Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan perayaan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (ketidakbenaran).
Dalam wujudnya lebih filosofis, Galungan merupakan pengingat bagi umat Hindu untuk memenangkan kebenaran pikiran dalam dirinya. Tentunya kebenaran berdasarkan nilai-nilai agama Hindu. Karena itu, sama halnya dengan hari besar keagamaan lainnya, introspeksi dirilah inti perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Umat Hindu, terutama di Bali, harusnya kini benar-benar melakukan instrospeksi diri. Sebab, realitas di pulau dewata memberi gambaran betapa ada banyak kekalahan yang sedang dialami di Pulau Bali yang merupakan basis massa terbesar pengusung perayaan Hari Raya setiap 210 hari sekali ini.
Kekalahan demi kekalahan pikiran dan nurani umat Hindu Bali sebenarnya sangat terang benderang di depan mata kita. Wujud kekalahan tersebut bermanifestasi dalam laku dan cara berpikir dalam menghadapi setiap masalah hidup. Salah satunya adalah merajalelanya konflik bernuansa adat. Konflik yang berkelindan dengan keyakinan agama di tanah Bali seakan-akan tidak pernah berhenti.
Semakin modern manusia Bali, justru konflik menjadi semakin mudah tersulut. Bahkan dalam hal-hal yang bersifat ritual, masyarakat bisa berkonflik. Contoh kasus adalah perdebatan tentang siapa yang berhak muput upacara besar di Pura Besakih. Atau contoh kasus terkini adalah apa yang terjadi antara dua kelompok di Klungkung dalam konflik menyangkut pura dalem.
Bahkan, konflik terjadi justru ketika sebuah upacara suci ritual akan digelar. Kedua belah pihak yang berkonflik masing-masing meyakini kebenarannya sehingga tidak berhasil menemukan kesepakatan.
Banyak lagi kasus konflik di antara manusia-manusia Bali. Mereka memberikan gambaran kepada kita betapa egoisme begitu menguat dan kebenaran menjadi memiliki perspektif beragam tergantung penafsiran kelompok yang berkepentingan. Semakin hari, semakin sulit mendamaikan konflik bernuansa adat karena kebenaran yang diyakini kelompok adalah kebenaran paling tunggal. Kebenaran dari pihak yang diajak berkonflik merupakan kebenaran yang harus dilenyapkan.
Menuju Keruntuhan
Dalam bidang ekonomi, kekalahan umat Hindu di Bali semakin terlihat nyata. Bahkan, dalam sektor ekonomi yang paling mendasar sekalipun seperti pertanian, kekalahan demi kekalahan terus mendera. Peradaban Bali yang dijiwai kehidupan agraris hanya menunggu waktu menuju keruntuhannya.
Tingginya angka alih fungsi lahan dan alih kepemilikan merupakan indikasi kuat betapa kehidupan petani mungkin hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu di masa mendatang. Sementara ritual keagamaan di tanah Bali hingga hari ini sesungguhnya sangatlah tergantung dari sektor pertanian. Terutama untuk pemenuhan sarana-sarana pelaksanaan ritual.
Ironisnya, pemenuhan bahan-bahan ritual setiap perayaan hari raya di Bali, kini tidak lagi dari tanah Bali sendiri melainkan harus didatangkan dari luar Bali. Janur dan buah-buahan, misalnya, hampir sebagian besar harus didatangkan dari luar tanah Bali. Padahal, jika saja kebutuhan-kebutuhan ini bisa dipenuhi sendiri oleh petani-petani di Bali, maka sektor ekonomi masyarakat Bali terutama pertanian akan sangat terbantu.
Kekalahan dalam bidang ekonomi kemudian merambah jauh pada pendangkalan makna-makan religius keagamaan. Makna filosofis tergantikan dengan mudah oleh makna-makna artifisial. Perayaan Hari Raya hanya ramai pada permukaan, ditengarai dari kesibukan-kesibukan ritual di setiap komunitas mulai dari keluarga banjar hingga desa adat. Lalu setelah ritual-ritual dituntaskan, pelepasan-pelepasan kepenatan kemudian menjadi pilihan dengan melakukan plesiran-plesiran. Bagi masyarakat perkotaan, plesiran dilakukan ke pusat-pusat perbelanjaan yang celakanya sebagian besar juga tidak dimiliki oleh kekuatan ekonomi masyarakat lokal di Bali.
