Detik berdetak. Sebuah galaksi biru melingkar di layar desktop.
Enam folder menyudut di kiri atas dan tergantikan empat folder di tengah layar setelah detik kelima. Jendela aplikasi pemroses kata terbuka. Huruf-huruf kemudian menjalin kata, menjalin kalimat: “Aku sedang sibuk mencari diriku. Ada yang tahu aku ke mana?”
Gambaran di atas adalah pembuka pementasan “Bayang-bayang di Kamar Desktop“. Pementasan digital tersebut ditayangkan perdana pada Rabu, 24 Juni 2020 di kanal YouTube Teater Kalangan sebagai bagian dari program Dini Ditu Kalangan. Pementasan ini disutradarai dan dimainkan oleh Jong Santiasa Putra serta dirajut oleh Rizky Pepi Afriansyah.
Sesuai catatan yang ditulis Jong di kolom deskripsi video, pementasan “Bayang-bayang di Kamar Desktop” adalah sebuah gambaran betapa manusia bisa menciptakan berlapis-lapis makna dalam dunia digital. Lapisan-lapisan ini yang kemudian justru membingungkan diri untuk mencari siapa jati diri kita sebenarnya dalam realitas digital maupun fisik.
Pementasan ini adalah ruang bermain dalam mencari diri yang linglung dalam dunia digital yang hampir tak berbatas. “Seolah semuanya samar-samar, semuanya bayang-bayang. Atau jangan-jangan bayang-bayang itulah kita sebenarnya?” begitu kata Jong.
Format pementasan seperti ini menarik sebab ini adalah kali pertama saya mengalaminya. Biasanya, jika ingin menonton pementasan teater secara digital, saya tentu akan mengalaminya melalui format rekaman video. Namun, “Bayang-bayang di Kamar Desktop” bukanlah sekadar rekaman dari aktor-aktor yang berteater di atas panggung. Justru desktop itulah panggungnya, dan segala elemen-elemen yang hadir di dalamnya menjelma aktor, suara, dan cahaya dalam sebuah rajutan cerita.
Berbekal pengetahuan soal teater yang begitu cetek, saya sempat bertanya pada Jong, apakah karya yang ia suguhkan bisa disebut sebagai pementasan teater. Ia menjawab ya, sebab terlepas dari wahana yang tidak lazim digunakan, unsur-unsur yang ada dalam pementasan teater tetap hadir di sana: naskah, tokoh, dramaturgi, dan unsur pendukung lainnya.
“Bayang-bayang di Kamar Desktop” terbagi dalam empat babak (semoga pembacaan saya tidak salah): Aku, Bertanya, Melihat, Mencari. Hal ini terlihat dari folder yang selalu berjajar di tengah layar desktop sebagai penanda berakhir sekaligus dimulainya suatu babak. “Aku” adalah subjek, tiga sisanya adalah kata kerja.
Bagi saya, inilah cara-cara Jong, kalau tidak bisa dibilang sebagai tahapan-tahapan, untuk menemukan dirinya di layar desktop.
Pertama-tama, Jong mencari dirinya dalam puisi-puisi yang telah ia tulis. Caranya menarik: ia mengetik kata “aku” pada kolom pencarian di dalam dokumen, lalu ia menyalin kalimat-kalimat yang tersisipi kata “aku” pada suatu dokumen baru. Sambil ia melakukannya, suara dari Google Translate hadir dalam berbagai aksen untuk membacakan isi kepalanya: “Anggap saja hari ini, hari ke-100 aku di kamar. Aku sedang mencari diriku di layar desktop.”
Setelah salinan larik-larik bersisipan “aku” semakin memanjang, suara Google Translate mulai membacakannya, tumpang tindih dengan suara sebelumnya. Membaca puisi yang sedang ditulis dan belum final; bukankah itu yang sedang dan selalu kita lakukan sebagai manusia? Membaca hidup sambil menghidupinya, menerka-nerka artinya.
