Bali memang pulau penuh pesona.
Tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri. Begitu pula Tegallalang. Salah satu kecamatan di Kabupaten Gianyar ini, tidak hanya terkenal dengan agrowisata dan kerajinan tangan, tetapi juga keunikan adatnya.
Jangan kaget jika pada 12 Oktober 2016 lalu, Anda melihat parade di sepanjang jalan Desa Pakraman Tegallalang dengan riasan menyeramkan. Mereka tidak sedang merayakan Halloween seperti di Amerika. Tetapi, itu adalah rangkaian upacara yang dilakukan menjelang puncak piodalan di Pura Duur Bingin.
Ngerebeg, begitulah upacara yang dilaksanakan setiap Rabu Kliwon Pahang itu dinamai. Uniknya, upacara ini mewajibkan pesertanya untuk merias diri seseram mungkin. Mereka menggunakan berbagai macam riasan dan membawa perlengkapan berupa penjor serta alat upacara lainnya.
Hal tersebut ternyata tidak bertujuan sebagai hiburan semata. Dia juga bermakna untuk menghormati panjak Pura Duur Bingin yang berwujud wong samar serta leluhur pura tersebut.
Pande Wayan Karsa, tokoh masyarakat setempat menyatakan bahwa dalam perjalanannya, upacara ini mengalami beberapa perkembangan. Awalnya hanya diusung oleh dua banjar. Pada perkembangan selanjutnya, Ngerebeg diusung oleh satu desa pakraman yang terdiri dari tujuh banjar.
Banjar-banjar tersebut adalah Tegallalang, Triwangsa, Tegal, Tengah, Penusuan, Gagah, dan Pejengaji. Pengayahnya pun terdiri dari berbagai umur, mulai dari siswa SD, SMP, hingga orang-orang dewasa.
“Kalau dilihat dari jumlah pengayah, dulu hanya sedikit, tetapi sekarang sudah berkembang menjadi sangat banyak,” ujar Karsa.
Dia menambahkan pada sekitar 1963 atau 1965, hampir seluruh pengayah ikut menyiapkan sarana upacara, mulai dari mencari bunga, sayuran, hingga memanjat pohon kelapa untuk mencari janur. Namun saat ini, pengayah golongan muda cenderung tidak pernah mengambil bagian yang terlalu berat seperti memanjat pohon kelapa itu.
“Biasanya mereka hanya menyiapkan penjor dan bunga,” tambah Karsa.
Perkembangan pada upacara Ngerebeg ini ternyata tidak hanya dari segi jumlah pengayah dan tugas-tugasnya saja, tetapi juga dari segi rute perjalanannya. Dulu, perjalanan dimulai dari Pura Duur Bingin sampai ke Tirta Empul di Kecamatan Tampaksiring. Selanjutnya sembahyang di Pura Tanjung Sari dan kembali lagi ke Pura Duur Bingin.
Jarak yang ditempuh pada waktu itu lebih jauh daripada jarak yang ditempuh dalam upacara Ngerebeg zaman sekarang, di mana rutenya hanya di seputaran Desa Pakraman Tegallalang saja.
Meskipun dilaksanakan berulang tiap enam bulan, upacara ini tidak pernah kehilangan antusiasme pengayahnya. Mereka selalu totalitas dalam mengikuti tradisi tersebut meskipun menempuh jarak cukup jauh dengan berjalan kaki.
Pande Wayan Karsa mengharapkan agar tradisi Ngerebeg ini dapat tetap berjalan seperti kaidah seharusnya, sekalipun zaman terus berkembang ke arah modernisasi. Beliau tidak ingin tradisi ini kehilangan keunikan serta esensinya. [b]