Kekalahan terbesar umat Hindu tercermin dari masih kuatnya kehidupan-kehidupan yang menganggungkan kehidupan hedonis, pemujaan terhadap meteri. Generasi muda terombang-ambing dalam pemahaman-pemahaman materi dangkal. Apa yang terlihat di permukaan itulah yang penting. Budaya-budaya instant menjadi pilihan jamak untuk dikonsumsi. Yang penting adalah penampilan fisik, di mana status dilihat dari jenis barang yang dikonsumsi.
Upaya meraih kehidupan yang secara fisik nampak mereprenstasikan kelas tertentu dilakukan dengan cara instan pula. Menjual tanah warisan atau pelaba pura menjadi pilihan yang dianggap biasa.
Kehidupan hedonis juga bisa disimak dari tetap maraknya berbagi bentuk perjudian. Tajen tidak bisa ditekan, judi main kartu ceki justru semakin parah. Jangan ditanya mengenai judi togel yang mungkin bandarnya telah tertangkap, tetapi siapa menjamin bahwa di tingkat bawah judi itu tidak lagi beroperasi?
Lalu, ketika kita melakukan ritual perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan, apakah yang sedang kita rayakan? Kemenangan ataukah kekalahan? [b]
Kemenangan semu
menurutku ini bukan hanya di bali atau hindu. ini persoalan global. saat ini agama malah jadi kedok atau alat utk mengeruk keuntungan.
contohnya ramadhan dalam islam. bulan ini sebenarnya adalah bulan di mana manusia harusnya mengerem nafsu, baik birahi ataupun makan. nyatanya, justru di mana2 banyak tawaran diskon dan bla bla lainnya. pendangkalan ini ternyata di semua lini.
orang makin terkesima dg simbol, bungkus, dan semacamnya. lalu semua dipertentangkan demi mengklaim kebenaran: agama, etnis, identitas. orang lupa esensi. kita berbeda karena itu memang demikian yg kuasa menciptakan kita.
Betul Mas Anton…Inilah ironi manusia modern yang mengaku rasional tetapi justru menjadi tidak rasional. Mengaku postmodern tetapi ternyata malah masih primitif. Kapitalisme ekonomi menundukkan kapitalisme sosial dan simbolik. Jadi tesis bahwa manusia itu sesungguhnya hanya dan hanyalah homo economicus mungkin benar adanya. Hanya ekonomi yang mengatur relasi antar manusia bahkan manusia dengan Tuhannya…
Perayaan hari raya keagamaan, merayakan kemenangan semu… karena yang kita punya sekarang ini hanyalah kesadaran-kesadaran semu…Jangan-jangan agama-agama yang diyakini manusia dimuka bumi ini juga sebenarnya adalah agama semu ya???
Betul sekali,,,, senantiasanya… Kekalahan awal dari sebuah kemenangan.
jadikan kekalahan untuk berbenah kedepan dan jangan jadikan kelahan sebuah penghalang.
karena tanpa kalah kita tidak akan pernah menang.
betul sekali…
senantiasanya Kekahalan adalah kemenangan yang tertunda.
maka senantiasa kita harus bisa memahami arti kekalahan yang suatu saat akan menjadi kemenangan yang mutlak.
tanpa kekalahan kita tak akan meraih kemenangan.
Betul sekali apa yg dikatakan bli nyoman winata dlm tulisannya..itu gambaran bali kini,kita selalu merayakan kemenangan dlm kekalahan,namun itu tidak hanya terjadi pada umat kita saja,,tapi terjadi pada umat lainnya.jadi apa yg salah…?agama atau manusianya yg tidak mengerti esensi dr pd agama itu sendiri,,saya rasa inilah tantangan para tokoh agama dan pemerintah dan setiap individu khususnya.
sangat menarik apa yang telah dilontarkan bli winata diatas. Buth orang-orang seperti bli winata yang bisa merefleksikan kejatidirian masyarakat bali masa kini. Sangat disayangkan dari turun temurunnya generasi “masyarakat Bali” hanya sedikit yang sadar dan mapu membenahi diri untuk keberlanjutan warisan leluhur kita yang saat ini kita terima. Pergeseran makna sangat deras terjadi, namun mudah-mudahan yang bergerak hanya selaput terluar dari kerangka budaya yang kita miliki. Dengan tidak berkecil hati dan meniadakan asa, kita sesungguhnya masih dapat berbuat banyak. Mari memperbaiki sebagaimana kita bisa. semoga dunia dan seisinya tetap shanti..