Kedua, Jong bertanya. Menanyakan dirinya, meminta bantuan dari kawan-kawannya. Dalam babak ini, ia mulai menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Facebook, YouTube, Instagram. Sebelumnya, interaksinya dengan dunia internet hanya berlangsung dengan mesin pencari Google. Kali ini caranya bahkan lebih mudah, bertanya melalui pesan-pesan di WhatsApp dan status di Facebook.
Sembari menunggu dan membalas respons dari kawan-kawan, YouTube mulai mengambil alih. Dari kata kunci “aku filsafat”, video dokumentasi Pementasan Monolog “DOR” karya Putu Wijaya oleh Teater Kalangan, video Zakir Naik, semuanya diputar dengan tumpang tindih. “Aku” milik PAS Band diputar lamat-lamat (yang sesungguhnya membangkitkan jiwa MTV saya, seperti “Tentang Aku” yang diputar di babak sebelumnya), diakhiri dengan sebuah kalimat yang diketik dengan pelan: “Pada dasarnya aku hanya kebingungan mencari diri dalam sunyi berkepanjangan.”
Ketiga, Jong melihat. Melihat dirinya sendiri dalam tangkapan webcam. Jadi bulat, jadi pepat, jadi gelombang. Dalam babak ini, ia melihat lebih dalam jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Ia mulai mengikuti apa yang disarankan kawan-kawannya, bahkan mencari “aku” dalam tong sampah di desktopnya.
Dalam babak ini, saya harus bersabar melihat Jong membuka profilnya sendiri di Facebook, berulang-ulang membuka kolom komentar di status yang ia unggah. Terlihat agak membosankan, tapi bukankah pencarian terhadap diri senantiasa melibatkan pelbagai pengulangan yang seringkali juga menjemukan?
Keempat, Jong mencari. Ini adalah bagian paling menarik sebab ia begitu membingungkan: ada video berita terkait Pembebasan Kegiatan Masyarakat di Denpasar, video roller coaster, cuplikan film The Hours (2002), dan Google Street View yang bergerak.
Bisa-bisanya Jong mengetik “Aku tersesat bisakah membantuku” di kolom pencariannya! Bisa-bisanya ia menggunakan penunjuk jalan sebagai bahan puisi untuk menemukan dirinya! Untuk babak ini, saya tidak mau menceritakan lebih dalam, sebab ini adalah bagian yang paling saya favoritkan dalam pementasan ini dan Anda perlu mengalaminya sendiri.
Pandemi: Menyepi, Mencari Diri
Pandemi COVID-19 memaksa semua orang untuk berada lebih banyak di rumah dan menikmati waktu yang berjalan lambat. Tentu masih ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki pilihan sama untuk sepenuhnya di rumah saja, tapi toh akhirnya mereka tetap akan pulang. Rumah, lebih-lebih lagi kamar, mungkin menjadi ruang yang terlampau akrab dengan banyak orang di masa pandemi.
Di satu titik, orang-orang semakin muak akan dunia. Angka-angka semakin terus merangkak. Kasus positif tetap melonjak, kurva bahkan belum mencapai puncak. Pemerintah tidak bisa diharapkan. Dunia sedang menderita. Jika melihat “ke luar” begitu melelahkan, pandemi ini mengajarkan kita untuk melihat “ke dalam”, mengasah kepekaan diri atas diri.
Mengutip Saras Dewi dalam pidato yang dibacakannya pada Dies Natalis ke-50 Institut Kesenian Jakarta, “Ada yang terbuka dalam lipatan-lipatan baru dikarenakan wabah yang sedang terjadi. Kita sedang menyingkap hal-hal baru dalam kehidupan yang mungkin selama ini sempat terbengkalai.”
“Bayang-bayang di Kamar Desktop” lantas menjadi begitu relatable, berhubungan, dengan kondisi banyak manusia di era pandemi. Ia mampu menampilkan perasaan dan pertanyaan orang-orang yang terpaksa harus berada di rumah.
Dengan waktu yang semakin lengang, ruang yang terlalu akrab, pertanyaan-pertanyaan eksistensial menjadi kian mudah untuk dilontarkan. Familiaritas pun berperan karena pencarian terhadap diri kerap kali tidak membutuhkan banyak jarak. Seperti halnya Jong membuka folder-foldernya, memutar lagu-lagu penuh nostalgia, bertanya pada lingkaran pertemanannya.
