Komunitas Recthforma dan Lingkar Studi Konstitusi menyelenggarakan diskusi publik What Does Yurist Think?. Diskusi ini bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat yang tidak Mendapat Tempat.
Pembubaran People’s Water Forum (PWF) 2024 yang dilakukan ormas dan sekelompok orang yang mengaku masyarakat Bali. Sekelompok orang itu memberangus perangkat diskusi dan karya seni. Mereka juga melakukan kekerasan fisik dan kekerasan seksual verbal.
Selasa, 21 Juni 2024 pagi hari, I Dewa Gede Palguna sudah bersiap menjadi salah satu narasumber dalam PWF 2024. Sebelum berangkat, dalam benak Palguna diskusi akan berjalan seru. Pertanyaan dan argumentasi datang tanpa antri, antusias partisipan dan penanggap diskusi tinggi. Setidaknya, itu bayangan Palguna.
“Saya sudah membayangkan plot diskusi akan seperti apa, akan ada banyak pembahasan, Saya sudah buat power point dari jam 3 (dini hari) dan selesai di jam 8 pagi,” ujar Palguna dalam diskusi What Does Yurist Think pada Sabtu (01/06) di Taman Baca Kesiman.
Namun, apa daya Palguna. Ekspektasi tak seindah realita. Bayangan Palguna terhadap keseruan diskusi PWF 2024 sirna. Hari saat Palguna menjadi narasumber di PWF 2024 tidak pernah terjadi. Ia dilarang masuk. Video Palguna menanyakan panitia PWF atas kekacauan yang terjadi viral.
Setelah kejadian itu, Palguna mendapat banyak tawaran menjadi narasumber. Membahas hal-hal berkaitan dengan pembubaran diskusi. Palguna tidak sembarang terima tawaran diskusi, Ia merasa awas. Palguna yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Unud dan Dewan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), merasa perannya ini membuatnya harus berhati-hati, agar tidak ditunggangi. Sehingga, Palguna menolak berbagai tawaran diskusi.
Palguna memilih hadir di WDYT. Akademisi yang terlibat dalam perubahan UUD 1945 (masa reformasi) ini mengungkapkan kebebasan berpendapat tertuang dalam hak konstitusi warga negara. Ketika hak ini dirampas, Palguna menuturkan ini adalah pukulan untuk Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi.
Kebebasan Berpendapat dari Empat Perspektif Hukum
Selain Palguna, ada empat mahasiswa Palguna yang menjelaskan pembubaran diskusi dan kaitannya dengan kebebasan berpendapat. Tari Padmawati, alumni FH Unud bagian hukum internasional mengungkapkan pelanggaran hak kebebasan berpendapat adalah permasalahan yang tak pernah usai. Tari mencontohkan beberapa kasus pembungkaman kebebasan berpendapat juga terjadi di Thailand , Hongkong dan Swiss.
Pada perspektif hukum administrasi negara, alumni FH Unud, Redi Citragatra mengungkapkan pola pembubaran diskusi yang terjadi. Ia menjelaskan cara-cara lama dengan membenturkan masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Sehingga membentuk konflik horizontal. Redi merasa belum yakin bahwa negara terlibat dalam modus pembungkaman yang membenturkan masyarakat.
Berbeda dengan Redi, Halmadiningrat sebagai Koordinator Komunitas Lingkar Studi Konstitusi mengungkapkan negara justru benar-benar hadir dalam berbagai situasi. Pendapat Halma berdasarkan pada tulisan Greg Albo dan Carlo Fanelli.
Ketua Komunitas Rechtforma, Danan Paramartha menjelaskan pembubaran diskusi dari perspektif hukum pidana. Secara regulasi, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dimiliki negara. Sebagai dasar hukum aturan ini dapat melindungi penyelenggara maupun peserta diskusi. Namun, sisi lainnya aturan ini dapat jadi celah bagi para pihak yang ingin membungkam diskusi. Menurut Danan, penegak hukum harus bijak menafsirkan regulasi agar tidak terjadi pelanggaran dalam kebebasan berpendapat.
Mitigasi dan Evaluasi
Halma menjelaskan, pada akhirnya persoalan pembubaran diskusi harus menjadi perhatian bersama. “Ini bukan lagi soal kanan dan kiri (secara ideologi), ini hak asasi,” tegasnya. Demi keberlanjutan ruang diskusi, Danan menyarankan surat pemberitahuan tetap disiapkan panitia sebagai bentuk mitigasi.
Secara keamanan digital, perpindahan grup dari aplikasi Whatsapp ke aplikasi lainnya yang lebih aman dari peretasan darurat dilakukan. Celah-celah lainnya yang dapat membungkam diskusi harus dimitigasi agar substansi diskusi tercapai dan masyarakat tercerahkan.
Pada akhir diskusi, Palguna berpesan bahwa jika ingin konstitusi memberikan perlindungan, kita juga harus menjaga konstitusi. Baginya, cara paling mudah dengan tetap berpikir kritis, tetap berpendapat dan merawat ruang-ruang diskusi terhadap ketidakberesan yang terjadi.