Hibrida

In Jazz We Trust, Perayaan Jazz secara Hibrida

29 April 2021
Next Post
Menantang Karang Bergoyang Pantai Suluban

Menantang Karang Bergoyang Pantai Suluban

Comments 3

  1. Cahya Legawa says:
    12 years ago

    Saya jadi berandai-andai agar dapat menyaksikan acara ini :).

    Reply
  2. saylow says:
    12 years ago

    Saya beruntung menjadi salah satu penonton pentas ini, duduk bersila di depan bibir panggung, terkagum dengan semua pendukung acara yang begitu metaksu. Sebuah karya pementasan kontemporer yang tak terlupakan.

    Sedikit mengabadikan Live Theatrical Music Performance Ayu Laksmi – Svara Semesta at PKB 2011.

    Reply
  3. pak gadis says:
    12 years ago

    saya adalah orang yang beruntung,,,karena menonton acara ini “sungguh tidak terlupakan”…taksu muncul dari semua pendukung acara,,,,terutama anak anak maha bajra sandhi (MBS)…sukses buat mbok ayu laksmi…

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Melali Melali Melali

Temukan Kami

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Suka Duka Queer di Bali

Mengenal Ruang Aman QLC Bali

29 November 2023
Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

27 November 2023
Begini Lho Cara Menjelajah Nusa Penida dengan Cara Berbeda

Sekolah Perempuan oleh Bali Sruti

26 November 2023
Difabel, Pandemi, dan Perjuangan Inklusi

Kampanye Hak Alat Bantu Disabilitas

25 November 2023
Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

Perjuangan Perempuan di Konsesi Lahan TWA Gunung Batur

24 November 2023

Kabar Terbaru

Suka Duka Queer di Bali

Mengenal Ruang Aman QLC Bali

29 November 2023
Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

Kebijakan Kendaraan Listrik, Sumber Bahan Bakarnya dari Mana?

27 November 2023
Begini Lho Cara Menjelajah Nusa Penida dengan Cara Berbeda

Sekolah Perempuan oleh Bali Sruti

26 November 2023
Difabel, Pandemi, dan Perjuangan Inklusi

Kampanye Hak Alat Bantu Disabilitas

25 November 2023
BaleBengong.id

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In