Pagi itu di depan halaman Gede Widyana melintas satu kelas anak SD.
Mereka berpakaian olah raga menuju pantai. Dua orang ibu melintas dengan beban di atas kepala. Mereka berbicara untuk menyiapkan saku usai anaknya pulang sekolah.
Dari situ pembicaraan bermula, bahwa dahulu anak anak tidak harus menyiapkan uang untuk bermain.
Made Mangku Widantaya menceritakan romantika masa kecilnya. Kemudian diajaklah menuju pohon asam yang tepat berada di muka halaman. Banyak buah busuk berjatuhan. Mangku mengambil beberapa biji asam yang kemudian digosokkan ke aspal. Dua ubin marmer jadi media untuk mengadu kekuatan dua biji asam yang sama-sama menempel kuat pada marmer.
Dia memainkan permainan anak-anak zaman dulu yang sekarang hilang.
Permainan dahulu memerlukan kreativitas untuk memainkannya. Kesederhanaan media mengajak manusianya untuk berpikir tentang itu. Anak-anak juga dilatih untuk bersosialisasi, karena mereka tidak bisa bermain sendiri.
Hal serupa juga disampaikan oleh Wayan Manik yang usai bermain kemudian menjelaskan permainan baru untuk saya. Namanya macan dan rakyat. Medianya hanya batu dan membuat garis di atas tanah.
Diajaknya Mangku, Gede Astawa dan Widyana untuk bermain. Dia sambil mengisahkan permainan sekarang yang sangat individualistik. Misalnya dengan game online, anak-anak asyik dengan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa mereka adalah mahluk sosial.
Mangku menambahkan game online mengkerdilkan rasa empati. Lihat saja game perang-perangan, siapa cepat membunuh dialah pemenangnya. “Sementara permainan masa kecilku ketika ada yang luka dalam bermain, maka kawanku sendiri yang mengobatinya dengan daun daun di sekitar,” katanya.
Sekarang di desa saya main game online per jam Rp 3.000. Mereka sangat senang menatap layar datar berjam-jam, tanpa memikirkan keadaan sekitar.
“Yang paling gampang dirasa adalah anak akan dengan gampang memiliki kelainan pada mata, karena terlalu lelah pada layar datar besar itu. Nanti belum besar sudah pakai kaca mata,” tambahnya.
Tak lama berselang Wayan Mukti datang menyaksikan empat orang bermain mengenang masa lalunya. Mereka semua sangat senang dengan diadakannya Kelas Kreatif di desa Penuktukan, karena Kelas Kreatif melatih matorik dan sensorik anak, kreativitasnya pun terjaga.
Belum lama ini anak anak Sekolah Dasar membuat permainan dari sampah, mereka juga membuat minuman tradisional bernama daluman. Kelas kreatif seperti ini harus ada, mengingat arus global yang menyeret anak-anak jauh dari nilai nilai. “Semuanya dimainkan hanya demi kesenangan ungkap,” Gede Widyana.
Menurut Mangku permainan tradisi harus disesuaikan dengan keadaan sehingga anak anak tertarik pada permainan tersebut. Misal saja pada permainan “macan dan rakyat” bisa diganti namanya mengingat macan sudah semakin punah. Dia mengusulkan namanya menjadi “koruptor dan rakyat”. Sambil memindahkan kerikil dia mengakhiri permainan karena telah mengepung koruptor. [b]