Kepulauan Nusa Penida kini menjadi sorotan berbagai pihak.
Seiring melonjaknya perkembangan industri pariwisata di pulau ini, pada saat sama juga muncul keprihatinan. Ribuan hektar lahan strategis perlahan berpindah kepemilikan.
Daerah yang dulunya dianggap daerah buangan berubah drastis menjadi pulau uang yang dijejali investasi. Memang, tidak ada potensi tambang layaknya daerah kaya di Indonesia, hasil pertanian dan perkebunan pun masih jauh dari kata cukup.
Itulah alasan ribuan warga mengadu nasib ke negeri seberang, baik transmigrasi atau bekerja di luar daerah. Terhitung sejak 1950-an, warga pulau mulai pindah menuju tanah baru yang dirasa lebih memberi harapan.
Kondisi geomorfologis dengan kuntur bukit bergelombang dengan tanah yang tipis serta rendahnya curah hujan dipandang kurang untuk membentuk masa depan.
Namun kondisi setengah abad silam itu berubah 180 derajat. Nusa Penida kini menjadi idola, dikerubuti bak gula yang menarik ribuan semut untuk menikmati dengan tingkat investasi tertinggi di Pulau Dewata.
Sejak digadang sebagai kawasan wisata yang bersanding dengan kampung bule seperti Kuta, Legian dan Nusa Dua, para calo yang berkedok investor pun ramai menebar bujuk rayu. Meski infrastruktur penunjang, listrik, air dan jalan masih koma, para calo bermuka investor sudah ambil ancang-ancang untuk menggaet lokasi lahan strategis yang selanjutnya dilepas untuk aksi ambil untung.
Maraknya aksi jual beli tanah ternyata tidak sepenuhnya menguntungkan masyarakat karena transaksi terjadi antar calo yang berlabel investor. Masyarakat pun hanya bisa gigit jari, maklum tanah sudah dilepas sejak puluhan tahun silam dengan harga relatif rendah.
Warga lokal hanya menjadi penggarap lahan di tanah sendiri sembari berharap akan secepatnya dibangun hotel berbintang, teringat bualan sang calo ketika membeli tanahnya.
Informasi yang beredar, penjualan masif tanah sudah terjadi sejak 1998, utamanya di kawasan timur dekat Pantai Atuh dan Pasih Uug di sisi barat pulau. Hampir seluruh area pinggir pantai dengan tebing-tebing indah yang menghadap samudera lepas sudah tidak lagi menjadi milik warga.
Mereka hanya menjadi penggarap lahan di tanah sendiri sembari berharap akan secepatnya dibangun hotel berbintang, teringat akan bualan sang calo ketika membeli tanahnya. Padahal calo bukan investor, ia akan jual lagi, tahan dan jual lagi atau sekadar dapat komisi.
Sebagian warga yang sudah tahu kondisi ini, justru masih berpikir masa bodoh dan menganggap itu urusan pribadi semata. Di satu sisi memang ada benarnya tetapi dirasa agak keliru, apa yang terjadi dalam satu pulau tentu dampaknya tidak hanya pelaku sendiri tetapi seluruh penghuni.
Begitu banyak contoh kasus di Bali daratan akibat penjualan tanah membabi buta. Investor tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika mereka menutup akses yang memang ada di lahan mereka, termasuk jalan menuju ke pura.
Sejurus kemudian, warga teriak protes, namun apa daya semua sudah terjadi, hanya menyisakan penyesalan tak berujung.
“Kalau memang mereka tidak peduli dan masa bodoh, ya sudahlah, mungkin mereka memang bodoh,” saya bergumam dalam hati.
Lalu, bagaimana ribuan hektar tanah berganti kepemilikan dengan begitu masif?
Perbincangan tidak terjadwal dan acak dengan sejumlah calo tanah dan investor beberapa waktu lalu setidaknya memberi gambaran. Para calo memiliki beragam trik dan strategi menebar tipu daya untuk mengelabui pemilik tanah. Entah dari mana mereka punya pengetahuan begitu detail ke pemilik lahan hingga peruntukannya.
Sementara saya yang masih berstatus putra daerah hanya bisa melongo mendengar ceritanya.
Pelepasan lahan sejatinya sudah terjadi sejak 1990-an, lebih dari 200 hektar kawasan berbagai area sudah berpindah kepemilikan diikuti ribuan hektar lainnya. Selain tergoda akan tumpukan uang instan, masyarakat ketika itu mau melepas tanah dengan iming-iming akan dibangun fasilitas pariwisata.
