Teks Anik Leana, Ilustrasi Anton Muhajir
Suntuk dengan rutinitas yang tak jelas saya putuskan ke tempat favorit, Pasar Kumbasari, Denpasar.
Seperti biasa, sekitar pukul 01.00 dini hari, saya membeli nasi tiga ribuan di Ibu Moglong, begitu saya biasa menyebut ibu itu. Di pasar Kumbasari ada dua pedagang nasi, yang satu moglong (gemuk) dan yang satu kurus.
Menu dan harga yang ditawarkan sama, tapi entah kenapa dagangan ibu Moglong jauh lebih laris. Tak sampai pukul 02.00, nasi satu keranjang besar sudah ludes.
Kata seorang kawan, biasanya orang moglong lebih jago memasak dibanding yang kurus. “Mereka jago makan. Jadi tahu meracik bumbu yang enak,” ungkap seorang kawan tempo hari. Entah ada hubungannya atau tidak.
Dengan bungkusan nasi tiga ribuan, saya bergegas ke dagang kacang ijo. Tempatnya dekat pintu masuk pasar Kumbasari di Jalan Gajah Mada. Saya pilih duduk di dampar (kursi panjang) yang paling dekat sungai.
Begitu menoleh ke kanan langsung terlihat sungai dan pemandangan jembatan Jl Gajah Mada, Denpasar disesaki kendaraan plus pedagang. Di seberang sungai juga tak kalah, keramaian di pasar Badung. Pemandangan yang manis.
Saya memesan semangkok kacang ijo. Harganya cuma Rp 2000an. Kacang ijo lengkap dengan dua kepel ketan, dan tentu tanpa sari manis. Made Sudiana, 70 tahun, segera melayani pesanan saya. Bu Made yang berjualan dari pukul 20.00 hingga 03.00 pagi ini mengaku berdagang kacang ijo sejak tahun 1982.
“Pidan driki rame, wenten bioskop (dulu di sini rame, ada bioskop),” ungkap Bu Made sambil menyerahkan semangkok kacang ijo. Suami Bu Made yang juga ikut berdagang menimpali, “Dumun deriki tongos teruna teruni melali, len ken jani (Dulu di sini tempat anak muda jalan-jalan, berbeda dengan sekarang)”.
Hal senada diungkapkan Aus Daeng, 43 tahun, petugas laboratorium salah satu universitas di Bali itu menceritakan masa mudanya yang banyak dihabiskan untuk nongkrong di Pasar Kumbasari. “Anak muda zaman saya sering menonton film di pasar,” ungkapnya.
“Kemegahan” pasar Kumbasari masih tersisa, di sebelah kiri saya kokoh berdiri gedung empat lantai yang sempat diperbaiki karena terbakar. Rupanya di gedung ini dulu ada bioskop dan dilengkapi fasilitas eskalator pula.
Kenangan tentang Pasar Kumbasari-Badung yang awalnya bernama peken Payuk (karena tempat berdagang payuk/gerabah) seolah tak lekang diingatan Bu Made dan suaminya. Pasangan asli Karangasem yang kini menetap di Wangaya, Denpasar Utara itu mengaku, kini pasar Kumbasari lebih sepi.
Hanya ibu-ibu atau bapak-bapak yang hilir mudik di pasar Kumbasari, jarang ada anak muda, terlebih untuk nongkrong. “Beda dengan mall-mall yang jaraknya tak seberapa jauh dari pasar ini,” tutur mereka.
Sambil berbincang, saya perhatikan beberapa pedagang terkantuk-kantuk. Entah karena lelah dan mengantuk atau bosan karena sepi pembeli hingga mengantuk. Saya teringat perbincangan dengan Pak Wahab, ketua perkumpulan pedagang pasar Kumbasari. “Makin hari pengunjung di Pasar Kumbasari makin berkurang,” ujarnya tempo hari. Terlebih kondisi pasar Kumbasari yang juga semrawut. Belum ada zonasi terhadap pedagang yang berjualan.
Masalah kebersihan menjadi fenomena klasik di sini. “Bagaimana mau bersaing dengan pasar modern, apalagi sekarang semakin marak kios-kios buka 24 jam. Tentu pembeli lebih memilih belanja kesana dari pada belanja di pasar yang bau dan becek,” tambahnya. Padahal kalau mau mencari yang buka 24 jam, di Pasar Badung-Kumbasari juga tak kalah banyak.
Menjamurnya toko modern dalam bentuk minimarket ataupun kios 24 jam belakangan ini memang tak terhindarkan. Terlebih belum ada yang mengatur lokasi pendiriannya. Peraturan Walikota Denpasar No 9 tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern menyatakan bahwa minimarket boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan dan tanpa secara tegas mengatur jarak dengan pasar tradisional yang telah ada. Hal ini tentu semakin mengancam keberadaan pasar tradisional.
“Pasar Kumbasari nasibmu kini,” guman saya dan kembali melahap kacang ijo yang tersisa. Belum habis semangkuk kacang ijo, muncul sepasang laki-laki dan perempuan. Mungkin mereka suami istri (pengantin baru). Si perempuan begitu bersemangat memesan kacang ijo sambil berbincang dengan Ibu Made.
Si laki-laki langsung berujar, ”Kene be, Bu. Kurenan tiang sedeng ngidam, peteng-peteng tiang gul-gule orine ngatehin.” Artinya, “Beginilah, Bu. Istri saya sedang ngidam. Malam-malam saya disuruh mengantar membeli kacang ijo,” katanya sambil tersenyum. Si perempuan dengan tersipu melirik lelakinya.
Ibu Made hanya tersenyum. Ibu yang telah memiliki cucu ini tentu berpengalaman untuk hal seperti itu. Si perempuan masih asik berbincang dengan Bu Made. Si lelaki berkomentar lagi, ”Men kene ibune, ken-ken panak tiang mani bu o?” Artinya, kalau ibunya seperti ini (banyak bicara), seperti apa anak saya nanti ya, Bu.
Saya hanya tersenyum geli melihat mereka. Lucu juga pasangan ini. Si lelaki yang umurnya tak lebih dari 30 tahun itu tampak lucu dengan guyonannya, Sedangkan si perempuan walaupun banyak bicara tetap menunjukkan perhatian pada lelakinya. “CINTA” di Pasar Kumbasari.
Andaikata banyak orang termasuk anak muda seperti pasangan ini yang suka belanja di pasar tradisional seperti Kumbasari, tentu pedagang-pedagang ini tak kan merasa sepi. Perputaran uang pun melibatkan banyak orang, terlebih kelas menengah ke bawah. Tak hanya didominasi pihak tertentu seperti di pasar modern..
Merekapun tak menjadi egois, karena harus mengeluarkan jurus tawar-menawar. Kalau itu terjadi, makin banyak “Cinta” di Pasar Kumbasari yang bisa kita lihat, seperti bertahun-tahun lalu. [b]
Senangnya jika bisa jalan2 ke Bali. Karena belum punya duit jalan2 di pasar Citra Niaga Jombang dulu…