Teks dan Foto I Nyoman Darma Putra
Denpasar bertekad terus menjadi kota berwawasan budaya, tetapi mengapa nama-nama seniman Denpasar tidak diangkat menjadi nama-nama jalan di kota ini? Bukankah akan lebih klop kalau jalan-jalan di ibu kota Pulau Bali ini dihiasai dengan nama-nama seniman-budayawan yang berjasa mengharumkan citra kota ini di masa lalu bahkan sampai kini?
Dalam sarasehan kesenian serangkaian Festival Denpasar di Inna Bali Hotel, belum alama ini, saya memberanikan diri mengusulkan untuk mengangkat nama-nama seniman Denpasar dan Badung (tanpa menutup diri dengan seniman Bali) lainnya yang tinggal di Denpasar sebagai nama-nama jalan.
Usul ini mendapat tepuk tangan dari peserta sarasehan dan ditekankan oleh moderator Dewa Palguna, mantan anggota hakim Mahkamah Konstitusi. Palguna mengatakan, selama ini banyak pahlawan di bidang seni dan budaya dan nama mereka seperti halnya nama para pahlawan layak diangkat sebagai nama jalan.
Banyak Seniman
Denpasar memiliki banyak seniman dan budayawan bernama besar, yang memperkaya seni budaya Bali dan mempromosikan nama Bali dalam pentas di panggung dunia. Mereka berprestasi di bidang seni tari, tabuh, lukis, dan sastra. Sebagian di antara mereka misalnya I Nyoman Kaler, Ni Ketut Reneng, Ni Pollok, Ida Bagus Boda, Nyarikan Sariada, I Gusti Made Deblog, I Wayan Beratha, dan I Wayan Pamit.
Sejauh ini, nama budayawan Denpasar yang dingkat sebagai nama jalan adalah Prof Dr Ida Bagus Mantra. Gagasan ini diterima baik oleh masyarakat, maka inisiatif seperti ini wajar diteruskan dengan memberikan apresiasi kepada seniman dan budayawan Denpasar lainnya.
Kalau gagasan ini diterima, maka saya membayangkan di Denpasar akan ada Jalan Ni Ketut Reneng, Jalan Ni Pollok, Jalan I Nyoman Kaler, sampai Jalan Gusti Made Deblog. Reneng dan Pollok adalah penari asal Kedaton yang terkenal di zamannya. Pollok disunting oleh pelukis Belgia Le Mayeur, dan nama mereka diabadikan menjadi nama museum seni lukis di Sanur, sebelah utara Bali Beach Hotel. Jika diabadikan dalam nama jalan, tentu Pollok akan lebih populer.
Bagaimanakah nama-nama seniman dan tokoh ini diwujudkan? Idealnya memang kalau nama seniman bisa diabadikan dalam jalan baru seperti halnya Jl. Prof. Mantra, tetapi bukankah tidak selamanya akan ada jalan baru yang dibangun? Jika demikian, bisa diambil langkah berani untuk mengubah nama jalan yang ada dan dengan nama seniman-budayawan. Jalan-jalan manakah yang mesti diubah?
Di Denpasar ada jalan yang menggunakan nama buah dan bunga, yang memiliki kaitan historis dan nilai kultural yang tidak begitu istimewa oleh karena itu tidak apa-apa kalau diganti. Kalau mau, nama-nama jalan dengan buah dan bunga bisa digunakan di kompleks perumahan baru yang banyak dibangun.
Jika usul mengganti nama diterima, maka bisa saja Jl. Kaliasem diganti menjadi Jl. Ni Pollok, Jalan Nangka menjadi Jl. I Gusti Made Deblog. Jalan Kedongdong menjadi Jl. I Nyoman Kaler, dan seterusnya. Ini contoh saja.
Pernah Terjadi
Wajarkah mengubah nama jalan? Mengubah nama jalan wajar saja dan ini pernah terjadi secara besar-besaran di Denpasar pada Mei 1964. Perubahan waktu itu dilakukan berdasarkan keputusan DPRGR Kabupaten Badung. Waktu itu Denpasar masih merupakan wilayah Kabupaten Badung.
Berdasarkan perubahan tahun 1964, nama jalan di Denpasar ditata menjadi empat sektor, yaitu sektor satu di Timur Laut menggunakan nama buah; sektor dua di Tenggara menggunakan nama pahlawan; sektor tiga di Barat Daya nama pulau/gunung; dan di Barat Laut menggunakan nama kesenian. Yang dimaksud dengan nama kesenian adalah seni pertunjukan seperti Gambuh dan Parwa, bukan nama seniman.
Perubahan nama jalan disosialisasikan di surat kabar Suara Indonesia (nama lama Bali Post) secara bersambung mulai edisi 29 Mei 1964 (di halaman depan dan kemudian di halaman dalam). Saat itu banyak jalan yang mengalami perubahan nama, perkecualian terjadi untuk Jalan Gajah Mada.
