Kelas Jurnalisme Warga (KJW) Balebengong kali ini memunculkan topik baru, diskusi dan karya terkait perkawinan adat.
KJW dilaksanakan di Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Kabupaten Tabanan pada 21-22 Mei 2020. Berlokasi di Kubu Bali WCC yang berada di kawasan lansekap persawahan yang indah dan kebun teduh. Sekitar 17 warga, tua dan muda terlibat untuk mengenal topik pewarta warga, menulis kisah inspiratif dari desa, dan mendokumentasikan melalui video ponsel.
Nyentana adalah salah satu topik yang harus dibahas di desa ini. Sebuah penghormatan pada pilihan perkawinan adat Bali yang dibahas secara terbuka.
“Kalau nggak nyari sentana malah ditanyain, “tidak kasian sama orang tua kalau ditinggal nikah keluar?” cerita Budawati, pejuang kesetaraan gender di Desa Penatahan, Tabanan.
Desa Penatahan memiliki masyarakat dengan semangat memperjuangkan kesetaraan gender. Desa ini juga hendak mengembangkan desa wisata, namun desa wisata ramah anak.
Perlindungan anak dan perempuan menjadi fokus yang digaungkan masyarakat terutama di Banjar Kekeran sejak 5 tahun lalu. Didampingi pegiat hukum anak dan perempuan, Ni Nengah Budawati, warga yang mendirikan sekolah Kubu Bali Women Crisis Center (Bali WCC).
Seperti gayung bersambut mendorong isu ini agar menjadi kepedulian publik. Banjar Kekeran di Desa Penatahan pernah jadi percontohan ramah gender melalui sistem pernikahan. Jika sistem pernikahan sebagian besar di Bali, pengantin perempuan diambil keluarga laki-laki, maka di Desa
Di sini, model Nyentana lumrah, di mana pengantin laki-laki diambil pihak perempuan dan tetap sebagai kepala keluarga, namun berkedudukan tanggung jawab sebagai pradana. Terutama jika anak perempuan tunggal atau tidak punya anak laki-laki.
Seiring berkembangnya waktu, pernikahan nyentana tak hanya dilakukan orang bali sudra, atau disebut nyentana biasa. Namun juga yang sudah terjadi yaitu nyentana lintas agama. Misalnya, De Baron. Lelaki beragama islam, menikah nyentana sejak 6 tahun lalu ke Desa Penatahan.
“Saya melewati masa pacaran seperti biasanya. Sebelum menikah saya dan istri punya komitmen, jadi status boleh nyentana, tapi tetap saya adalah kepala keluarga. Jangan karena saya nyentana, kamu bisa seenaknya dengan saya. Istri juga sudah berkomitmen, sehingga lanjut dengan prosesi pernikahan. Sampai detik ini, masyarakat di sini sangat terbuka, nggak ada masalah sampai saat ini. Justru saya mendapat perhatian lebih dari orang tua istri, seperti orang tua sendiri di rumah istri,” cerita De Baron.
Dari beda agama, kemudian memilih untuk menikah nyentana lalu tinggal di rumah istri dengan adat istiadat yang berbeda. De Baron sudah menyadari dan mempersiapkan hal baru tersebut. “Sebelum saya menikah, saya sudah siap dan tahu apa yang akan saya lakukan nanti. Seperti ngayah, ngempon pura. Secara pribadi saya sudah sanggup dengan terjun ke adat dan masyarakat,” katanya.
Jenis nyentana lain juga mulai berkembang di Desa Penatahan, yaitu nyentana beda kasta. Meski demikian, sitem nyentana ini tak menghilangkan embel-embel kasta yang melekat pada namanya. Adaptasi-adaptasi ini menjadi sistem pernikahan yang tak hanya berasas kesetaraan, namun juga menjawab ketakutan-ketakutan konflik yang sudah dibentuk oleh sosial.
Ada juga warga yang menerapkan sistem pernikahan Pada Gelahang. “Inti pernikahan ini memegang konsep membagi buah, bukan membagi pohon,” Budawati menekankan.
Sistem pernikahan Pada Gelahang menjadi jalan keluar untuk kedua pihak keluarga yang biasanya hanya memiliki anak tunggal. Sehingga, permasalahan yang muncul, tidak adanya penerus dalam sebuah keluarga untuk mengemong hak dan tanggungjawab dalam keluarga. Pernikahan Pada Gelahang inilah datang untuk menjawab permasalahan itu. Kedua mempelai ini menikah dengan tetap menjalankan tanggungjawab masing-masing keluarganya.
Pada 2010, Majelis Utama Desa Pekraman (saat ini diubah jadi Majelis Desa Adat) mengeluarakan putusan yang jadi tonggak menuju kesetaraan perempuan dalam pernikahan. Ada juga terkait waris dan putusan lain yang cukup monumental. Selengkapnya di sini. Namun putusan ini masih perlu diinternaslisasi.
“Maksud dari membagi buah adalah suami istri yang menikah pada gelahang ini ketika memiliki anak, maka anak mereka inilah yang dibagi untuk melanjutkan menjalankan tugas dari keluarga besarnya. Misal anak pertama melanjutkan tanggungjawab dan hak dari keluarga bapaknya, selanjutnya anak kedua mengambil tanggungjawab dan hak dari keluarga sang ibu. Begitu juga selanjutnya,” tandas Budawati.
Jika sepasang suami istri yang menikah pada gelahang ini hanya memiliki satu anak atau tidak memiliki keturunan, maka tidak ada yang dibagi. Keunikan daya adaptasi dan toleransi iklim bermasyarakat di Desa Penatahan inilah yang menjadi cikal bakal digadang-gadangnya desa percontohan yang ramah anak dan perempuan.
Dari Banjar Kekeran, warga memulai 5 tahun lalu dengan sejumlah kegiatan pemberdayaan dan peningkatan ekonomi. Warga juga dilatih menjadi paralegal, warga yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pendampingan hukum. Termasuk isu permasalahan anak dan perempuan. Untuk mewujudkan apa yang menjadi ambisi besarnya Budawati mengakui memang perlu jaringan dan dukungan teman-teman.