“Bayang-bayang di Kamar Desktop”, layaknya pementasan teater pada umumnya, menunjukkan kesiapan yang matang. Namun, saya juga melihat organiknya pementasan ini, misalnya melalui jawaban-jawaban di kolom komentar Facebook, iklan sabun cuci muka di YouTube, atau salah-salah ketik dan klik.
Penataan jendela-jendela aplikasi di desktop, saya yakin, pasti bukan tanpa maksud. Di satu sisi, pementasan ini terlihat begitu chaos tapi di sisi lain terlihat jelas tujuan yang hendak dicapai. Bukankah kita terbiasa menyerakkan hal-hal untuk mencari sesuatu?
Karya yang relatable, tetapi disampaikan dengan cara yang tidak konvensional, tentu membuat saya berpikir lebih dalam. Karya seni yang baik, setidaknya bagi saya, salah satunya adalah yang membuat penikmatnya berpikir dan resah. “Bayang-bayang di Kamar Desktop” membuat saya resah sebab walaupun yang dicari dalam layar adalah Jong, saya jadi berpikir untuk menemukan diri saya juga. Cara yang saya gunakan bisa jadi berbeda dengan Jong, sebab saya, Jong, dan Anda punya kebebasan dalam upaya menemukan diri masing-masing.
Kebebasan yang Mencemaskan
Dalam karya magnum opusnya, Being and Nothingness (1943), Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Jika pemikiran filsuf Prancis itu bisa disarikan, kebebasan itu lantas membelenggu manusia sebab kebebasan berakibat pada pilihan-pilihan, sekecil apapun itu. Bahkan untuk tidak memilih pun merupakan suatu pilihan.
Manusia tidak bisa hanya berada-dalam-diri (être-en-soi), manusia tidak mampu untuk menjadi sebatas mengada. Manusia adalah berada-untuk-diri (être-pour-soi); ia memiliki hubungan dengan keberadaannya, menyadari keberadaannya dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada.
Berada-untuk-diri adalah kebebasan itu sendiri, sebab dengan kesadarannya, manusia terus berbuat, menuju yang belum, menuju yang tidak ada. Meniadakan diri untuk menjadi. Manusia bebas dalam pilihan untuk menentukan dirinya sebab tidak ada desain untuk menjadi manusia. Tidak ada tujuan universal.
Manusia menciptakan dirinya melalui apa-apa yang ia kerjakan, terus menerus. Bukankah dalam pementasan ini Jong menemukan sebagian “aku” dari apa yang ia telah kerjakan, dari karya-karyanya?
Betul, ia berhubungan dengan kawan-kawannya, menjadi berada-untuk-orang lain (être-pour-autrui), mencari dirinya melalui mata kawan-kawannya di babak-babak selanjutnya. Namun, setelah hampir 34 menit upaya menemukan “aku”, akhirnya ia kembali menuju berlapis-lapis folder untuk menemukan sebait puisi yang menyatakan bahwa ia tersesat. Dan puisi tersebut, bagi saya, mampu dengan tepat menggambarkan kecemasan manusia atas hidupnya yang bebas.
Pada akhirnya, Jong kembali kepada apa yang ia tulis di babak pertama: “ternyata aku tengah menjadi puisi”. Saya jadi teringat epilog Stasiun (1977) karya Putu Wijaya ketika tokoh utama, si orang tua, memperhatikan gelandangan yang membolak-balik daging kucing yang dibakar dalam api, dengan kaki perempuan gila yang masih menggantung: “Ini sebuah puisi.” “Bayang-bayang di Kamar Desktop” begitu lekat dengan puisi. Diri Jong begitu lekat dengan puisi.
Mungkin sebagaimana manusia-manusia lain, Jong tidak akan pernah berhasil menemukan dirinya. Ia akan terus tersesat, ia akan terus menjadi. Namun, jika diri manusia tercipta melalui apa yang dikerjakannya, maka Jong tetap akan menemukan puisi di sepanjang perjalanannya mencari “aku”. [b]
Comments 1