Nama jalan yang mengalami perubahan adalah: Jl. Parwa menjadi Jl. Imam Bonjol; Jl. Gambuh menjadi Jl. Thamrin; Jl. Padangsambian menjadi Jl. Gunung Agung; Jl. Artja menjadi Jl. Sutomo; Jl. Majapahit menjadi Jl. Udayana; Jl. Kartini menjadi Jl. Kaliasem (sementara Jl. Kartini juga ada); Jl. Satria menjadi Jl. Kedongdong; Jl. Puputan menjadi Jl. Belimbing.
Jalan Kepundung dulu namanya adalah Jl. Kalanganyar; sedangkan Jl. Nangka dulunya bernama Jl. Bali (kini Jl. Bali berada di daerah Sanglah).
Seperti dikatakan Dewa Palguna, nama tokoh lain di luar bidang kesenian juga bisa diabadikan sebagai nama jalan. Denpasar melahirkan tokoh pers yang sukses yaitu Ketut Nadha dan tokoh politik sekaligus budayawan seperti Tjokorda Bagus Sayoga (Ketua PDI dari Puri Satria), maka wajar nama mereka diabadikan sebagai nama jalan.
Bisa saja misalnya Jl. Kepundung diganti menjadi Jl. Ketut Nadha, kebetulan lokasi kantor Bali Post hasil karya Ketut Nadha ada di jalan itu, sedangkan Jl. Veteran diganti menjadi Jl. Tjok Bagus Sayoga, kebetulan Puri Satria ada di jalan itu.
Disosialisasikan
Perubahan nama jalan tentu akan membingungkan, tetapi lewat sosialisasi yang baik lewat berbagai media, kebingungan bisa dicegah. Demi kebaikan dan identitas baru, melakukan perubahan tak perlu takut.
Beberapa tahun lalu saya mengusulkan nama K’tut Tantri sebagai nama Jalan Sunset Road. K’tut Tantri adalah wanita Skotlandia yang berlibur dan menetap di Bali sejak tahun 1930-an. Dia adalah salah satu perintis pendirian hotel di Kuta (Hotel Suara Segara, kini menjadi Inna Kuta), penyiar radio yang membantu Indonesia mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke masyarakat dunia, dan menulis novel “Revolusi di Nusa Damai”, karya yang menjadi promosi buat Bali.
Sayang pemerintah lebih senang membiarkan nama jalan itu bernama Sunset Road daripada menggantinya dengan nama yang lebih bernilai sejarah dan seni.
Nama jalan tidak saja penanda alamat tetapi juga lambang politik identitas. Usaha Denpasar menjadikan diri sebagai kota berwawasan budaya akan lebih komplit kalau nama-nama seniman dan budayawan bisa diabadikan sebagai nama-nama jalan di kota ini. [b]
Tulisan ini dimuat di http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=15&id=27903
Pak Anton Muhajir,
Boleh infonya daerah2 wisata mana saja yang asyik dinikmati di sekitar denpasar. Maksudnya yang cukup jalan kaki dari hotel/penginapan.
Terimakasih
Jabar
kenapa nama2 jalan lama yg udah bagus itu diganti ya? Penggantinya malah nama2 jalan kaya di jakarta.
untuk pak jabar: kalau menginap di denpasar memang ga terllau banyak bisa eksplore. Tapi bisa dicoba, seputaran lapangan puputan badung (museum bali-jagatnata-pasar badung-kumbasari) Ini satu area.
Saya sih setuju saja penamaan jalan dengan nama seniman. Ganti saja nama jalan yang sudah ada sekarang. Jangan menunggu ada jalan baru. Lagipula, saya ndak suka kalau ada jalan baru lagi dibikin di Denpasar. 🙂
Rasanya ndak penting juga kita punya Jalan Teuku Umar yang dibagi menjadi 2 barat dan timur. Kesannya kok ndak kreatif memberi nama jalan cuma Teuku Umar Barat dan Teuku Umar Timur. Ganti saja salah satunya dengan nama yang anda usulkan. Begitu juga jalan Gatot Subroto.
Nama jalan dengan nama daerah juga diganti saja. Misalnya, Jalan Sesetan, Jalan Legian, dsb. Sekali lagi, kesannya ndak kreatif banget. Mohon maaf kalau ternyata penamaan jalan dengan nama desa ybs punya nilai sejarah tersendiri. Saya ndak tau. 🙂
Satu pertanyaan, bukankah Jalan Sunset Road sudah diganti namanya?
idenya cemerlang, bisa kita bayangkan Jalan Gatot Subroto, Gajah Mada, Teuuku Umar itu mungkin ada di hampir seluruh kota besar di indonesia. Saatnya Denpasar sebagai kota berwawasan budaya menunjukkan identitas melalui nama-nama jalan yang lebih menonjolkan ciri khas kedaerahan.