Negara Kesatuan Republik Indonesia ditinjau tak terlepas dari pengaruh eksistensi kerajaan-kerajan besar pada masa lalu.
Kerajaan-kerajaan besar tersebut tak terlepas dari nama-nama besar para pemimpinnya. Kerajaan Majapahit dengan Prabu Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Kerajaan Bali di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong. Atau, Kesultanan Ngayogyakarta dengan Sultan-nya merupakan beberapa contoh pemimpin dalam era-nya masing-masing.
Pemimpin pada masa itu terlahir dari sistem feodal yang hadir dari garis keturunan yang tertutup.
Dengan filsafat Manunggaling Kawula Gusti, raja atau pemimpin dianggap titisan dari Tuhan yang akan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan berarti pengabdian yang tulus dari rakyat (Kawula) kepada raja (Gusti). Apapun perintah dari seorang raja pada masa itu adalah anugerah yang mutlak harus dijalankan. Begitu juga hukum merupakan hukum yang bersumber dari dalam diri seorang raja. Berbagai permasalahan serasa mampu diselesaikan dalam lingkup istana.
Pada masa itu pemimpin merupakam penguasa yang merangkul berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat.
Diraihnya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dari kolonialisme Belanda, menghadirkan babak baru dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pada masa itu tiga kekuatan ideologi berpengaruh besar dalam perjuangan itu antara lain Nasionalis, Agama (Islam), dan Komunis (sosialis). Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya pun turut serta dalam kompetisi perebutan kekuasaan pada masa itu dengan platformnya masing-masing.
Permasalahan dasar negara yang sangat urgen juga tak kalah sengitnya pada masa itu. Namun, sekarang kita telah mewarisi Republik Indonesia dengan segala kelengkapannya yang harus kita jaga dan terus diperjuangkan. Sebagai sebuah refleksi dalam perjalanan bangsa ini kita telah mewarisi beberapa pola kepemimpinan dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal itu bisa menjadi acuan untuk menemukan pemimpin seperti apa yang memang dibutuhklan oleh negara kita dengan karakternya tersendiri.
Indonesia telah berjalan dalam tataran sebuah negara demokrasi. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people). Dalam konteks negara demokrasi, pemimpin bukanlah penguasa tapi pengayom (pelayan) dari masyarakat. Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintah dalam suatu negara mendapat mandat dari rakyat untuk menuyelenggarakan pemerintahan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertingi dalam negara demokrasi, bukan pada pemimpinnya.
Dua prinsip utama negara demokrasi adalah Freedom/ Equality (kebebasan/persamaan) dan People’s Sovereignty (kedaulatan rakyat). Kebebasan dan persamaan adalah dasar demokrasi. Kebebasasn memberikan setiap orang berusaha mencapai kemajuan tanpa ada intervensi dari penguasa, persamaaan bermakna pengembangan diri yang optimal bagi setiap orang tanpa ada pembedaan.
Kedaulatan rakyat menjamin kepentingan rakyat dalam tugas pemerintahan dan memperkecil kemungkinan adanya abuse of power (penyalahgunaaan kekuasaaan). Dengan pemahaman tersebut mekanisme pemilu mutlak diperlukan sebagai ajang pesta demokrasi yang merangkum berbagai kepentingan masyarakat yang kompleks. Apalagi dengan sistem multipartai seperti sekarang seharusnya aspirasi masyarakat dapat ditampung sedemikian rupa agar jalan untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan UUD 1945 dapat tercapai.
Hal inilah yang perlu kita sadari bersama, bahwa pemimpin bukan segala-galanya. Namun kemajuan suatu negara ditentukan oleh pemimpinnya pula.
Masalahnya, di Indonesia tidak semua pemimpin mampu memposisikan diri pada berbagai golongan setelah memperoleh apa yang dinamakan kekuasaaan. Cenderung selalu berada pada posisi para pendukung dan golongan tertentu. Permasalahan lain yang juga muncul sekarang dengan semakin dekatnya pemilihan umum ataupun presiden yang nantinya bakal menjadi garda terdepan dalam pembangunan Indonesia adalah etika politik.