Para calo juga meyakinkan para pemilik tanah bahwa mereka akan dipekerjakan oleh pihak investor.
Getirnya, hampir 20 tahun berlalu, semua belum terealisai hingga kini. Ada menyebut, kawasan ini kembali diperjual-belikan via berbagai media. Secara logis, jika pembelinya memang investor, semestinya tidak ada proses jual beli lagi.
Berkaca dari kasus tersebut, dipastikan pembelinya bukan investor melainkan calo bermuka investor.
Maklum saja dalam satu kali transaksi, sang calo bisa meraup ratusan juta fee. Istilah ngajet ngaper alias sikut kanan kiri pun sempat tren atau calo dicaloin. Selain komisi dari calo gadungan berikutnya, sang calo juga mendapat keuntungan dengan mark up harga. Untung berlipat itu terkadang membutakan nurani dan tanpa sadar sudah mulai menggali kuburan sendiri.
Keluguan dan ketidakpahaman masyarakat kerap kali dimanfaatkan para makelar. Sejumlah oknum terdidik dan berpengaruh yang seharusnya memberi advokasi agar warga tidak menjual tanah secara gila-gilaan justru menikmati menjadi makelar dadakan.
Tidak hanya bertahan dari serangan mafia luar, warga lokal juga diserang oleh putra daerah sendiri yang ikut bermain.
Besarnya tuntutan dan tingginya tekanan dari orang dalam, cepat atau lambat membuat warga bertekuk lutut. Secara tidak langsung, sistem yang ada juga turut menyudutkan posisi petani kecil pemilik lahan dalam posisi terjepit. Pajak yang harus dibayarkan setiap tahunnya naik drastis dengan hasil minim mendorong warga menjual tanahnya.
Sejumlah oknum PNS juga tidak mau ketinggalan, banyak yang ikut membuka lapak menjadi calo tanah dengan memanfaatkan rantai birokrasi. Meski sering berkilah, usut punya usut banyak pejabat dari tingkat kabupaten dan provinsi serta pusat yang sudah punya tanah di Nusa Penida.
Wajar saja, mereka lebih tahu perencanaan dan peruntukan ke depan sehingga tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan menimbun lahan strategis terlebih dahulu. Tengok saja mantan Bupati Klungkung yang kini sedang ditahan, diakui atau tidak lahan miliknya tersebar di sejumlah kawasan.
Sejumlah oknum PNS juga tidak mau ketinggalan, banyak yang ikut membuka lapak menjadi calo tanah dengan memanfaatkan rantai birokrasi.
Pada kesempatan lain, para makelar tanah juga mengaku menakut-nakuti pemilik tanah dengan berbagai alasan. Salah satunya, mengklaim bahwa kawasan yang disasar masuk kawasan tertentu dan harus dijual daripada rugi total. Warga yang tidak paham, hanya mengangguk dan merelakan daripada tidak sama sekali.
Harus diakui, aturan pemanfaatan kawasan wisata, spiritual dan pemukiman pun terasa mengambang, pasalnya sosialisasi hanya sebatas di tataran elit, belum menyentuh akar rumput. Aksi jual beli pun semakin mulus dengan dengan jaringan makelar, mulai dari rayuan maut, pihak desa yang juga ditenangkan dengan jurus tertentu hingga pengurusan balik nama kepemilikan dengan pelicin.
Lengkap sudah, para calo yang berkedok investor begitu rakus dan penuh intrik menebar rayuan. Orang dalam yang tak malu-malu lagi ikut menggerogoti serta sistem yang tidak berpihak membuat warga terjebak.
Bagaimana 20 tahun kedepan, masih beranikah kita ungkapkan ‘I Love Nusa Penida’ jika tenyata kita ikut menjadi biang kerok kehancuran? Banyak yang mencari pembenaran dengan ungkapan Rwa Binedha, tetapi itu klise dan hanya sekadar pembelaan tanpa esensi.
Jangan jual ibu pertiwimu hanya demi ambisi tak berperi. [b]
Penulis I Putu Sueka Putra. Tulisan ini disalin tempel dari Nusa Penida Media sebagai bagian dari kerja sama BaleBengong dengan media komunitas di Bali.
Dimain terus sana sini sana sini, orang butuh beneran beli tanah dan rumah buat keluarga jadi harganya gila-gilaan. Duuhhhh….