Teks dan Foto Anton Muhajir
“Nama saya Wayan. Ongkos belajar mahal. Tak ketulungan,” tulis anak pedagang buah itu.
Wayan Samah, 10 tahun, menulis di buku tulisnya di bawah temaram cahaya lampu di depan kamarnya. Dia duduk lesehan menggunakan lantai sebagai meja sekaligus kursi untuk belajar menulis petang itu.
Sehari-hari Wayan berjualan buah, seperti pepaya, semangka, nanas, jagung, dan lain-lain. Buah-buah ini sudah dipotong. Wayan menjajakannya dengan cara membawa di atas kepala dan berjalan di sekitar tempat tinggalnya, pemukiman kumuh di Banjar Perang, Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Wayan lahir dan besar di Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Karangasem. Kabupaten di bagian timur Bali ini salah satu daerah termiskin di Bali. Tianyar salah satu desa kering dan miskin di Karangasem. Banyak pengemis, gelandangan, dan anak-anak jalanan dari desa ini yang merantau ke Badung ataupun Denpasar. Wayan salah satunya.
Sejak enam bulan lalu dia merantau ke Badung, kabupaten terkaya di Bali. Dia berjualan buah dengan pendapatan kotor per hari setidaknya Rp 110.000. Tapi, dia cuma mendapat upah Rp 300.000 per bulan. Padahal dia bekerja dari pukul 5 pagi hingga 2 siang.
Di usianya yang baru 10 tahun, Wayan seharusnya mendapat pendidikan formal. Itu seperti disebut oleh Undang-undang (UU) Perlindungan Anak. Tapi, UU hanya manis di atas kertas. Tidak bagi Wayan. Dia tidak mendapatkan haknya sebagai anak, pendidikan.
Wayan memang pernah sekolah di desanya. Tapi, baru setahun sekolah, dia berhenti. Selain karena biaya sekolah yang, menurutnya, mahal juga karena jarak tempat sekolahnya jauh. Dia mengaku butuh waktu tiga jam untuk berangkat dari rumah hingga sekolah. Berangkat pukul 6 sampai sekolah pukul 9.
“Sampai sekolah sudah capek. Tidak bisa ikut pelajaran,” katanya. Wayan tak lagi mau sekolah meski dia ingin belajar.
Maka, dia senang ketika di tempat tinggalnya yang kumuh sekarang ada kelas untuk belajar. Namanya Kelas Beranda. Nama ini mengacu pada tempat di mana kelas diadakan tiap dua hari sekali dalam seminggu.
Bersama belasan anak seusianya, Wayan tinggal di kos-kosan kumuh di Banjar Perang. Ada dua bangunan memanjang khas rumah kos-kosan. Masing-masing punya empat kamar. Dua bangunan ini berhadapan satu sama lain membentuk beranda di antara keduanya. Di sanalah kelas ini diadakan saat petang, antara pukul 6 sore hingga 8 malam.
Kelas Beranda ini diadakan sejak tiga bulan lalu. Ada tiga relawan pengajar di sini. Semuanya perempuan muda, Intan Paramitha, Asta Ditha, dan Widya Ratha. Mereka masih mahasiswa tingkat akhir atau baru saja lulus kuliah.
Para relawan ini pada awalnya didukung Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali. Namun, sejak sekitar sebulan lalu WHDI tak lagi mendukung dengan alasan administrasi, mereka tak mendukung pendidikan untuk anak di bawah 15 tahun, seperti halnya di Banjar Perang.
Sebagian besar anak didik di Kelas Beranda memang masih berumur di bawah 15 tahun atau bahkan di bawah 10 tahun. Selain Wayan Samah, peserta lain di kelas ini adalah Ketut Juliani dan Komang Karyawan, 3 tahun. Ketut, gadis berlesung pipit itu, tak tahu berapa umurnya. Tapi dia lebih muda dibanding Wayan.
Ketut, anak keempat dari lima bersaudara, itu tinggal tanpa bapak ibunya. Bapaknya tinggal di kampung asalnya, Tianyar. “Meme suba sing ada,” katanya dalam Bahasa Bali. Ibunya sudah meninggal.
Mereka mengaku senang belajar di Kelas Beranda. Karena itu, tiap kali para relawan pengajar datang, anak-anak pedagang buah ini akan menyambutnya dengan gembira. Begitu juga saat belajar Kamis kemarin.
Kelas terbagi dalam tiga kelompok kecil. Intan mengajar lima murid yang dua di antaranya sudah punya anak meski umur mereka baru 18 tahun. Widya mengajar tiga anak lain umur belasan tahun tentang Biologi. Adapun Ditha bergabung dengan lima anak lain belajar menulis dan membaca, termasuk Wayan dan Ketut.
Menurut Ditha, mereka memang tidak menggunakan kurikulum khusus untuk belajar. “Kami lebih fleksibel, tergantung dari kebutuhan anak-anak,” katanya.
Dengan umur beragam, anak-anak itu juga punya kemampuan baca tulis berbeda. Beberapa anak lebih tertarik belajar membaca. Sebagian lain tertarik belajar menulis.
Berdasarkan kebutuhan murid itu pula, maka para relawan mengajarkan Bahasa Inggris dan Matematika. “Kami ingin bisa ngomong Bahasa Inggris,” kata Kadek Widyawati, murid lain di Kelas Beranda.
“Biar bisa menghitung dagangan,” kata Nengah Suparmi, murid lainnya ketika ditanya alasan kenapa ingin belajar Matematika.
Maka, suasana Kelas Beranda campur aduk. Ketika satu murid belajar membaca, murid lain belajar menulis. Ketika satu murid belajar Biologi, di tengah jalan mereka tiba-tiba minta belajar Bahasa Inggris. Mereka belajar bebas.
Begitu juga dengan buku yang mereka gunakan. Tiap orang bebas menggunakan buku sebagai acuan untuk belajar. Malam itu Wayan dan Ketut belajar dari buku karya penulis ternama Bali, Gde Aryantha Soetama. Judulnya Bali Tikam Bali.
Wayan dan Ketut secara bergantian menyalin tulisan tersebut di artikel berjudul Belajar Gaya Bali. “Ongkos belajar bisa mahal. Tak ketulungan mahalnya. Itu sebabnya banyak anak-anak putus sekolah,” tulis mereka. [b]
wah, kangen berat ngajar lagiii setelah 2 minggu absen. minggu depan semoga tak ada halangan..