Calon-calon pemimpin negara kita sekarang terlalu banyak mengumbar janji. Kadang hanya ilusi tanpa argumentasi logis. Mereka selalu berusaha tampil dengan membandingkan kelebihan diri mereka. Sebaliknya, mereka menjelekkan lawan politiknya secara terang-terangan. Bahkan dengan tampilan yang terlihat emosional dan ambisius.
Masalahnya pertarungan politik seperti itu sangat sering kita jumpai di media elektronik maupun cetak. Hal itu akan berpengaruh terhadap pandangan generasi muda terhadap calon pemimpinnya. Jika dikatakan itu adalah promosi, itu sah saja guna meraih dukungan. Namun, perlu dipikirkan apakah tidak ada cara lain yang lebih berwibawa dan teladan bagi generasi muda, sebagai calon pemimpin Indonesia ke depan yang berwibawa dan berkualitas.
Dengan kondisi Indonesia yang sangat rentan dengan isu perpecahan, generasi muda sebagai penerus bangsa dibebani tanggung besar menjaga keutuhan NKRI dan konstitusi 1945. Bung Karno pernah mengatakan, ”Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku goncang dunia”, itu berarti bahwa kekuatan pemuda yang dirasakan Bung karno sebagai founding father bangsa ini begitu hebat sebagai pengawal revolusi.
Generasi muda dan masyarakat secara umum tentu membutuhkan teladan dari para pemimpin bangsa untuk bersama-sama berjalan meraih kemerdekaan seutuhnya. Pemimpin Indonesia ke depan diharapkan memiliki berbagai kelebihan seperti intelegensi (kemampuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan menghadapi situasi baru, karakter (sifat kepribadian yang berhubungan dengan nilai-nilai), Kesiapsiagaan untuk selalu awas dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi, dan satya, kejujuran dan kesetiaaan terhadap bangsa dan negara.
Bahkan sloka dalam Hindu menyebutkan satya mukhaning dharma yang artinya bahwa kesetiaan adalah puncaknya agama.
Selain itu, pemimpin masa depan Indonesia juga harus memiliki kharisma yang tinggi mencakup kemampuan berbicara, kepercayaan diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang sebagai simbol negara, di atas sebuah wilayah kepulauan terbesar di dunia. Pemimpin Indonesia masa depan diharapkan mampu mengatasi permasalahan internal bangsa seperti ancaman disintegrasi bangsa dan krisis multidimensional yang tak jelas kapan akan berakhir.
Pemimpin kita harus mengawal Indonesia ke dalam pergaulan internasional yang kompetitif, memberikan kontribusi positif bagi isu-isu internasional seperti krisis keuangan global, terorisme, sampai pada permasalahan lingkungan yang menjadi perhatian berbagai negara di dunia. [b]
Foto diambil dari Terselubung.
Tulisannya mantap pak Dewa… Agama Hindu sebenarnya sudah memberikan ajaran tentang sifat kepemimpinan yang patut dijalankan oleh para pemimpin, yaitu Ajaran Asta Brata. Khususnya di Bali, apakah para pemimpin/pejabat/pengambil kebijakan sudah pernah membaca atau paling tidak mendengar istilah Asta Brata sebelum mampu melaksanakannya..??? Itu kita patut renungkan… semoga Pak Dewa dengan tulisannya ini mampu mengetuk hati calon pemimpin bangsa (khususnya pemimpin Bali) di kemudian hari… siapa tahu itu Pak Dewa nantinya… semoga….
suksma Pk Wyn Adi… Iaa stdaknya tulsan secuill ini bsa mngungkpkn btapa pmmpin yg baik itu mnjadi mimpi bg rkyat smua.. skrng kbtulan pk yan lngsung brkcmpung d dunia pmrntah jg, smga bsa mnjadi pmmpin yg baik kdpannya d instansi tsb… jgn lupa maen k tman ayun.. septmber sdh hrs nyetor